Boom! Tere Liye kembali naik daun. Kali ini ia tak perlu menulis buku beratus-ratus halaman novel. Cukup dengan status yang ditulis dalam beberapa paragraf saja. Tak lama berselang, ia lalu jadi artis di media sosial yang banjir komentar. Berikut nukilan curhatannya dari Facebook:
“Indonesia itu merdeka, karena jasa-jasa tiada tara para pahlawan–yang sebagian besar diantara mereka adalah ulama-ulama besar, juga tokoh-tokoh agama lain. Orang-orang religius, beragama.
Apakah ada orang komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, pendukung liberal, yang pernah bertarung hidup mati melawan serdadu Belanda, Inggris atau Jepang? Silahkan cari.
Anak muda, bacalah sejarah bangsa ini dengan baik. Jangan terlalu terpesona dengan paham-paham luar, seolah itu keren sekali; sementara sejarah dan kearifan bangsa sendiri dilupakan.”
Sebelum dirunut para jamaah Liye-ers (kalau digabung seperti istilah ‘ngantuk’ dalam bahasa Jawa), memang perlu diudar satu persatu apa yang dikatakan sosok yang juga kerap dipanggil Bung Darwis ini. Kalau disuruh baca semua dan mengomentari karyanya, jelas saya tak mampu. Saya ini apa sih, cuma mahasiswa ceng-cengpo bin embyeh-embyeh. Tambah parah lagi karena saya bahkan ndak mampu beli satu pun bukunya yang konon selalu best seller itu. Ngenes.
Mari kita mulai.
Paragraf Pertama
Blio yang terhormat, Tere Liye, berujar bahwa kemerdekaan sebagian besar diperoleh atas perjuangan para ulama besar dan tokoh agama. Duh, Mas, dolan-mu nang perpustakaan kurang adoh…
Tapi tak apa. Mungkin ia sebenarnya sudah baca khatam dan hafal sampai nglontok di luar kepala buku-buku sejarah Indonesia. Seperti karya besutan M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1995); Moh.Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia (2005); Adrian Vickers, Sejarah Indonesia Modern (2011) dan buku keren lainnya.
Referensi lagi dari karya-karya klasik yang digarap para ilmuwan seperti Dr.N.J. Krom, Dr. F.W. Stapel, Dr. H.J. de Graff, Dr. B.H. Vlekke, meskipun masih didominasi perspektif Belandanya. Saya yakin jenengan sudah baca semuanya.
Dari kesemua bacaan tersebut, tersirat bahwa setiap orang turut serta dalam gerak sejarah sebagai peserta dan tidak semata-mata hanya duduk diam sebagai penonton. Setiap orang nyengkuyung dengan mempertahankan pendiriannya dan ideologi tetapi demi kemerdekaan Indonesia, tanpa membeda-bedakan suku, agama, atau kelamin.
Bung pasti mengerti ini, kan? Atau jangan-jangan Bung malah baru tahu judul-judul di atas? Aduh…
Paragraf Kedua
Berlanjut di paragraf berikutnya, Bung Tere menyuruh kita mencari apakah ada pihak lain seperti komunis, sosialis, aktivis HAM, pendukung liberal atau non-ulama yang berjuang demi kemerdekaan? Poin utamanya kurang lebih begitu.
Lho, jika memang tidak ada, lantas bagaimana dengan Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, Sutan Syahrir, Aidit, Musso dan masih banyak tokoh non-ulama lainnya? Belum lagi wong cilik yang ikut membuatkan nasi bungkus, atau sekadar memberi tumpangan para pejuang yang menenteng bedil untuk berteduh, tanpa pernah tercatat di buku-buku sejarah. Mereka harus dianggap apa?
Semuanya berjuang, Bung!
Saran serius saya untuk jenengan, pas pesen nasi goreng tulung micin-nya dikit aja. Bukan apa-apa, kebanyakan MSG takutnya nanti jadi… Hmm… Terlalu gurih!
Paragraf Ketiga
Berkaitan dengan paragraf sebelumnya, kali ini kita disarankan oleh blio agar jangan merasa silau dengan paham luar, serta harus bangga dengan kearifan bangsa sendiri. Wuidih…
Kalau Bung memang betul belajar sejarah–kalau belajar lho, ya–justru beragam paham yang diemban oleh para tokoh yang saya sebutkan di atas mampu memberikan kontribusi dalam merebut kemerdekaan. Maka dari itu, Sang Bapak Bangsa, Soekarno, merumuskan NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunisme) sebagai pemersatu segala kaum di masa perjuangan Indonesia.
Sampai di sini Bung paham? Atau mungkin buku yang dibaca Bung selama ini ada halaman yang tersobek? Atau malah kena tipe-x full pas bagian eksplanasi sejarah kemerdekaan? Atau jangan-jangan pemahaman Bung yang tertulis di status itu adalah perkara genetika?
Paragraf Lanjutan
Ternyata, kita terlalu grusa-grusu beropini. Bisa jadi status itu merupakan potongan scene novel terbaru atau bagian tulisan blio. Barangkali Bung yang satu ini hendak menulis tokoh yang tidak paham sejarah, lalu ia secara implisit mencoba menjelaskan kepada khalayak bahwa tokoh yang tak paham sejarah sungguh jangan ditiru. Sepertinya kita terlalu terburu nafsu menyalahkan Tere Liye.
Sayangnya, strategi itu malah gagal total. Status Bung Tere tadi–yang sepertinya telah dihapus–sudah terlanjur tersebar di media sosial. Bung Tere Liye, penulis produktif yang buku-bukunya kerap berjejer di rak buku penerbit terbesar se-Indonesia itu lantas jadi tertawaan banyak orang. Anda tidak akan menangis kan, Bung?
Atau jangan-jangan memang betul ada paragraf lanjutan yang tidak kelihatan, transparan, dan hanya bisa dibaca ketika layar monitor kita digosok pakai koin? Entahlah.
Harapan kecil saya, semoga saja tokohnya tak tertukar. Atau malah penulisnya yang tertukar. Tertukar dengan pelepah pisang.