Baca cerita sebelumnya di sini.
Hujan pertama di bulan Agustus. Harum bau tanah yang basah diguyur air dari langit melengkapi suara gemericik nan syahdu. Namun, bagi Gayatri, hujan pagi itu seperti nyanyian luka yang sengaja ditabuh untuk mengiringi kesedihannya.
Tidak, ia sudah tak lagi menangis. Sekarang ia hanya lebih banyak diam. Seperti pagi itu. Setelah menyeduh kopi dan meletakkannya di meja makan, ia kembali ke kamar. Duduk di atas tempat tidur, bersandar pada dinding sambil memandang keluar jendela tanpa kaca yang sudah dibukanya sejak subuh. Hawa dingin menyelusup masuk hingga ke pori-porinya, tapi ia tak terlalu peduli.
Kemarin ia ke rumah Sarah: Menangis histeris meminta Sarah menyuruh Laras pulang. Sarah tetap bergeming, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Meskipun Gayatri menangis sejadi-jadinya, merenggut bahunya, menggoyangkannya kencang-kencang, Sarah tetap membisu.
“Kembalikan anakku, Sarah… Suruh Laras pulang….” Kata-kata berselingan dengan isak tangis keluar dari mulut Gayatri.
“Bapaknya mengambil uang setoran untuk Bu RT. Bagaimana aku bisa membayarnya besok… Huhuhuhuhuu….” Ia tergugu.
Sampai lelah ia menangis, sampai kering air matanya, Sarah sama sekali tidak bicara. Menakjubkan sekali kemampuannya bergeming. Seharusnya ia mendaftar sebagai tentara penjaga Ratu Inggris. Gayatri menarik punggungnya ke sandaran kursi. Dipanjangkan badannya hingga membentuk sisi miring segitiga siku-siku. Tangannya sedekap di atas perut.
“Kalau kamu bersedia meninggalkan suamimu, aku mau menjamin tempat tinggal baru untukmu. Di tempat yang jauh dari sini. Kamu mulai hidup baru dengan Ali. Laras tetap akan mengirimimu uang untuk biaya sekolah Ali. Tapi kalau kamu memilih melanjutkan hidupmu dengan suamimu, yang masih dan akan tetap dengan segala perilaku angkara murkanya itu, aku undur diri dari sini.”
Sarah berbicara dengan nada penuh tekanan. Kata demi kata diucapkannya lambat-lambat. Ah, sebenarnya ia toh tak mungkin sejahat itu pada Gayatri. Dia hanya ingin memberi sedikit ancaman. Harapannya, Gayatri luluh dan mengikuti sarannya. Tapi lawan bicaranya hanya diam saja. Tidak menolak, pun tidak mengiyakan.
***
Sudah beberapa hari Gayatri mengurung diri di kamar. Ali mengantarkan nasi bungkus dan segelas air ke kamarnya setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Ali yang membelinya sendiri setiap pagi: Satu bungkus, untuk ibunya saja, dari sisa uang pembayaran sekolah yang dikirimkan Laras lewat wali kelasnya. Ia sendiri menetapkan diri untuk tak perlu sarapan supaya uang yang sedikit itu bisa bertahan lebih lama.
“Makan, Bu. Aku berangkat dulu,” pamitnya. Ibunya hanya diam tak merespons. Sudah beberapa hari seperti itu, selang beberapa hari sejak bapaknya mulai mengajak kawan-kawannya ke rumah. Biasanya, mereka bakal begadang main kartu dan mabuk-mabukan semalaman.
“Ibu makan, ya. Kalau ibu sakit, nanti aku bingung harus bagaimana. Mbak Laras jauh dari sini, Bu. Kalau ibu masih demam atau pusing, obatnya di sini. Sudah, ya,aku berangkat dulu,” pamitnya lagi.
Lagi-lagi, yang dipamiti hanya diam saja membisu. Ali membalikkan badan sambil menarik napas.
“Sabaaaarrr…,” gerutunya dalam hati.
***
“Blaaaarrr!”
Terdengar suara pintu rumah yang habis dibuka paksa, kemudian ditendang oleh kaki. Darman masuk rumah sambil meneriaki istrinya. Ia mencarinya dari pekarangan belakang, dapur, dan menemukan istrinya meringkuk di kamar.
“Baaahhhh! Enak kali hidup kau! Jam berapa ini, ha? Kerjamu hanya tidur saja di kamar. Apa ini? Makanan pun sekarang diantar ke kamarmu? Gaya ratu mana lagi yang sedang kau tiru, ha? Gila! Siapkan makanan, aku mau makan!”
Gayatri bergeming. Ia tidur menghadap dinding, membelakangi suaminya. Air matanya menetes mengalir di pipi. Ia menangis tanpa suara.
“Heh, kenapa kamu diam saja, ha?! Cepat bangkit ambilkan makanan untukku!”
Kemarahan Darman sudah di ubun-ubun dan siap meledak. Tangannya sudah berada di rambut Gayatri, siap menjambak. Ia berencana menariknya hingga bangkit dari kasur. Tepat di saat tangan itu menyentuh rambut Gayatri, ia mendengar suara Gayatri yang lemah dan pelan. Masih dengan posisi tidur meringkuk yang sama.
“Kamu ingat, Bang, sewaktu kamu masih sering mendatangiku di warung Mbok Tum dulu? Masih ingatkah kau kalimat-kalimat yang kau ucapkan waktu itu? Masih ingatkah kau bagaimana caramu meminta kusediakan makanan? Kau bilang, ‘Menikahlah denganku, Tri. Kau tak perlu lagi bekerja di warung Mbok Tum-mu ini. Aku yang akan penuhi semua kebutuhanmu.’ Sekali saja dalam hidupmu setelah kita menikah, pernahkah kau ingat masa-masa itu?”
“Haaah, apa-apaan lagi ini! Dasar wanita manja!”
Darman melepaskan rambut istrinya, lalu keluar kamar dan membanting pintu mana saja yang dilewatinya. Ajaib sekali pintu-pintu di rumah itu bisa tetap menempel di tempatnya, meskipun ditendang dan dibanting setiap hari.
***
“Yaa habibal qoolbi… Ya khoirol barooyah… Yalijitta bil haqqi rosulalhidayah…”
Suara lembut ringtone gadis Sabyan memecah keheningan. Untung pemilik handphone-nya tidak memilih memutuskan mendengarkan dulu sampai selesai lagunya baru mengangkat telepon.
“Halo, Laras?”
“Iya, Bulik. Apa kabar, Bulik?”
“Baik, Ras. Kamu bagaimana?”
“Saya alhamdulillah baik, Bulik. Anu begini, kemarin Ali telepon. Katanya, Ibu sakit dan sudah beberapa hari mengurung diri di kamar. Tidak mau makan, tidak mau minum obat. Saya mau minta tolong, mau merepotkan Bulik untuk melihat keadaan Ibu. Kalau ada waktu senggang aja, sih, bulik.”
“Ya Allah, aku malah nggak tahu, Ras. Ya sudah, nanti siang sepulang menjemput sekolah, aku mampir ke rumahmu, ya. Kamu baik-baik di sana.”
“Terima kasih, Bulik.”
“Sama-sama, Ras. Jaga diri baik-baik ya.”
Sarah menarik napas dalam-dalam. Kadang, muncul niat jahat di dalam hatinya untuk mengabaikan urusan Gayatri. Toh, kurang apa semua yang ia perbuat untuknya?
Sejak Gayatri datang dari desa puluhan tahun silam hingga sekarang, tak sekalipun ia pernah menolak membantu. Aneka bentuk rupa bantuan dan dukungan yang tiada henti, bahkan. Tapi masalah tampaknya memang tak bisa dipisahkan dengan Gayatri. Menjadi orang terdekatnya kadangkala membuatnya lelah sendiri.
“Tri… Hei. Kamu sakit? Badanmu panas sekali,” Sarah membangunkannya lembut. Tadi, ia hanya mengetuk pintu sebentar. Tapi, karena tak ada yang membukakan, ia langsung masuk ke kamar Gayatri.
Yang ditanya tetap membisu dan mematung.
“Hei, minum obat, ya. Makan, ya. Aku bawakan bubur ayam kegemaranmu. Tri. Bangun, to. Maaf kalau aku terlalu keras padamu kemarin-kemarin itu. Sudahlah, lupakan saja. Sekarang kamu makan dulu, ya.”
“Aku sudah lelah. Aku mau pulang saja.”
“Pulang ke mana? Rumah tanah nenekmu bukannya sudah kamu jual?”
“Aku lelah. Aku mau pulang.”
Kata-kata Gayatri terdengar aneh di telinga. Tiba-tiba, Sarah bergidik. Bulu kuduknya berdiri. Ia jadi membayangkan yang tidak-tidak.
“Makan dulu, Tri. Makan dulu. Kasihan Ali. Kamu yang seharusnya merawat dan melayaninya. Bukan sebaliknya.”
Gayatri membalikkan badan, tapi pandangannya kosong. Menerawang jauh menembus sekat-sekat dinding papan. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
“Taruh saja di situ buburnya. Aku belum lapar. Nanti kumakan kalau lapar. Terima kasih, ya. Kamu pulanglah. Kasihan anakmu kau tinggal sendirian di rumah.”
***
Laras bersimpuh di samping pusara. Sekeranjang bunga yang dibawanya sudah habis dituang, bercampur dengan bunga-bunga lain yang masih tertinggal dari pelayat sebelumnya. Pusara itu masih baru. Tanahnya masih basah. Tanpa kijing, hanya sepasang nisan tertancap di kedua sisinya.
Matanya menatap kosong ke salah satu nisan yang bertatahkan tulisan di atasnya.
GAYATRI
1 MEI 1972
–
19 JULI 2019
Ia tidak menangis. Tidak merasa ingin menangis. Tidak mendoakan apapun juga. Pikirannya melayang ke mana-mana. Ke masa kecilnya. Ke masa remajanya. Ke hari-hari terakhir ia ada di rumah ibunya hingga saat-saat terakhir ketika ia sudah menetapkan hatinya untuk pergi.
Bahwa ibunya begitu hancur setelah kepergiannya itu memang sama sekali di luar imajinasinya. Bahkan ia sendiri baru menyadari sebesar itu arti dirinya bagi ibunya. Ia tidak tahu karena tak pernah ada yang memberi tahu bahwa semua yang sudah ia lakukan itu bermakna segalanya bagi keluarganya.
Ibunya tidak pernah memberi tahunya. Bapaknya, apalagi. Ia tidak pernah diberi tahu bahwa dirinya begitu berharga.