MOJOK.CO – Teroris yang beraksi di Sigi, jumlahnya cuma tujuh orang, main futsal aja kurang itu. Meski begitu, mereka berani penggal kepala orang.
Setara Institute pernah merilis survei dukungan masyarakat Jateng dan DIY terhadap gerakan radikal dan tindak terorisme.
Hasilnya sebagian besar menolak ide-ide keras dari kelompok radikal. Responden yang bersedia menjadi anggota kelompok radikal hanya 4,9%. Sementara responden yang bersedia memberikan sumbangan lebih kecil lagi, atau sekitar 2,3%.
Tidak terlalu mengagetkan. Secara garis besar, arus utama masyarakat pada dua provinsi itu masih lazim. Yaitu menolak gagasan kelompok radikal, juga menolak memberi sumbangsih pada mereka.
Hanya saja, prosentase itu terkadang membuat kita terlena. Perbandingan tadi bukanlah prosentase dukungan pilkada, di mana yang sedikit otomatis tereliminasi manakala yang mayoritas menang. Yang sedikit tadi bukan layaknya slilit dalam bongkahan daging rendang yang bisa kita urus belakangan.
Masalahnya adalah, kelompok yang 4,9% tadi jika betul-betul proporsional dan dikalikan jumlah penduduk Jateng-DIY jadinya sangat mengkhawatirkan, yaitu hampir 2 juta orang.
Bisa dibayangkan jika jumlah segitu banyak betul bergabung dengan kelompok radikal. Pawai apel mereka sudah cukup untuk menutup ruas jalan Magelang-Jogja di kedua arah. Nah loh, mayoritas warga yang 30-an juta menjadi tidak berarti tho?
Apalagi berdasar survei lain dari LSI, ketika ditanya soal isu-isu terorisme, mayoritas responden (53,7%) kurang memberi perhatian kepada isu tersebut. Mungkin masih kalah dengan isu-isu pengupojiwo.
Kalau demikian adanya, klop sudah. Narasi 2 juta orang tapi tekun berpotensi menenggelamkan pandangan puluhan juta mayoritas yang diam saja. Sekali lagi itu jika prosentase tadi betul-betul proporsional.
Apabila ternyata yang bergabung dalam gerakan terorisme jauh lebih kecil, hal itu tidak kurang bahayanya. Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang baru saja melancarkan aksi di Sigi, jumlahnya (menurut polisi) hanya tujuh orang. Kelompok ronda saya saja jauh lebih banyak dari itu.
Namun bisa dilihat, teror mereka betul-betul menghilangkan nyawa tak berdosa dan bikin resah satu negara.
Kelompok yang melancarkan serangkaian aksi keji di Perancis beberapa waktu lalu juga hanya segelintir saja. Namun itu cukup membuat muslim sedunia menanggung beban dan malu.
Sebenarnya tidak ada hubungan organisatoris antara kelompok Islam radikal dan kelompok teroris. Artinya, para teroris itu bukan badan otonom atau anak cabang dari suatu kelompok radikal. Hanya saja, kelompok radikal sangat mudah untuk berubah menjadi teroris. Tinggal ada akses terhadap senjata atau tidak.
Ambil contoh saja penceramah-penceramah dari salah satu front anu. Tanpa tedeng aling-aling mereka menebar ancaman penggorokan leher pada penghina Nabi.
Di satu kesempatan seorang penceramah juga mengajak jamaah untuk menghabisi kalangan Ahmadiyah. Bedanya dengan kelompok teroris kian tipis seperti di Sigi, yang satu bawa senjata api, satu bawa pentung sambil provokasi.
Kelompok radikal biasanya paling getol bereaksi terhadap gejala Islamofobia di Barat. Sebaliknya, biasanya mereka tidak bereaksi apapun terhadap kejadian seperti di Sigi. Seringkali malah menolak dan mengelak (denial).
“Alah, itu cuma settingan isilop.”
“Itu konspirasi Barat untuk memojokkan umat Islam!”
Anggapan demikian sejujurnya ada juga dalam lingkaran pertemanan saya dalam circle alumni kampus-kampus Timur Tengah. Sedikit sih tapi ya itu tadi, didiamkan oleh mayoritas. Narasi-narasi oleh orang yang sedikit itu jadi menenggelamkan silent majority.
Presiden Perancis pernah mengatakan bahwa Islam sedang alami krisis di mana-mana, yang karena itu dirinya dikecam dan produk negerinya diboikot oleh dunia Islam. Saya rasa dia ada benarnya. Memang sedang krisis, bahkan Islam ini sedang dibajak kok.
Pertama, Islam dijadikan kedok oleh kelompok radikal dan gerakan terorisme. Kedua, narasi-narasi kebencian pada liyan menenggelamkan narasi kasih sayang. Itulah bentuk pembajakan-pembajakan pada Islam.
Jika pada pembajakan jenis pertama kita terlalu bergantung pada negara untuk menumpasnya, pembajakan jenis kedua sebenarnya bisa kita cegah. Kita bisa merebut kembali identitas Islam.
Ini tidak mengada-ada apalagi mengawang-awang. Biar mudah lihat saja MUI.
Sebenarnya di ormas rasa penyelenggara negara itu, banyak duduk tokoh-tokoh yang kompeten dan adem. Namun kalah menonjol oleh sosok-sosok agitatif yang ke mana-mana menenteng nama MUI. Tenggelam sudah itu tokoh-tokoh kita yang adem.
Lalu tibalah saat MUI direbut kembali oleh (yang Gus Ulil Abshar sebut sebagai) kalangan konservatif moderat. Sosok-sosok kakehan polah tadi tergeser. Sebenarnya masih ada beberapa orang tapi dimasukkan ke dewan pertimbangan yang (kayaknya) keberadaannya formalitas belaka.
Kita-kita yang awam juga bisa upayakan hal serupa.
Begini.
Suporter kelompok radikal ini pasti ngegas terus di grup-grup WhatsApp. Umumnya anggota grup lain bodo-amat. Ada yang kontra narasi tapi paling hanya sedikit. Malas berdebat.
In real life (irl) mereka juga getol merebut panggung-panggung kerumunan. Banyak yang gerah tapi bisa apa? Malas panjang urusan nanti.
Barulah ketika (misalnya) Pangdam Jaya secara terang-terangan menantang, dukungan dari masyarakat mulai mengalir. Padahal perlawanan seperti ini tidak perlu menunggu Pangdam Jaya.
Aparat memang punya legitimasi hukum, tapi kita (masyarakat sipil) juga punya legitimasi sosial. Kita bisa memperjuangkan sendiri narasi kita lewat jalur yang bisa kita akses.
Lebih jauh, kalangan non-muslim umumnya tidak mendalami Al-Quran Hadis. Sebab, Islam itu dilihat dari pemeluknya.
Jika pemeluk Islam yang setiap hari nongol menonjol di berbagai media tanah air adalah mereka yang lakukan tindak teror, atau suporter tindakan teror, atau siapa itu yang kabur dari rumah sakit, kan ya bikin malu?
Biar Islam tidak lagi dibajak seperti di Sigi, jadi mari, Bung, kita rebut kembali!
BACA JUGA Wajah Islam Itu Nggak Kayak Raimu, Cuk! dan tulisan Miftakhur Risal lainnya.