MOJOK.CO – Belum kawin, ditanyain terus. Sekalinya dapet, ditentang. Alasannya, “Eh kamu teh orang Sunda, nggak boleh menikah dengan orang Jawa.” Lieur ah!
Umur Anda sudah memasuki usia yang sangat tepat untuk “bersegera menikah”. Teman-teman satu angkatan, bahkan adik kelas pun, satu per satu naik ke pelaminan. Rekan-rekan kantor mulai nyengcengin, seolah belum menikah adalah aib. Saudara-saudara jauh, sekalinya bertemu, bertanya soal pernikahan. Begitu juga dengan para tetangga yang punya tingkat perhatian dan kepedulian berlebih, mereka rajin sekali bertanya pada ibu Anda kenapa Anda belum mengganti status dari lajang jadi kawin.
Mulai letih menghadapi berbagai tekanan ini, Anda kemudian gencar mencari pasangan.
Tapi, mencari pasangan ternyata tidak semudah mencungkil serat rendang yang nyempil di sela-sela gigi geraham (padahal ini susah sih). Untuk mendapatkannya, butuh waktu, kesabaran, strategi, pengorbanan, hingga kadang “air mata”. Walaupun begitu, setelah melalui berbagai halangan, rintangan, dan mungkin juga patah hati berkali-kali, akhirnya Anda mendapatkan calon pasangan idaman juga.
Sayang, setelah susah payah sedemikian rupa, ternyata Anda tidak bisa melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. Alasannya satu: Anda berasal dari suku Sunda, sementara calon pasangan Anda berasal dari suku Jawa—atau sebaliknya. Orang tua Anda tidak merestui hubungan itu karena mereka ternyata masih sangat percaya mitos larangan menikah antara orang Sunda dengan orang Jawa.
Hiiih!!!
Ya, mitos ini memang masih diyakini hingga kini. Tidak perlu heran. Orang yang percaya kalau bocah di Sulawesi Selatan itu benar-benar bisa bertelur dan telurnya dicuci kemudian air cuciannya dibasuh ke muka karena dipercaya bisa bikin awet muda saja ada, maka besar kemungkinan orang yang percaya bahwa mitos larangan menikah antara etnis Sunda dengan Jawa ini pun masih berjibun.
Bukan hanya golongan sepuh, kaum yang termasuk kategori milenial juga masih ada yang turut mempercayai mitos ini. Teman saya termasuk salah satunya. Saya masih ingat betul, pada suatu hari yang cerah di area taman kampus, percakapan ini pernah terjadi di antara kami.
Teman saya: “Kade siah tong kawin jeung urang Jawa.” (Awas, jangan nikah sama orang Jawa.)
Saya: “Kunaon kitu?” (Emangnya kenapa?)
Teman saya: “Jawa Barat-Jawa Timur… melarat seumur-umur!”
Waktu itu saya hanya bisa tersenyum sambil manggut-manggut. Padahal, ingin sekali saya menimpali, “Heueuh, bakal malarat lamun teu gawe mah, sateh…” (Ya, tentu saja akan melarat kalau nggak kerja mah). Batin saya juga meronta ingin berkata, Kesimpulan yang luar biasa. Pasti tadi pagi sarapan kemenyan, ya?
Tapi ya tentu saja saya mengurungkan niat itu. Saya tidak ingin kehilangan teman. Karena selain si aa batagor, teteh nasi timbel, teteh gorengan, juga si aa penjual DVD bajakan di belakang kampus, pada waktu itu hanya dialah teman saya.
Mitos-mitos berbau jodoh memang jamak ditemukan, terutama dalam keseharian masyarakat Sunda. Contohnya soal mitos larangan duduk di depan pintu. Orang Sunda sering bilang, “Tong diuk di lawang panto, bisi nongtot jodo.” Menurut mitos ini, kalau kita sering duduk di depan pintu, diyakini jodoh bakal susah datang. Kalaupun datang, si jodoh hanya akan nongol a.k.a. nongtot saja, tapi tidak sampai mengajak nikah. Padahal, kalau dipikir-pikir kan lebih baik nongtot daripada tidak nongton sama sekali, ya.
Ada juga soal mitos tentang adik yang menikah melangkahi kakak perempuan. Dalam bahasa Sunda mitos ini sering disebut dengan istilah ngarunghal. Sama halnya dengan mitos duduk di depan pintu, mitos ngarunghal diyakini dapat menyebabkan orang yang dirunghal (kakak) menjadi susah dapat jodoh. Untuk menangkal efek buruk bagi si kakak yang dilangkahi menikah, sang adik harus memberi semacam pelangkah sebelum melangsungkan pernikahan. Pelangkah-nya biasanya berupa hadiah dalam berbagai bentuk, sesuai permintaan kakak yang dirunghal.
Saya sih yakin, Ceu Ukhti yang saleha sejak dalam pikiran tidak akan mengindahkan mitos ini. Kan perkara jodoh mah sudah ada yang mengatur ya, Ukh. Hanya tinggal dicari dan diupayakan saja (iya justru inilah susahnya, Suketiiiiii).
Berbeda dengan dua jenis mitos di atas, mitos soal larangan menikah antara orang Sunda dengan Jawa punya konsekusnsi lain. Jika yang dua tadi diyakini bisa menyebabkan susah dapat jodoh, yang satu ini—jika keukeuh dilakukan—akan menyebabkan kemelaratan, jalinan keluarga yang tidak harmonis, tidak bahagia, hingga tidak langgeng. Katanya.
Padahal ya, Ceu, perkara kurang duit itu bisa dialami siapa pun, dari suku mana pun. Tidak perlu penyatuan suku Sunda dan Jawa via menikah untuk menciptakan hidup miskin. Menikah dengan sesama suku atau dengan siapa saja kalau toh memang malas cari nafkah, ya lama-lama bisa miskin juga.
Begitu juga dengan perkara tidak harmonis, tidak bahagia, hingga berujung pada perceraian. Duh, Ceu Lilis, hal-hal semacam ini mah tentu saja bisa terjadi pada siapa pun tanpa pandang etnis. Kalaupun ada pasangan yang memutuskan bercerai dan kebetulan mereka berasal dari etnis Sunda dan Jawa, akan ada banyak faktor penyebabnya, bukan otomatis terkait masalah kesukuan.
Yeuh, Ceu, kalau mau menikah mah, mending menikah saja. Apalagi kalau sudah siap dan menemukan orang yang terasa tepat. Tidak perlu menyangkut-pautkannya dengan stereotip yang dilekatkan pada suku tertentu atau dengan mitos rasial yang dirujuk dari sejarah Perang Bubat yang terasa cukup kental narasi adu dombanya itu (dua hal utama yang diyakini sebagai penyebab timbulnya mitos ini).
Yang penting mah Anda menikah dengan orang yang baik dan cocok dengan Anda saja. Dan yang lebih penting lagi, Anda menikah memang dengan orang, bukan dengan goyobod atau nasi tutug oncom.