Nur Kholis (20), di tengah pandemi melakukan ekspedisi menggunakan sepeda untuk menjelajahi wilayah Indonesia. Ada impian sederhana yang ingin dicapainya melalui kegiatan literasi.
***
Saya cukup mengenal dekat Nur Kholis karena kami pernah berada di atap pesantren yang sama. Saat itu ia terlihat seperti orang yang tidak banyak bicara, ia lebih dikenal dengan orang yang ahli dan bisa menari sufi. Itu lho, tarian berputar layaknya sebuah gangsing yang biasanya mengiringi lantunan selawat.
Sudah lama saya tidak ketemu dengan Nur Kholis, sampai kemudian di timeline Instagram saya, muncul akun @cholies_cyclist dan foto seorang anak muda yang menaiki sepeda sembari mengangkat tangannya. Saya langsung mengenalinya sebagai Nur Kholis. Ia berkelana menggunakan sepeda, keliling Indonesia.
Bersepeda adalah kebahagiaan
Selesai melihat berbagai foto yang tersaji di Instagramnya, saya kemudian menghubungi Nur Kholig via direct message dan meminta nomor Whatsapp nya. Kami membuat kesepakatan waktu untuk melakukan obrolan telepon.
Tanggal 12 Agustus 2021 pukul 22.15 WIB, saya menghubungi dengan Nur Kholis melalui layanan video call. Saya sedikit pangling ketika pertama menatap mukanya, rambutnya gondrong, di waktu yang bersamaan bibirnya merekah senyum lalu mengucap salam.”Obat terbaik adalah kebahagiaan, dan bahagia adalah jalan-jalan” ujar Kholis, ketika saya menyinggung soal ekspedisinya dengan sepeda.
Nur Kholis berkisah, pengembaraanya dengan sepeda
sudah ia lakoni sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Pemuda asal Indramayu, Jawa Barat ini mula-mula cuma sekedar sepedaan di hari libur. Keliling desa-desa di sekitar rumahnya. Pada saat itu, dengan bersepeda ia merasa jauh lebih bahagia dengan hidupnya.
“Saat bersepeda aku merasa bisa lebih dekat dengan orang lain,” kata Kholis.
Saat bersepeda ia bisa bertemu dengan orang-orang yang tak dijumpai sebelumnya, ia bertemu dengan orang-orang baru di jalan. Terlebih ia bisa memperhatikan aktivitas-aktivitas orang-orang yang diamatinya dari atas sepeda, sesekali menghentikan laju sepeda, bahkan sesekali juga menghampiri orang-orang yang ia temui. Pertemuan-pertemuan dengan orang lain yang ditemuinya seringkali membuat dirinya terhibur.
“Di samping olahraga, bersepeda juga cara menjalin silaturahmi dengan orang lain, Mas,” ucap Kholis.
Setelah terlalu sering melakukan aktivitas bersepeda keliling desa ke desa. Ia melebarkan rute perjalanannya keliling ke kota-kota dalam provinsi, hingga pada akhirnya ia begitu nyaman melakukan perjalanan jauh dengan sepeda. Menurutnya semakin jauh ia melakukan perjalanan semakin banyak pula yang ia ketahui, dan semakin banyak pula yang ia sadari atas ketidaktahuan.
“Apa tidak takut dan khawatir jika kejahatan menimpamu, Lis?” tanya saya.
“Perasaan semacam itu pasti ada, tapi aku percaya Tuhan melindungi hambanya. Aku percaya dengan pepatah ‘apa yang kita tanam, itu yang kita tuai’. Dalam perjalananku bersepeda aku hanya ingin berbahagia, bersilaturahmi dengan orang-orang baru,” jelas Kholis.
Saat baru lulus SMP, Kholis melakukan ekspedisi dengan sepeda menjelajah Pulau Jawa. Dari Banten sampai Banyuwangi.
Perjalanan yang ia tempuh sejauh itu bukan tanpa tujuan, ia kepingin mendapat kenalan-kenalan di setiap kota yang ia lewati. Atas bantuan grup komunitas sepeda touring Indonesia di Facebook, kemudian ia bertemu dengan orang yang kini sudah menjadi teman, bukan teman biasa bahkan menjadi saudara.
“Siapa yang tidak bahagia sih, Mas, ketika memiliki banyak saudara,” ucap Kholis.
Dalam perjalanannya mengelilingi pulau Jawa itu, ia menempuh waktu selama tiga minggu. Mengingat waktunya yang terbatas karena mempersiapkan diri harus melanjutkan sekolah. Perjalanan waktu itu telah membawanya mengenali banyak orang yang selanjutnya orang-orang itu didatanginya kembali saat melakukan ekspedisi selanjutnya.
Impian kecil untuk Indonesia
Di tahun 2019, setelah lulus SMA, Nur Kholis melakukan ekspedisi sepeda dari Sabang-Merauke. Ekspedisi itu ia persiapkan selama tiga tahun terhitung sejak menyelesaikan ekspedisi mengelilingi pulau Jawa. Perjalanan yang ditempuh Kholis bukan sekedar perjalanan tamasya untuk menyinggahi tempat pariwisata.
Ia mengatakan perjalanan yang panjang itu memiliki visi dan misi, kampanye literasi, edukasi, serta kelestarian alam. Melalui kenalan atau jaringan informasi yang telah dikantonginya. Ia mendatangi tempat-tempat yang akrab dengan kegiatan literasi.
“Saat di Pulau Samosir, Mas. Di tempat yang jauh dari gemerlap perkotaan ada sebuah perpustakaan, Sopo Belajar yang dinaungi lembaga lingkungan hidup Alusi Tao Toba. Dari anak kecil, remaja, bahkan yang tua aktif berkegiatan di sana. sesekali aku melukis, mewarnai, dan membaca buku dengan anak-anak kecil, di lain kesempatan juga mendongeng. Kalau para remaja dan anak muda di sana lebih sering saya melihat mereka meminjam buku. Saya banyak belajar dari kegigihan setiap manusia yang berada di sana,” kenang Kholis ketika berada di Samosir.
Selain di Samosir, tempat lain yang sangat berkesan baginya adalah Sokola Rimba, Suku Anak Dalam di Jambi. “Relung hati saya seperti diantil eh disentil,” ucap Kholis terkekeh.
Waktu itu, Kholis menyambangi suku anak dalam di Jambi. Ia berpikir di sana ia bisa menjadi volunteer untuk melakukan kegiatan literasi dan semacamnya. Sokola Rimba merupakan sekolah yang mengajarkan baca, tulis, dan lainnya bagi suku Anak Dalam di kawasan Taman Konservasi Bukit Duabelas, Jambi.
Ia sempat berpikir bahwa ia merasa cemas karena belum cukup banyak ilmu untuk dibagikan pada orang-orang di suku Anak Dalam. Namun, kecemasan yang menghantui pikiran Kholis terbantahkan. “Saya malah banyak belajar dari masyarakat suku Anak Dalam, Mas” ucap Kholis, ekspresi mukanya menunjukan keseriusan.
“Masyarakat suku Anak Dalam memiliki cara berpikir yang kritis, Mas. Di tengah peradaban zaman modern saat ini, suku Anak Dalam lebih maju dari orang-orang perkotaan, Mas,” kata Kholis.
Anak-anak Suku Anak Dalam benar-benar punya kesadaran penuh menjaga lingkungan dan alam. Mereka sama sekali tidak berani membuang sampah sembarangan apalagi di kali. “Coba kita lihat di perkotaan, masih banyak yang tidak sadar lingkungan, padahal kebanyakan orang kota menganggap dirinya modern. Iya, modern. Tapi cuman modern dan canggih alatnya, belum canggih dengan pemikirannya,” terang Kholis sembari berkelakar.
Perjalanan Kholis dalam ekspedisi Sabang-Merauke tidak hanya diselimuti perasaan gembira, ia juga mengatakan setiap wilayah yang ia lalui memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Hal tersebut tentu sesuatu yang lumrah. Akan tetapi ada fenomena-fenomena yang membuat hati Kholis terasa retak. Sebetulnya ia agak takut mengatakan ini sebab nanti dikira makar dan menjelekkan pemerintah, karena pemerintah selalu menampakkan sisi baiknya di hadapan rakyat.
Ketika Kholis menginjakkan kaki di Halmahera, Maluku Utara, ia melihat sebuah pabrik nikel yang teramat besar. Ia merasa prihatin dengan kondisi alam di sana. Di waktu bersamaan ia juga dirundung berbagai pertanyaan. Kok petunjuk di setiap jalan yang ia tempuh bertuliskan bahasa Inggris?
Akan tetapi misteri yang ada dipikirannya itu terpecahkan ketika ia melihat sebuah kapal dipenuhi oleh tenaga asing. Barangkali petunjuk jalan itu untuk mempermudah TKA. Di waktu yang sama, ia juga merasa kawatir jika lowongan pekerjaan justru diprioritaskan untuk warga asing bukan untuk warga negara sendiri.
Kholis merasa kembali sumringah ketika sudah tiba di Sorong, Papua. Katanya, Sorong merupakan pintu masuk menuju wilayah Papua yang lain. Ia senang, akhirnya bisa bercengkrama dengan orang-orang yang baru di Papua yang kemudian juga menjadi akrab. Sekali waktu ketika di Raja Ampat ia mendapat tawaran untuk tinggal di rumah salah satu warga sana.
“Waa, roso senengku nggak ketulungan, mas, ketika menginjak tanah Papua,” kata Kholis.
Namun perasaan Kholis kembali getir ketika tiba di suku Asmat. Saat perahu yang ditumpanginya berlabuh, tangga disandarkan di bibir pelabuhan. Anak-anak di suku Asmat berlarian tanpa mengenakan pakaian, menaiki kapal, mereka mencari nasi, mencari makanan yang ada. Melihat itu semua Kholis menahan sedih. Ia memberikan roti yang dibawanya pada salah satu anak di sana. kemudahan Kholis bergegas turun kapal.
Puncak perjalanan di Papua adalah ketika ia tiba di Merauke, namun ia begitu menyesal dan mengeluh saat itu. “Aku datang, korona datang,” keluh Kholis. Ia hanya tinggal di Merauke selama dua minggu. Kemudian ia balik ke Yogyakarta menggunakan pesawat karena begitu khawatir dengan penyebaran covid-19 dan ancaman diberlakukannya kebijakan PSBB saat itu.
Ekspedisi Sabang-Merauke ia tempuh dalam kurun waktu delapan bulan. Saya sempat bertanya berapa uang yang ia keluarkan selama perjalanan. Ia merasa hal itu bukan hal yang wajib ditutupi, ia mengatakan kurang lebih habis sekitar Rp 35 juta. Dan jarak yang ia tempuh sekitar 6.000 kilometer.
“Uang segitu bisa buat melancong ke luar negeri, Lis” ucap saya
“Iya, bisa keliling India juga itu,” jawab Kholis dengan tergelak. “Tapi, karena saya cinta tanah air, aku meluangkan waktuku untuk Indonesia dulu,” imbuhnya dengan tawa semakin keras.
Pemuda Indramayu itu yang sekarang juga sedang menempuh kuliah di UIN Sunan Kalijaga, saat ini sedang melakukan ekspedisi sepeda menuju Borneo. Sekarang ia baru berada di Palangkaraya. Tanggal 10 Agustus yang lalu ia menginjakkan roda sepeda di Palangkaraya setelah perjalanan 20 hari dari Indramayu. Keberangkatanya melakukan perjalanan ini setelah melakukan vaksin dan dengan selalu memperhatikan prokes. Ekspedisinya kali ini merupakan pertama kalinya ia menapaki pulau Kalimantan. Sebab ketika ekspedisi Sabang-Merauke ia tidak melewati Kalimantan.
Kholis bercerita, ekspedisinya ke Kalimantan memiliki tujuan untuk mengenali budaya lokal yang ada. Mengenali budaya tak mungkin jika tidak mengenali manusianya, kata Kholis.
“Saat di Banjarmasin, Mas, masyarakatnya memiliki rasa takzim yang tinggi terhadap seorang guru. Tidak ada masyarakat dan toko-toko yang tidak menyimpan gambar Guru Sekumpul dan Guru Zuhdi. Sayangnya aku cuman bisa ziarah di makam Guru Zuhdi, karena makam Guru Sekumpul masih tutup akibat PPKM,” terang Kholis ketika saya tanya wilayah Kalimantan yang berkesan untuk dirinya sementara ini.
“Banjarmasin juga dikenal dengan kota seribu sungai, Mas. Aktivitas masyarakatnya lebih banyak di sungai daripada di daratan, misalnya pasar. Itu lho, mas, seperti iklan RCTI kala itu,’ imbuh Kholis.
Saya mengangguk mendengar cerita Kholis, dan berkata, sangat seru sepertinya di sana. “Sejauh ini, selama perjalanan ke Kalimantan sudah menemukan hal menyebalkan belum, Lis? tanya saya pada Kholis.
“Mas, kae lho, baliho-baliho politikus ora jelas. Lagi musibah pandemi kok malah kampanye, ora empan papan ngono kae, Mas. Wajar kalo sebel lihatnya,’ ucap Kholis.
Bagi Kholis perjalanan yang ia lakukan selama ini dengan sepedanya tak lain dan tak bukan merupakan bentuk impian kecilnya untuk merubah Indonesia menjadi lebih baik. Ia sadar ia bukan orang yang punya power besar alias cuman rakyat biasa, sehingga apapun yang ia lakukan hanyalah impian kecil.
“Di setiap perjalananku, aku menulis, Mas. Ketika aku menulis kemudian aku kirim di blog pribadi. Minimal ada orang yang membaca dan tersadar dengan kondisi Indonesia saat ini, kondisi dari mata saya kemudian saya tuangkan di tulisan,” ucap Kholis.
Setidaknya melalui apa yang ia tulis, Kholis ingin orang-orang bisa sadar pentingnya membaca dan menjaga lingkungan. “Impianku adalah mengubah Indonesia menjadi lebih baik melalui kegiatan literasi,” pungkas Kholis.
Tips bersepeda dan berpetualang ala Nur Kholis
Seperti yang diyakini orang-orang pada umumnya, bahwa bersepeda adalah hal yang biasa. Begitupun apa yang diyakini Kholis, berpetualang dengan sepeda juga merupakan hal yang biasa. Semua orang bisa dan boleh melakukanya.
“Ekspedisi dengan sepeda seperti naik gunung, Mas. Semua orang boleh melakukanya,” ucap Kholis.
Karena seperti mendaki gunung, segala sesuatunya yang perlu disiapkan hampir sama. Menurutnya yang perlu disiapkan diantaranya adalah biaya, fisik, dan mental. Ketika ketiga itu sudah terpenuhi, tak lupa yang tak kalah penting adalah restu orang tua. Barangkali kalau soal biaya semua orang sudah tahu caranya, menabung misalnya.
“Nah, kalau fisik itu perlu pembiasaan dulu, Mas. Seperti yang saya ceritakan ke kamu, sepedaan antar desa, terus ke kota dalam provinsi, antar provinsi, kemudian baru deh kalau sudah siap langsung terjun ke jarak yang lebih jauh. Gampangnya bertahap, Mas. Nggak ujug-ujug ekspedisi dari Sabang-Merauke, mungkin ada tapi menurutku itu terlalu nekat,” terang Kholis.
“Kalau soal mental. Pokoknya seperti halnya merantau. Harus siap prihatin, kecuali kamu benar-benar orang kaya,” imbuh Kholis menutup ceritanya.
BACA JUGA Menjadi Desainer Grafis Akar Rumput: Waktu itu Fana, Revisi Abadi liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.