Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Apa Sih yang Orang Dewasa Dapat dari Menertawakan Anak SD di Konten TikTok?

Miranda Olga oleh Miranda Olga
23 April 2021
A A
Apa Sih yang Orang Dewasa Dapat dari Menertawakan Anak SD di Konten TikTok?

Apa Sih yang Orang Dewasa Dapat dari Menertawakan Anak SD di Konten TikTok?

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Sebuah konten TikTok viral karena menampilkan wawancara dengan anak-anak SD yang tidak tahu kepanjangan dari “SD”.

Bayangkan dirimu sedang telentang di atas kasur. Setelah bekerja di depan layar selama lebih dari delapan jam, akhirnya kamu punya kesempatan memejamkan mata.

Lampu yang sudah mati dan udara sejuk malam hari mendukung kesadaranmu untuk segera lelap. Tidak ada yang mengganggu, bahkan bantal yang lupa dijemur itu seolah sanggup menyangga seluruh lelah di kepalamu.

Sayangnya, baru sebentar mencoba istirahat, tiba-tiba suatu adegan muncul di benakmu bak konten FYP di TikTok.

Pop! Ada sosokmu yang masih kelas lima.

Kamu kecil menjadi bahan tertawaan teman-teman karena ketahuan salah menulis “difteri” menjadi “defitri” pada lembar ulangan ilmu pengetahuan alam.

Adegan itu jernih sekali, seolah baru terjadi kemarin. Kamu masih ingat bagaimana kamu ikut tertawa sebelum mengetahui bahwa kesalahan tulis itu adalah kesalahanmu, dan bukan milik orang lain.

Kamu dewasa, rupanya masih malu bila mengingat peristiwa itu. Sambil berharap teman-teman sekelasmu melupakannya, kamu kembali berusaha tidur. Namun, gagal sudah akibat kepalang cemas diserbu siaran-siaran memalukan lainnya dari HippocampusTV.

Oh, iya, pengalaman di atas adalah pengalaman penulis sendiri.

Waktu melakukan koreksi antar-teman (hasil kerja saling ditukar, sementara guru memberi tahu kunci jawabannya), seorang teman mengangkat tangan dan bertanya pada guru: “Kalau jawabannya ‘defitri’, salah atau benar, Bu?”

Lalu Bu Guru tertawa, diikuti oleh murid-muridnya, termasuk saya. Bu Guru bilang untuk beri skor setengah saja, dan bertanya ia mengoreksi lembar ulangan punya siapa.

“Punya Olga,” katanya.

Saya langsung mingkem. Yang lain masih tertawa, berikutnya sambil melihat saya.

Pengalaman itu sederhana, tapi dampaknya luar biasa. Sejak saat itu, saya menjadi orang yang cenderung kaku dalam berbahasa; sebisa mungkin menghindari typo, mengetik sesuai EYD atau PUEBI bahkan dalam percakapan sehari-hari, dan selalu khawatir bila diksi atau tata bahasa saya membuat orang lain salah paham.

Iklan

Selain itu, saya menjadi sulit diajak bercanda, apalagi bila candaannya berhubungan dengan kecerobohan atau ketidaktahuan orang lain. Saya takut “mendapat balasannya”.

Untung saja, saat saya kecil, mendokumentasikan sesuatu dan menyebarluaskannya secara digital tidak semudah sekarang. Bila iya, mungkin waktu itu akan ada teman yang mengeluarkan ponselnya di jam istirahat, lalu membuat konten TikTok: Salah tulis pas ulangan checkkk!

Zaman berubah dan inovasi di dalamnya tidak bisa dielakkan. Meski rumusnya masih sama; semakin tinggi popularitas maka semakin tinggi kesempatan untuk menjadi kaya, cara-cara yang ditawarkan kini sudah lebih kreatif. Seperti menggunakan anak di bawah umur untuk menjadi materi konten di TikTok, misalnya.

Berikan mereka pertanyaan sederhana yang kemungkinan besar diketahui jawabannya oleh orang dewasa, rekam reaksi kebingungan (sebagian kewalahan) beserta kekeliruan mereka, dan bam—netizen yang butuh hiburan di kala sarana aktualisasi dirinya tergilas pandemi merasa harga dirinya penuh kembali.

Jangan lupa, meski konten itu bisa saja dibuat dan dirilis tanpa izin dari anak-anak yang wajah, nama sekolah, serta kelasnya ditampilkan tanpa sensor; pembuat konten dapat membenarkan perbuatannya dengan mengatakan itu hanya bercanda.

Pembuat konten juga mungkin mengingatkan soal lucu dan polosnya mereka, tanpa peduli reaksi netizen yang berbondong-bondong mengecap anak di dalam konten sebagai generasi gagal, atau berasal dari orang tua yang gagal, atau diajari oleh guru yang gagal.

Menyebarkan informasi orang lain tanpa izin itu sesuatu. Namun, dengan sengaja menjadikan orang lain, masih berusia di bawah 18 tahun pula, sebagai bahan tertawaan publik demi keuntungan pribadi adalah sesuatu yang lain lagi—yang buat saya, lebih aneh.

Perundungan atau bullying, selama ini dimengerti sebagai suatu perilaku agresif yang disengaja dan dilakukan berulang oleh seseorang untuk menyebabkan rasa sakit atau tidak nyaman pada korbannya. Namun, kehadiran internet dan berbagai platform sosial di dalamnya memperluas definisi perundungan.

Di dunia maya, seseorang tidak perlu berperilaku agresif berkali-kali untuk menjadi perundung. Sebab, satu saja perilaku agresifnya (atau satu konten agresifnya) dapat dilihat oleh jutaan orang, diunduh oleh ratusan ribu orang, dibagikan kembali oleh ribuan orang, hingga direspons oleh entah berapa orang yang secara sadar atau tidak sadar berpotensi melanjutkan perundungan.

Tapi itu hanya prank! Begitu mungkin kata sebagian orang.

Kendati memiliki definisi dan motivasi yang berbeda, prank dan perundungan dipisahkan oleh sebuah garis tipis. Ketika prank berbuah menyakiti dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi korbannya, maka garis tipis itu telah dilewati. Prank berubah menjadi perundungan.

Terlebih, apabila si “prankster” sesungguhnya sadar akan dampak fisik, moral, dan/atau emosional dari prank yang dilakukannya.

Hal yang menurutmu lucu, belum tentu lucu bagi orang yang kamu jadikan bahan tertawaan.

Namun, kembali pada penelitian, seorang perundung kerap kali sesungguhnya lebih problematik dibanding yang dirundungnya. Merundung, atau prank menuju merundung, adalah cara seseorang melawan rasa rendah diri dan tidak berdaya, menunjukkan kekuatan atau kontrol yang ia (seolah-olah) miliki, serta sebagai upaya memperoleh pengakuan.

Oleh karena itu, perundung biasanya mencari korban yang tampak berada di bawahnya secara fisik, sosial, ekonomi, atau usia.

Nah, untuk kamu yang secara sengaja mencari kelengahan orang lain, menjadikannya konten, menyebarkannya, dan membiarkan penonton berlomba-lomba menunjukkan betapa payah orang di dalam konten itu serta betapa lebih baik dirinya—kamu punya masalah apa?

Memangnya, kamu dapat apa sih, dari melakukan itu?

BACA JUGA Betapa Ribetnya Nama Anak-anak Masa Kini dan tulisan Miranda Olga lainnya.

Terakhir diperbarui pada 23 April 2021 oleh

Tags: anak SDanak-anakbullyingkontenpranktiktokviral
Miranda Olga

Miranda Olga

Artikel Terkait

Gawai adalah Candu: Cerita Mereka yang Mengalami Brain Rot karena Terlalu Banyak Menonton Konten TikTok.MOJOK.CO
Mendalam

Gawai adalah Candu: Cerita Mereka yang Mengalami Pembusukan Otak karena Terlalu Banyak Menonton Konten TikTok

3 Juli 2025
Relawan di GIK UGM mencegah bullying. MOJOK.CO
Kilas

Ratusan Relawan di GIK UGM Siap Berkeliling ke Sekolah di Yogyakarta untuk Memberantas Bullying

4 Mei 2025
Alumnus UGM terkena bully. MOJOK.CO
Ragam

Cerita Alumnus UGM yang Kena Bully, Dilabrak Belasan Senior Gara-gara Aktif Berorganisasi

11 Maret 2025
Ragam

Selamat Datang, Post-Truth: Era di Mana Influencer Problematik Promotor Judol Lebih Dipercaya Ketimbang Ahlinya Ahli

30 Oktober 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.