MOJOK.CO – Oleh satpam pesantren, tuyul berwarna oranye itu dikasih nama tuyul Persija. Bukan, bukan lagi meledek, kok. Tapi ada alasannya.
Cerita pertemuan sama tuyul ini terjadi beberapa tahun yang lalu saat saya masih belajar di pesantren. Tapi saya bukan mau mengenang pesantren, melainkan cerita pengalaman saat menjadi bulis malam atau jaga malam.
Kegiatan bulis malam diperuntukkan bagi santri yang sekiranya sudah cukup umur, biasanya mulai dari kelas tiga tsanawiyah. Tapi itu dulu saat saya masih mondok dari kelas dua, dengar-dengar sekarang hanya anak aliyah saja. Bulis malam dilakukan karena saat itu, pondok tempat saya nyantri masih dalam tahap pembangunan dan penuh celah keamanan.
Keramik, semen, atau besi kerangka bangunan kerap menjadi sasaran maling. Tugas ini bisa dibilang cukup berat, mengingat harus berjaga semalaman alias begadang.
Saya masih ingat saat itu kedapatan bulis di giliran kedua, mulai dari pukul 01.00 WIB sampai salat subuh berjemaah selesai. Waktu jaga malam giliran kedua memang tidak pernah enak, rawan, dan tentu saja seram. Seseram tuyul yang suka ngagetin itu. Saat itu saya duduk di bangku kelas 1 aliyah. Saya kedapatan berjaga di sekitar kebun pohon jeungjing yang lebat.
Di dekat pohon, ada sebuah bangunan tiga lantai yang baru selesai dibangun. Bau cat masih tercium dengan kuat, di lantai pun masih ada ceceran cat yang belum sempat dibersihkan, bahkan lampu-lampu belum dipasang. Untung bagi saya, jarak gedung baru dan pos satpam pesantren nggak terlalu jauh. Jadi masih bisa lari atau minta tolong ke arah pos satpam kalau ada “sesuatu”.
Saat itu saya entah kenapa agak sedikit berani. Saya mulai coba-coba keliling mengecek gedung baru itu. Pikir saya sekalian biar nggak ngantuk, sambil memanasi badan dan mata. Kalau sampai ketahuan tidur, hukumannya mandi satu ember penuh, plus dimandiin sama bagian keamanan. Malam dingin gitu pakai acara mandi, alamat rematik sama ngabisin stok baju.
Pukul dua lewat sekian. Setelah mengecek gedung sebanyak dua kali saya kembali ke atas. Biar afdal harus tiga kali ngecek. Nggak tahu kenapa begitu, mungkin karena di pikiran saya, Allah suka ganjil, makanya ngecek gedung pun harus ganjil. Jadilah saya naik ke atas lagi. Saya cuma ditemani senter kecil seharga Rp10 ribuan yang nggak terang-terang amat, tapi cukup memberikan penerangan.
Saat sampai di lantai tiga, situasi masih terlihat biasa. Angin semilir sangat terasa karena gedung ini langsung berhadapan dengan halaman dan suara daun-daun pohon jeungjing bergesekan karena angin ikut terdengar. Semuanya normal. Saya berjalan ke ujung kanan, lalu ke ujung kiri.
Saat sampai ke ujung kiri, tiba-tiba ada suara suttt, suttt, suttt. Macam teman manggil saat di tongkrongan. Saya bingung, saya senter ke arah bawah, tapi nggak ada orang.
Palingan salah denger, buang jauh pikiran aneh, sudah macam film horor saja pikir saya waktu itu. Ealah, saat muter balik badan, tiba-tiba ada “anak kecil” yang menghalangi jalan saya. Pikiran dikagetin tuyul belum terlintas.
Jarak sekitar tiga meter dari saya dan badannya kecil. Saya pikir anak tsanawiyah, saya coba panggil. Tapi cuman suara suttt, suttt, suttt saja yang terdengar dari mulut tuyul itu. Mulai nggak enak rasanya.
Saya senter saja ke arah badan, loh malah nggak ada. Saya matikan, tiba-tiba ada lagi. Istighfar mulai terucap, membaca amalan sesuai yang diajarkan kiai pun saya lafadzkan, tujuannya agar fokus dan tenang. Ada tiga kali saya lakukan menyenter ke arah badan si “bocah kecil” itu.
Oh iya, tubuh tuyul itu, sekilas berwarna oranye. Tapi saya ragu, apakah itu badan atau pakaian. Mengingat saya cuman megang senter murah, dan pencahayaan yang membuat mata saya agak susah melihat. Saat ingin ke-4 kali menyenter tiba-tiba angin kencang bagai Barry Allen permisi lewat, senter saya agak terpelanting.
Saat saya ambil, tuyul oranye itu tiba-tiba di belakang saya dan bersuara suttt, suttt, suttt. Tentu saja, sebagai seorang yang sopan saya langsung bilang sekut brayyy, eh nggak ding, tapi kabur, laaah. Kaget banget, untung nggak di depan muka pisan.
Saya lari seperti Indonesia mengejar kemajuan dan kemapanan, sebisa mungkin lari ke arah pos satpam. Saya, dibandingkan seram, lebih ke kaget dan takut kenapa-kenapa. Nggak tahu kan tiba-tiba saja saya dipentalkan, atau hal yang tidak bisa diduga lainnya. Saya sampai di pos satpam, senter saya tertinggal di gedung baru. Bodo amat, saya udah nggak mikirin senter tadi.
Saat itu, satpam yang berjaga melihat saya seperti orang dikejar anjing, dia langsung ikutan panik. “Ada apa? Ada maling, atau kamu dikejar perampok?” Saya mengelak, bukan itu.
Saat mendengar cerita saya, ternyata respons satpam sudah tidak kaget. Katanya, semenjak gedung baru dibangun, kejadian itu sempat dialami oleh beberapa satpam.
Karena menurut mereka, “makhluk” itu tidak mengganggu jadi dibiarkan saja, soalnya tidak ada barang yang hilang. Para satpam hanya menganggapnya sebagai kisah seram biasa saja. Saya disuruh duduk dan minum air putih hangat.
“Kamu nggak usah panik. Itu kalau dilihat sepertinya tuyul oranye. Kami manggilnya tuyul Persija.” Saya yang kaget, kenapa jadi dipanggil Persija.
Kata satpam itu, tidak ada pikiran untuk meledek klub sepak bola Persija Jakarta, cuma kebetulan saat itu sedang ada laga Persija lawan Persib Bandung saja. Karena warna si tuyul sama, jadi disebutlah demikian.
Saya mengiyakan saja. Akhirnya saya diam di pos satpam sampai waktu jaga selesai. Untungnya, bagian keamanan tidak ada yang berjaga keliling ke tempat saya, jadilah saya aman tidak ditegur dan dimarahi karena tidak tetap di tempat saya berjaga.
Kisah ini tidak saya ceritakan ke siapa pun. Saya yakin teman-teman tidak akan percaya dan merasa saya cuma cari perhatian. Yaudah bodo amat. Tapi, hari-hari setelah saya jaga malam, kisah bertemu tuyul Persija itu mulai menjadi desas-desus di antara santri, saya pun hanya diam saja karena sudah sudah merasakan sendiri sensasinya.
Tak sampai setahun, daerah bawah dan gedung baru sudah mulai ramai. Kisah si tuyul Persija mulai tidak lagi terdengar.
Beberapa tahun saya tidak kembali ke pesantren semenjak lulus, saya akhirnya balik ke pesantren karena adik perempuan saya masuk ke pesantren yang sama. Saya iseng-iseng saat sore menjelang magrib berjalan lewat gedung yang sudah tidak baru itu, saya hanya melihat saja dan tersenyum aneh.
Saat berbalik ingin kembali ke kamar adik saya, tiba-tiba saya mendengar suara samar suttt, suttt, suttt.
Hadeh, Persija lain tanding lagi, ya?
BACA JUGA Tuyul Nggak Ada Akhlak Gagal Maling Karena Aku Nggak Punya Duit atau pengalaman ketemu tuyul lainnya di rubrik MALAM JUMAT.