Sejak Pilpres 2014 hingga hari ini, orang Indonesia, terutama yang ber-KTP Facebook dan Twitter, sepertinya telah terkutub menjadi dua kelompok: pembenci dan pemuja. Isu apa saja bisa menggiring orang saling bermusuhan karena alasan kebencian. Tampaknya permusuhan warga ini akan masih berlanjut hingga tahun-tahun ke depan, setidaknya yang paling dekat hingga Pilkada DKI 2017. Permusuhan ini tampaknya akan makin memanas mengingat Mas Jonru baru saja merayakan sejuta pengikut di Facebooknya, #eh.
Jokowi, Prabowo, Ahok, FPI, PKS, JIL, islamis, sekularis, apa pun yang menyangkut topik-topik ini seolah-olah membuat dunia menjadi monokrom: hitam dan putih saja. Pembenci Jokowi-Ahok akan menganggap apa pun tentang kedua orang ini pasti salah, tidak mungkin benar. Sebaliknya, pemuja keduanya akan menganggap apa pun sikap junjungan mereka pasti benar dan beralasan. Padahal kita semua tahu, dunia ini pelangi, bukan hitam-putih.
Celakanya, cara pandang hitam-putih ini dimiliki oleh hampir semua orang. Kita sendiri pun mungkin berada di dalamnya tanpa kita sadari. Ukurannya gampang saja, kita belum bisa dianggap sebagai seorang yang benar-benar bersikap adil jika kita belum bisa memberi apresiasi kepada Jokowi sekaligus Prabowo sekaligus Ahok sekaligus FPI sekaligus JIL sekaligus PKS sekaligus Jonru sekaligus Rudi Kurawa sekaligus Uni Fahira Idris sekaligus Akhmad Sahal. Kata kuncinya adalah “sekaligus”. Kalau kita cuma bisa mengapresiasi satu pihak, hampir pasti kita termasuk pembenci atau pencinta yang lebay.
Too much love will kill you, kata Freddie Mercury. Cinta yang mestinya membahagiakan justru bisa menyengsarakan kalau dosisnya kelewat besar. Kalau cinta saja bisa demikian, apalagi benci.
Perasaan benci hakikatnya adalah respons biologis ketika Homo sapiens merasa ada sesuatu yang mengancam kenyamanannya, kebahagiaannya. Jadi, kalau kita menjadi pembenci, bagaimana mungkin kita bisa hidup bahagia? Dan sama seperti pembenci, para penyanjung pun sulit hidup bahagia karena ketika seseorang membenci junjungannya, pada saat yang sama ia akan menjadi pembenci orang yang membenci junjungannya. Jadi, penyanjung dan pembenci sama-sama sulit hidup bahagia. Kalau kita membenci Jonru dengan cara Jonru membenci Jokowi, lantas apa beda kita dengan Jonru?
Nah, di tengah zaman yang penuh kebencian ini, sungguh berbahagialah mereka yang tetap bisa adil sejak dalam kandungan. Sebagai eksperimen, untuk belajar adil dan berbaik sangka, mari kita coba empat pedoman sederhana yang biasa diajarkan di pesantren:
1. Ahbib habibaka haunan ma, ‘asa an yakuna baghidlaka yauman ma. Wa abghidh baghidlaka haunan ma, ‘asa an yakuna habibaka yauman ma. Cintailah kekasihmu sekadarnya saja sebab bisa jadi suatu saat ia akan menjadi orang yang kau benci. Dan janganlah berlebihan membenci musuhmu sebab suatu saat bisa jadi ia akan menjadi kekasihmu. Dalam terjemahan bahasa generasi Awkarinian, mungkin jadinya begini, ”Kalo cinta selow aja, kalo benci jangan lebay”.
Apa-apa yang lebay hanya akan membuat kita menelan ludah sendiri. Sudah terlalu banyak contohnya, mulai dari yang menggelikan sampai yang menjijikkan. Dunia politik adalah dunia ludah-meludah. Dulu Teman Ahok meludahi parpol habis-habisan. Tapi kita tahu bagaimana kelanjutan drama ketika mereka sudah berhasil mengumpulkan sejuta KTP. Dulu pemuja Jokowi-Ahok mencela habis-habisan Setya Novanto dalam kasus Papa Minta Saham. Tapi kita tahu apa yang terjadi kemudian. Setya Novanto menggendong Ahok di Pilkada DKI dan bergandengan mesra dengan Jokowi, bahkan sampai memberi janji “ijon” akan mendukung Jokowi di pilpres yang masih akan berlangsung tiga tahun lagi.
Dulu warga PKS memuji-muji Jokowi saat Pilkada Solo. Prabowo Subianto dan Fadli Zon juga memuji-muji Jokowi saat Pilkada Jakarta sambil menyanjung-nyanjung pencapaiannya di Solo. Tapi kita tahu apa yang terjadi kemudian. Orang yang sama bisa menjadi kekasih dan musuh dalam tempo yang begitu singkat. Ayat suci yang sama bisa dijadikan dasar untuk memuja dan membenci orang yang sama.
Benci dan cinta yang lebay hanya akan membuat kita nanti mati gaya. Mencla-mencle. Esuk dele, sore tempe. Seandainya Fadjroel Rachman tidak begitu membenci Pak Susilo Bambang, tentu ia tidak perlu mati gaya ketika menyambut kembalinya Sri Mulyani sementara orang-orang sudah telanjur meng-kepcer seruannya yang heroik menyuruh Sri Mulyani mundur dari jabatan menteri. Hal ini mungkin memuakkan, tapi setidaknya, ada pelajaran moralnya: bahwa menjadi pembenci yang heroik akan selalu punya sisi baik, bisa membuat anda secara tiba-tiba ditunjuk menjadi komisaris BUMN, tapi syaratnya, anda harus punya kecenderungan amnesia, atau setidaknya demensia.
2. Ma laayudraku kulluhu, la yutraku kulluhu. Sesuatu yang tidak bisa diraih semuanya, tidak harus ditinggalkan semuanya. Terjemahan versi liberalnya, mungkin, “Realistis aja, Bro!”
Contoh penerapannya buat para pembenci Jokowi. Anda sudah berjuang habis-habisan untuk mencegah Jokowi menjadi presiden. Itu heroik. Perjuangan anda sudah ternilai sebagai jihad. Tapi faktanya sekarang Jokowi sudah menjadi presiden. Merongrong dan mengharapkan Jokowi gagal itu sama saja dengan mengharapkan kondisi ekonomi makin kacau dan negara kita makin banyak utang. Jadi, lebih baik realistis saja dan menerima kenyataan bahwa Jokowi masih akan menjadi presiden sampai 2019. Tiga tahun lagi. Sribu tahun tak lama hanya sekejap saja, kata Bob Tutupoly, apalagi cuma tiga tahun lamanya.
Daripada membenci Jokowi sampai ubun-ubun, lebih baik fokuskan energi mempersiapkan pemilu 2019, jangan sampai Jokowi nanti menjadi presiden lagi. Lebih baik sekarang introspeksi dan meneliti kenapa anda bisa kalah di pemilu 2014 lalu. Di tahun 2019 nanti, buatlah kelompok Pro-Jokowi kalah telak dan yutraku kulluhu. Jadikan mereka oposisi ompong.
Alternatif lain, daripada terus-menerus disiksa oleh suuzon kepada Jokowi setiap hari, lebih bagus berbaik sangka saja kepadanya dan mendoakan agar dia mendapat hidayah. Jokowi mungkin sering berbohong, tapi mari kita ber-husnuzon dan ber-fadlizon saja bahwa dia aslinya bukan orang yang gemar berbohong. Dia pada dasarnya adalah orang baik yang kebetulan dikelilingi oleh para oportunis. Jokowi mungkin sering mengingkari janji, tapi mari kita asumsikan bahwa ia berbohong karena berada dalam kondisi terjepit. Survival.
Dalam perspektif biologi, berbohong adalah respons bertahan Homo sapiens saat ia ingin mempertahankan miliknya yang hendak direbut oleh pihak lain, mirip bunglon yang mengubah warna kulitnya. Lebih baik kita melihat kebohongan Jokowi dalam perspektif ini. Hanya dengan cara itulah Pak Jokowi tetap bisa menjadi presiden. Kalau ia tidak berbohong, kondisi negara kita mungkin malah amburadul. Kalau ia benar-benar melaksanakan janjinya untuk tidak bagi-bagi jabatan lalu ia memecat Luhut Pandjaitan, Puan Maharani, Wiranto, Sutiyoso, dan lain-lain, mungkin sekarang kita sedang berperang saudara. Walhasil, mengharapkan Jokowi sepenuhnya jujur itu jelas tidak realistis. Yang lebih realistis, kalau esok Anda mendengar Jokowi nggedabrus dan membual lagi, anggap saja itu dialog dagelan ketoprak humor.
3. La tushaddiquhu jami’a, wala tukadz-dzibuhu jami’a. Jangan kau anggap benar semua, juga jangan kau anggap salah semua. Tidak mungkin Jonru salah terus atau benar terus.
Pikiran dan perilaku manusia terlalu kompleks untuk disederhanakan dengan kacamata hitam-putih. Jokowi dan Ahok tidak mungkin hitam saja atau putih saja. Sekali waktu mereka benar, sekali waktu salah. Setiap orang pasti memiliki sisi baik dan sisi buruk. Tapi pembenci terus-menerus terpaku pada sisi gelap. Sebaliknya, penyanjung hanya bisa melihat sisi terang.
Warga PKS sulit menerima kenyataan bahwa Luthfi Hasan Ishaq melakukan korupsi karena mereka hanya fokus melihat sisi baik ketua partai mereka. Mereka justru lebih mempercayai teori konspirasi daripada menyadari bahwa seseorang yang kelihatan baik pun mungkin saja menyembunyikan sesuatu dan ia sebetulnya tidak sebaik seperti yang disangka. Hanya karena seseorang menjadi ketua umum partai dakwah, tidak berarti dia tak mungkin berbohong dan korupsi.
Seandainya pun seseorang itu benar-benar orang baik, tidak berarti kelompoknya pastilah kumpulan orang-orang baik. Umpamanya, misalkan, andai kata, Jokowi adalah sepenuhnya orang baik, tetap saja itu tidak selalu berarti para pendukung Jokowi adalah sekumpulan orang-orang baik seperti Anies Baswedan. Pula sebaliknya, hanya karena mendukung orang baik tidak lantas membuat seseorang menjadi baik. Bandit tetaplah bandit walaupun ia mendukung pandit.
4. Wala yajrimannakum syana-anu qawmin ‘ala an la ta’dilu. Jangan sampai kebencianmu terhadap satu pihak menyebabkan kamu berlaku tidak adil.
Bersikap adil sejak dalam pikiran itu sulit, apalagi adil sejak dalam kandungan. Kalau kita pembenci Ahok, pasti sulit sekali kita mengapresiasi usaha kerasnya memperbaiki birokrasi Jakarta dan membuatnya lebih transparan. Sebaliknya, kalau kita penyanjung Ahok, pasti sulit sekali kita melihat keburukannya yang selalu mengkambinghitamkan pihak lain tiap kali ada masalah, terlalu berpihak kepada konglomerat, dan kejam kepada warga miskin yang melarat. Keburukan Ahok ini sudah jelas sekali, cetho welo-welo, sejelas umpatan-umpatannya. Tapi coba tanyakan kepada para pemuja Ahok, bahkan yang paling cendekia pun, mereka pasti punya argumentasi intelektual yang membela junjungannya.
Kebencian harusnya tak menghalangi objektivitas. Anda boleh membenci Ahok tapi fakta menunjukkan, birokrasi di DKI sekarang jauh lebih baik. Anda boleh membenci PKS tapi mestinya ini tidak menghalangi anda mengapresiasi kerja pengabdian masyarakat yang dilakukan partai ini hingga ke pelosok-pelosok desa.
Dalam menilai suatu isu, kita harus melihat pokok persoalannya, bukan melihat orangnya. Undhur ma qala walaa tandhur man qala. Lihatlah ucapannya, jangan lihat siapa yang mengucapkan. Nilailah esensi tindakannya, bukan semata-mata reputasinya.