Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Google Memata-matai dan Menjual Data Kita, tapi Kita Merasa Baik-baik Saja

Nia Lavinia oleh Nia Lavinia
8 Januari 2020
A A
surveillance capitalism jualan data cara google mendapat keuntungan data pengguna dijual mojok.co

surveillance capitalism jualan data cara google mendapat keuntungan data pengguna dijual mojok.co

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Tanpa saya sadari, saya membiarkan diri saya “telanjang” di hadapan Google dan selama ini saya merasa baik-baik saja. Padahal mereka dapat profit yang sangat banyak dari sana.

Suatu hari saya membicarakan keinginan saya untuk liburan ke Malang, saya membicarakan keinginan itu sambil menelepon seorang teman melalui telepon WhatsApp. Besoknya, saya menemukan iklan di halaman Facebook saya mengenai promo tiket masuk Jatim Park, tempat yang sebelumnya sempat kami bicarakan.

Di lain hari saya membicarakan ingin beli kulkas mini, membicarakannya dengan teman yang berbeda melalui chat WhatsApp. Besoknya iklan promo kulkas muncul di home Instagram saya.

Di hari lainnya lagi, saya membicarakan ingin membeli pen tablet, tapi saya tidak membicarakan keinginan ini di WhatsApp, saya membicarakannya dalam percakapan langsung dengan Lala (ilustrator Mojok). Besoknya, iklan Wacom (merek yang direkomendasikan ke saya) langsung muncul di Instagram saya….

Kejadian pertama dan kedua, sebenarnya bukan terjadi satu atau dua kali, beberapa teman juga pernah mengalami hal serupa. Tapi di kasus yang ketiga, saya mulai merasa aneh karena sebelumnya saya tidak pernah googling apa pun tentang produk itu, juga tidak pernah membicarakannya melalui aplikasi apa pun.

Untuk pertama kalinya saya merasa kalau saya sedang dimata-matai.

Saya kemudian mencari tahu mengenai bagaimana sebenarnya privasi saya dihargai di era digital. Sebelumnya saya memang tahu Google dan WhatsApp memang mengolah percakapan kita menjadi data yang berisi preferensi, keinginan, cita-cita, harapan, kejulidan, dst. dst. yang digunakan untuk memberikan layanan yang sesuai dengan (((karakter))) saya.

Misal, ketika saya banyak menyukai video kocheng di Instagram, platform ini akan mengarahkan saya ke video-video sejenis. Pun kalau suka cari keributan di Twitter, algoritma mereka akan menampilkan seluruh keributan yang relevan dengan jenis keributan yang saya sukai meskipun sebenarnya saya nggak pernah follow akun-akun yang suka ribut itu.

Saya pikir, kegiatan merekam dan mengolah data aktivitas dan interaksi user di internet membuat Google dan layanan digital lainnya lebih mengenal saya dibanding orang tua saya sendiri.

Dan yang lebih canggih saya temui di Spotify. Saya bukan tipe yang suka mencari lagu-lagu baru, tapi Spotify selalu berhasil membuat saya menyukai lagu yang mereka rekomendasikan, seakan-akan Spotify lebih saya daripada saya sendiri. Mereka bisa mendeteksi selera musik saya padahal saya sendiri suka galau untuk menyebut saya ini sukanya genre apa.

Awalnya, saya tidak keberatan dengan semua ini. Maksud saya, apa yang Google lakukan malah membantu saya berinteraksi dengan hal-hal yang saya sukai saja. Saya juga tidak merasa dirugikan karena toh segala aktivitas yang saya lakukan di internet tidak berbayar.

Tapi sejak iklan-iklan mulai muncul, saya merasa cukup terganggu. Pas saya lagi pengin sesuatu, iklan produknya tiba-tiba muncul, biasanya dengan diskon pula. Kan jadi pengin. Mending kalau saat itu lagi kaya, coba kalo lagi tanggal tua. Wadidaw nelangsa.

Yang jadi masalah, saya nggak bisa mencegah dan menghentikan perubahan pembicaraan mengenai keinginan ini menjadi iklan-iklan. Ini tuh pelanggaran privasi nggak sih?

Daripada sotoy, saya kemudian nyari tahu. Dan jawabannya tidak. Sebab, saya sudah menyetujui tindakan-tindakan itu ketika (asal) klik dan (nggak pernah) baca terms and conditions Google maupun platform lain.

Iklan

Saya membiarkan mereka mengakses kontak, kamera, lokasi, dan mikrofon tanpa memikirkan implikasinya. FYI, akses terhadap mikrofon ini yang bikin aplikasi bisa mencuri dengar pembicaraan saya–bahkan sesuatu yang tidak saya bicarakan lewat aplikasi, alias saat berbicara langsung dengan orang lain.

Saya jadi mikir: Tanpa saya sadari, saya membiarkan diri saya “telanjang” di hadapan Google dan selama ini saya merasa baik-baik saja. Padahal, gara-gara rekaman aktivitas yang saya punya, mereka dapat profit yang sangat banyak dari sana.

Sementara saya?

Malah rugi karena waktu saya habis dipakai rebahan dan main semua aplikasi yang membuat saya terus menaruh perhatian di sana karena kontennya sangat saya banget, dan sayang sekali kalau tidak dieksplorasi.

Ya betul. Tujuan Google atau layanan digital apa pun ialah bikin konten yang sesuai selera biar makin banyak dan makin lama kunjungan yang datang. Mereka dapet duit lebih banyak dengan lamanya kunjungan itu.

Di sinilah saya jadi tahu kalau ini tuh bentuk dari surveillance capitalism. Kalau kata Shoshana Zuboff, orang yang pertama kali mengenalkan terma itu, layanan digital seperti Google, Facebook, dll. mentranslasikan pengalaman kita menjadi data yang digunakan untuk mengembangkan produk mereka (sehingga kita makin betah mengakses platformnya) dan mengakumulasikannya untuk dijual supaya dapat profit.

Data-data kita hasil dari surveillance capitalism membuat Google mendapat uang iklan sampai 38 miliar dolar AS tiap tahunnya (Rp527,8 triliun). Dan ini semua menjadi masuk akal karena jika perusahaan ingin beriklan, mereka harus memastikan iklan mereka sampai di audiens yang tepat biar produknya laku. Google tentu saja tahu siapa saja audiens yang relevan untuk jadi sasaran calon kliennya.

Dan sekali lagi, data kita dijual, kita dijejali iklan-iklan, dan kita merasa baik-baik saja.

Oooh sekarang saya jadi mengerti, ini toh maksud dari kalimat, “If you’re not paying for it; you are the product.”

BACA JUGA Udahlah KPI, Nggak Usah Ikut Cawe-Cawe Ngurusin Platform Digital atau artikel lainnya di POJOKAN.

Terakhir diperbarui pada 24 Februari 2021 oleh

Tags: datagoogleprivasisurveilance capitalism
Nia Lavinia

Nia Lavinia

Mahasiswa S2 Kajian Terorisme, Universitas Indonesia.

Artikel Terkait

Google dan YouTube Beri Dukungan untuk UKM dan kreator MOJOK.CO
Ekonomi

Dukungan Google dan YouTube untuk UKM dan Kerator Lokal, Lebih Berdaya dengan Peluang Kerja Baru

2 Oktober 2024
penggaran privasi mojok.co
Kotak Suara

Pasangan Minta Kata Sandi Medsos Tanpa Persetujuan Termasuk Pelanggaran Privasi

17 Juli 2023
Penandatanganan Nota Kesepahaman Dagangan & KADIN DIY di acara Google Goes to Yogyakarta. MOJOK.CO
Ekonomi

Dukung Pertumbuhan Ekonomi di Jogja, Google Beri Dukungan Akses Bisnis Digital

17 Mei 2023
google bard ai mojok.co
Tekno

Google Luncurkan Chatbot Bard AI Buat Tandingi ChatGPT, Gimana Cara Kerjanya?

9 Februari 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.