MOJOK.CO – Tidak hanya melalui lagu-lagu legendarisnya, Didi Kempot juga meninggalkan warisan melawan stigma: bahwa lelaki juga berhak untuk nangis.
Tahun lalu, sepucuk surat undangan pernikahan datang pada saya. Bersamaan dengan kedatangan seorang kawan laki-laki.
Suaranya bergetar dan saya menangkap nanar di nada bicaranya. Meski ia tersenyum lepas dan tertawa terbahak-bahak, namun saya tahu hatinya berdarah.
Teman saya itu baru saja ditinggal pergi. Dikhianati dengan selembar undangan pernikahan.
Tetapi sebagai laki-laki ia menahan diri untuk tidak bersedih. Saya ingin sekali berkata, “Kalau mau nangis, nangis aja lah. Jangan di tahan-tahan gitu.”
Tapi apa boleh buat, saya ikut menahan diri karena saya juga nggak biasa melihat laki-laki nangis. Saya sadar, di dunia yang serba-patriarkis ini, minta seorang lelaki menangis bisa jadi malah dianggap sebagai sebuah penghinaan.
Karena teman saya nampak masih santuy dan terlihat rapopo, saya tidak ambil pusing. Sampai sebuah instastory pada malam hari muncul.
Konser Didi Kempot di kota Malang, teman saya itu melebur dengan tangisan para sobat ambyar. Tidak peduli lelaki ataupun perempuan, mereka nangis bersama, meluapkan isi jiwa bersama The Godfather of Broken Heart.
Teman saya larut berada di kerumunan massa. Terisak menangisi nasib percintaannya yang begitu sesak.
Hashh.
Konon, lagu Didi Kempot berjudul “Cidro” yang beberapa tahun terakhir kembali hits dan menjadi lagu yang menjadi ikon bagi sad boy, dan sad girls.
Sekumpulan orang yang menghabiskan dirinya dalam kesedihan akan patah hati. Lagu “Cidro” ini, hadir dengan sebuah fenomena yang tidak biasa. Di mana dalam banyak konser off air-nya, tampak sekumpulan orang, termasuk laki-laki menangis terisak sambil teriak-teriak nyanyi.
Ya, para lelaki ini dengan gagah berani, meluapkan emosi air matanya di depan umum. Benar-benar sebuah pemandangan yang “indah”.
Memang—harus diakui—kita cenderung merasa risih, jijik dan terganggu ketika melihat lelaki begitu emosional sambil nangis-nangis. Laki-laki yang cool, dan tidak tampak emosional cenderung dinilai lebih maskulin dan berwibawa. Bahkan anak-anak laki-laki tumbuh dengan didikan bahwa lelaki itu pantang menangis.
Bahkan, saya tidak melewatkan masa pengajaran itu, di mana ada lagu hits zaman dulu yang dinyanyikan tiga anak kecil yang lebih muda dari saya dengan lirik yang sangat seksis, “Ayahku selalu berkata padaku. Laki-laki tak boleh nangis. Kata ayah selalu, air mata itu adalah tanda kelemahan.”
Yo opo! Sek eling ta peaan?
Heh, sini saya kasih tahu. Laki-laki nggak boleh menangis itu cuma mitos drakor. Karena sampai saat ini belum ada hasil penelitian WHO, Bill Gates, atau elite global yang mengatakan bahwa laki-laki yang menangis berarti lebih lemah.
Vingerhoets, PhD., seorang profesor psikologi dari Universitas Tilburg di Belanda, yang mendedikasikan dirinya untuk meneliti perilaku menangis pada individu, menyatakan bahwa perihal tangisan individu bisa terkait faktor lingkungan juga. Dia mengungkapkan bahwa, sebenarnya ada banyak faktor yang berperan dalam kecenderungan perilaku individu untuk menangis.
Dari sudut pandang gender misalnya, profesor yang namanya susah dieja itu mengeksplorasi berbagai budaya di seluruh dunia dan menarik sebuah kesimpulan bahwa: perempuan cenderung menangis lebih banyak dibandingkan laki-laki bukan semata karena faktor lingkungan, tapi juga secara biologis.
Ya, kita semua barangkali sudah tahu kesimpulan itu. Namun, di sini kita juga harus sadar bahwa masyarakat patriarki telah merawat stigma maskulinitas dengan cukup kejam. Yakni menciptakan stereotipe bahwa laki-laki akan memalukan dan terhina kalau menangis.
Namun apakah laki-laki tak berhak nangis itu karena faktor stigma lingkungan aja? Oh, ternyata nggak juga lho.
Secara biologis, memang hormon testosteron, yang lebih banyak ada pada pria, terbukti mampu menghambat seseorang buat nangis. Sementara hormon prolaktin, yang lebih banyak terdapat pada tubuh perempuan dapat mempermudah perilaku menangis.
Selain itu, ada fakta lain di balik nangis. Dianne Van Hemert, PhD, seorang peneliti lain (yang juga dari Belanda) mengungkapkan bahwa dari studi terhadap berbagai orang di 35 negara, menemukan bahwa minimnya perbedaan antara seberapa sering pria dan wanita menangis lebih jelas di negara-negara yang memungkinkan kebebasan berekspresi dan sumber daya sosial yang lebih besar.
Studi ini menemukan bahwa sebenarnya perbedaan tipis antara laki-laki dan perempuan yang menangis ditemukan di negara dengan tingkat kebebasan ekspresi yang tinggi seperti Chili, Swedia, dan Amerika Serikat.
Di lain hal negara dunia ketiga seperti Ghana, Nigeria, dan Nepal cenderung menunjukkan bahwa perempuan lebih sering menangis daripada laki-laki. Laki-laki jadi “terlihat” lebih tegar tanpa air mata. Dan bukan tidak mungkin negeri kita masuk dalam kategori yang ini.
Untungnya, kita semua tahu, almarhum Didi Kempot dengan sangat sukses mendekonstruksi stigma tangisan dengan kata “ambyar”. Konotasi “ambyar” oleh Didi Kempot dibikin tidak jadi negatif lagi, melainkan kembali netral.
Melalui lagu-lagunya yang melegenda, menangis bagi lelaki bukan lagi sebagai sebuah tanda-tanda renta atau rapuh, melainkan sebuah tanda kemanusiaan. Ibaratnya, Didi Kempot telah sukses memanusiakan tangisan.
Didi kempot menunjukkan pada kita bahwa laki-laki juga manusia yang memiliki perasaan. Lelaki bukan makhluk statis yang akan diam ketika komitmennya dilanggar. Lelaki dalam spektrum lagu-lagunya menjadi makhluk yang bisa peka akan kepedihan.
Didi kempot telah membantu para lelaki bangkit dari jurang maskulinitas yang rapuh dan meyakinkan orang-orang untuk berhenti berpura-pura sedang kuat-kuat saja, sedang baik-baik saja.
Para lelaki, dengan lagu Didi Kempot, tetap akan mampu menenangkan kesedihan tanpa sungkan untuk menahannya. Tidak bersembunyi di balik maskulinitas yang—kadang—tidak membantu sedikit pun untuk pulih dari luka.
Didi Kempot sepanjang hidupnya membantu kita semua mengizinkan laki-laki untuk berhak menangis. Dan itu adalah sebenar-benarnya warisan yang tak ternilai harganya.
Mereka kini sudah berani nangis, Pakde Didi!
Sekuat-kuatnya, sehormat-hormatnya, dan seambyar-ambyarnya.
BACA JUGA Selamat Jalan, Didi Kempot, Bapak Patah Hati Kami atau tulisan soal The Godfather of Broken Heart lainnya.