Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Kepala Orang Dipenggal di Sigi dan Citra Islam yang Dibajak Lagi

Miftakhur Risal oleh Miftakhur Risal
30 November 2020
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Teroris yang beraksi di Sigi, jumlahnya cuma tujuh orang, main futsal aja kurang itu. Meski begitu, mereka berani penggal kepala orang.

Setara Institute pernah merilis survei dukungan masyarakat Jateng dan DIY terhadap gerakan radikal dan tindak terorisme.

Hasilnya sebagian besar menolak ide-ide keras dari kelompok radikal. Responden yang bersedia menjadi anggota kelompok radikal hanya 4,9%. Sementara responden yang bersedia memberikan sumbangan lebih kecil lagi, atau sekitar 2,3%.

Tidak terlalu mengagetkan. Secara garis besar, arus utama masyarakat pada dua provinsi itu masih lazim. Yaitu menolak gagasan kelompok radikal, juga menolak memberi sumbangsih pada mereka.

Hanya saja, prosentase itu terkadang membuat kita terlena. Perbandingan tadi bukanlah prosentase dukungan pilkada, di mana yang sedikit otomatis tereliminasi manakala yang mayoritas menang. Yang sedikit tadi bukan layaknya slilit dalam bongkahan daging rendang yang bisa kita urus belakangan.

Masalahnya adalah, kelompok yang 4,9% tadi jika betul-betul proporsional dan dikalikan jumlah penduduk Jateng-DIY jadinya sangat mengkhawatirkan, yaitu hampir 2 juta orang.

Bisa dibayangkan jika jumlah segitu banyak betul bergabung dengan kelompok radikal. Pawai apel mereka sudah cukup untuk menutup ruas jalan Magelang-Jogja di kedua arah. Nah loh, mayoritas warga yang 30-an juta menjadi tidak berarti tho?

Apalagi berdasar survei lain dari LSI, ketika ditanya soal isu-isu terorisme, mayoritas responden (53,7%) kurang memberi perhatian kepada isu tersebut. Mungkin masih kalah dengan isu-isu pengupojiwo.

Kalau demikian adanya, klop sudah. Narasi 2 juta orang tapi tekun berpotensi menenggelamkan pandangan puluhan juta mayoritas yang diam saja. Sekali lagi itu jika prosentase tadi betul-betul proporsional.

Apabila ternyata yang bergabung dalam gerakan terorisme jauh lebih kecil, hal itu tidak kurang bahayanya. Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang baru saja melancarkan aksi di Sigi, jumlahnya (menurut polisi) hanya tujuh orang. Kelompok ronda saya saja jauh lebih banyak dari itu.

Namun bisa dilihat, teror mereka betul-betul menghilangkan nyawa tak berdosa dan bikin resah satu negara.

Kelompok yang melancarkan serangkaian aksi keji di Perancis beberapa waktu lalu juga hanya segelintir saja. Namun itu cukup membuat muslim sedunia menanggung beban dan malu.

Sebenarnya tidak ada hubungan organisatoris antara kelompok Islam radikal dan kelompok teroris. Artinya, para teroris itu bukan badan otonom atau anak cabang dari suatu kelompok radikal. Hanya saja, kelompok radikal sangat mudah untuk berubah menjadi teroris. Tinggal ada akses terhadap senjata atau tidak.

Ambil contoh saja penceramah-penceramah dari salah satu front anu. Tanpa tedeng aling-aling mereka menebar ancaman penggorokan leher pada penghina Nabi.

Iklan

Di satu kesempatan seorang penceramah juga mengajak jamaah untuk menghabisi kalangan Ahmadiyah. Bedanya dengan kelompok teroris kian tipis seperti di Sigi, yang satu bawa senjata api, satu bawa pentung sambil provokasi.

Kelompok radikal biasanya paling getol bereaksi terhadap gejala Islamofobia di Barat. Sebaliknya, biasanya mereka tidak bereaksi apapun terhadap kejadian seperti di Sigi. Seringkali malah menolak dan mengelak (denial).

“Alah, itu cuma settingan isilop.”

“Itu konspirasi Barat untuk memojokkan umat Islam!”

Anggapan demikian sejujurnya ada juga dalam lingkaran pertemanan saya dalam circle alumni kampus-kampus Timur Tengah. Sedikit sih tapi ya itu tadi, didiamkan oleh mayoritas. Narasi-narasi oleh orang yang sedikit itu jadi menenggelamkan silent majority.

Presiden Perancis pernah mengatakan bahwa Islam sedang alami krisis di mana-mana, yang karena itu dirinya dikecam dan produk negerinya diboikot oleh dunia Islam. Saya rasa dia ada benarnya. Memang sedang krisis, bahkan Islam ini sedang dibajak kok.

Pertama, Islam dijadikan kedok oleh kelompok radikal dan gerakan terorisme. Kedua, narasi-narasi kebencian pada liyan menenggelamkan narasi kasih sayang. Itulah bentuk pembajakan-pembajakan pada Islam.

Jika pada pembajakan jenis pertama kita terlalu bergantung pada negara untuk menumpasnya, pembajakan jenis kedua sebenarnya bisa kita cegah. Kita bisa merebut kembali identitas Islam.

Ini tidak mengada-ada apalagi mengawang-awang. Biar mudah lihat saja MUI.

Sebenarnya di ormas rasa penyelenggara negara itu, banyak duduk tokoh-tokoh yang kompeten dan adem. Namun kalah menonjol oleh sosok-sosok agitatif yang ke mana-mana menenteng nama MUI. Tenggelam sudah itu tokoh-tokoh kita yang adem.

Lalu tibalah saat MUI direbut kembali oleh (yang Gus Ulil Abshar sebut sebagai) kalangan konservatif moderat. Sosok-sosok kakehan polah tadi tergeser. Sebenarnya masih ada beberapa orang tapi dimasukkan ke dewan pertimbangan yang (kayaknya) keberadaannya formalitas belaka.

Kita-kita yang awam juga bisa upayakan hal serupa.

Begini.

Suporter kelompok radikal ini pasti ngegas terus di grup-grup WhatsApp. Umumnya anggota grup lain bodo-amat. Ada yang kontra narasi tapi paling hanya sedikit. Malas berdebat.

In real life (irl) mereka juga getol merebut panggung-panggung kerumunan. Banyak yang gerah tapi bisa apa? Malas panjang urusan nanti.

Barulah ketika (misalnya) Pangdam Jaya secara terang-terangan menantang, dukungan dari masyarakat mulai mengalir. Padahal perlawanan seperti ini tidak perlu menunggu Pangdam Jaya.

Aparat memang punya legitimasi hukum, tapi kita (masyarakat sipil) juga punya legitimasi sosial. Kita bisa memperjuangkan sendiri narasi kita lewat jalur yang bisa kita akses.

Lebih jauh, kalangan non-muslim umumnya tidak mendalami Al-Quran Hadis. Sebab, Islam itu dilihat dari pemeluknya.

Jika pemeluk Islam yang setiap hari nongol menonjol di berbagai media tanah air adalah mereka yang lakukan tindak teror, atau suporter tindakan teror, atau siapa itu yang kabur dari rumah sakit, kan ya bikin malu?

Biar Islam tidak lagi dibajak seperti di Sigi, jadi mari, Bung, kita rebut kembali!

BACA JUGA Wajah Islam Itu Nggak Kayak Raimu, Cuk! dan tulisan Miftakhur Risal lainnya.

Terakhir diperbarui pada 30 November 2020 oleh

Tags: aksi terorislam radikalpenggal kepalateroris
Miftakhur Risal

Miftakhur Risal

Alumni Islamic Call College Tripoli, Libya. Tinggal di Bantul.

Artikel Terkait

jack harun mojok.co
Liputan

Saat Mantan Teroris Ubah Stigma di Masyarakat dengan Jualan Soto

10 Mei 2022
Islam yang Saya Kenal di Tengah Percakapan Khabib Nurmagomedov dan Sir Alex Ferguson MOJOK.CO
Pojokan

Islam yang Saya Kenal di Tengah Percakapan Khabib Nurmagomedov dan Sir Alex Ferguson

5 Oktober 2021
Kemenangan Taliban di Afghanistan dan Hal-hal yang Bikin Penasaran
Esai

Kemenangan Taliban di Afghanistan dan Hal-hal yang Bikin Penasaran

17 Agustus 2021
Untung Jarang ke Masjid, Jadi Nggak Kena Hoaks soal Vaksin Corona Haram
Khotbah

Untung Jarang ke Masjid, Jadi Nggak Kena Hoaks soal Vaksin Corona Haram

23 Juli 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.