Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Isu George Flyod untuk Kampanye Referendum Bukan Satu-satunya Jalan Mencari Keadilan bagi Papua

Miftakhur Risal oleh Miftakhur Risal
2 Juni 2020
A A
Isu George Flyod untuk Kampanye Referendum Bukan Satu-satunya Jalan Mencari Keadilan bagi Papua

Isu George Flyod untuk Kampanye Referendum Bukan Satu-satunya Jalan Mencari Keadilan bagi Papua

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Narasi bahwa “hanya orang-orang tertentu yang berhak bersuara untuk Papua” justru jadi bagian tak mengenakkan. Sebab, nuansanya jadi terkesan eksklusif.

Minneapolis, sebuah kota di negara bagian Minnesota, Amerika Serikat, bergejolak atas kematian George Floyd yang tewas di tangan polisi. Adegan yang secara brutal terekam kamera itu tersebar di medsos dan viral.

Ribuan warga Amerika tak terima. Gelombang protes berujung kerusuhan di mana-mana. Barangkali ini adalah salah satu manifestasi ungkapan Gus Dur yang jarang dikenali, yakni; “Peace without justice is an illusion.”

Justifikasi sebanyak apapun untuk membela polisi bernama Derek Chauvin yang mengakhiri nyawa George Flyod tak akan ada gunanya. Ndilalah­-nya lagi, nama si polisi mengandung unsur chauvinisme. Mungkin ini yang dinamakan—dalam istilah Jawa: “kabotan aran” alias terbebani sama nama sendiri.

Di Indonesia, kejadian itu pun mendapat respons cukup ramai, dan digunakan untuk menyentil isu Papua. Tak sedikit aktivis HAM Indonesia menemukan momentum untuk menyuarakan kembali perjuangan Papua. Kesamaan soal kasus rasisme yang sama-sama dialami oleh warga kulit hitam Amerika dan Orang Asli Papua (OAP). Di medsos, tagar #Papuanlivesmatter bersanding dengan #Blacklivesmatter karena kesamaan konteks.

Tapi aktivis HAM tidak sendiri, kelompok masyarakat yang pro-“NKRI harga mati” juga berusaha merebut panggung. Kelompok ini tidak setuju jika kebrutalan polisi di Minneapolis dihubungkan dengan persoalan Papua. Kelompok kedua yakin bahwa foto-foto yang diklaim sebagai arogansi aparat tidak ada kaitannya dengan isu rasial. Yang paling masuk akal—menurut mereka—kasus ini adalah murni isu separatisme.

Kelompok pro-“NKRI harga mati” menilai tindakan aparat hanya respons atas Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Oleh karena itu, kasus Papua dianggap tidak bisa dihubungkan dengan kasus rasisme di Minneapolis. Lagipula Indonesia juga tak mengenal perseteruan karena perbedaan warna kulit. Konflik kesukuan dan agama memang ada, tapi bukan karena warna kulit.

Masing-masing kelompok juga mengklaim mewakili suara orang Papua sambil saling menafikan (atau setidak-tidaknya mengerdilkan) perjuangan satu sama lain. Selalu berseteru. Mungkin hanya urusan sinetron Indosiar mereka bisa bersatu untuk sama-sama nggak mau nonton.

Dalam pandangan saya, harus saya akui suara aktivis HAM sedikit lebih organik. Benar-benar suara dari manusia yang merdeka. Sementara yang satunya lebih banyak diwakili oleh “bot” atau akun minim followers yang tentu saja cukup… MNCRGKN SKL! Identifikasi singkatnya cukup mudah. Akun-akun yang biasanya menambahkan bendera merah putih dalam user name.

Tapi itu semua hanya di medsos. Bagaimana dengan dunia nyata?

Hm, begini.

Komitmen aktivis HAM seperti—ambil contoh saja—Veronica Koman cs untuk Papua memang tidak diragukan. Kamu mesti tahu bahwa beberapa rela masuk penjara. Yang lain bahkan juga rela jadi DPO demi memperjuangkan HAM untuk Papua. Dalam berbagai kesempatan, di tengah keterbatasan informasi soal Papua, mereka bahkan masih memberi update pelanggaran HAM yang terjadi—nyaris—tiap hari.

Sedangkan kita-kita ini, yang mengamati dari jauh, tidak ada apa-apanya. Karena itu, etisnya jangan mengganggu. Apalagi turut mengamplifikasi akun-akun ternakan yang tak jelas. Berikan mikropon hanya pada mereka yang layak bersuara.

Hm, sebentar.

Iklan

Narasi bahwa “hanya orang-orang tertentu yang berhak bersuara” justru menjadi bagian yang tidak terlalu nyaman buat saya. Sebab, nuansa perjuangannya jadi terkesan eksklusif. Seolah hanya kelompok tertentu yang berhak menafsirkan arti perjuangan rakyat Papua. Lantas pendekatan atau ide lain soal Papua di luar tafsir kelompoknya dianggap keliru.

Saat aktivis pertanian mengenalkan cara bercocok tanam yang berbeda—misalnya, dikomen: biarkan Papua hidup dengan caranya! Saat ada guru dari Jawa masuk ke pelosok Papua, direspons: hati-hati dicekoki doktrin “NKRI harga mati”! Saat negara membangun jembatan dan jalan trans-Papua, ditimpali: Papua tak butuh itu!

Seolah satu-satunya cara bela Papua adalah: referendum! Sebagian orang bahkan dengan cukup percaya diri menyebut Indonesia sebagai kolonial dari perspektif Papua. Tidak semua, tapi banyak yang berpikir begitu (bahkan Mohammad Hatta pun dulu berpikir begitu).

Masalahnya, tidak hanya soal substansi ide saja yang eksklusif, tapi lamat-lamat gap ini juga muncul dalam praktik perjuangannya. Seperti misalnya, anggapan bahwa “Bela Papua” yang tidak dalam bentuk demonstrasi berarti dianggap belum berjuang. Karena belum berjuang, tidak sepantasnya menafsirkan bagaimana perjuangan hak untuk Papua mesti dilakukan.

Riuh-riuh kecil ini mengingatkan saya pada perseteruan bagi para aktivis pembela Palestina. Mereka yang umumnya pro-Hamas tidak bisa menerima pendekatan lain selain konfrontasi. Masih belum lama, usaha Gus Yahya Cholil Staquf berorasi di hadapan akademisi Israel; tidak terima oleh para aktivis pro-Hamas. Tidak hanya itu. Usaha-usaha bela Palestina jika disampaikan oleh kelompok di luar circle aktivis tadi juga diragukan.

Kalau sudah begitu, sebenarnya inti perjuangan itu apa? Apakah hendak mengajak sebanyak mungkin orang untuk berpartisipasi atau lebih suka membuka banyak front permusuhan?

Kita perlu sepakat bahwa tindakan represif aparat harus dihentikan di Papua. Kita juga harus sepakat bahwa pelanggaran HAM di Papua harus diusut. Tapi bagaimana jika seseorang mengusulkan pendekatan lain selain referendum? Apakah ide semacam ini para aktivis bisa menerima? Ataukah perjuangan ini hanya nangkring di kalangan aktivis secara eksklusif semata dan tidak memberi tempat bagi ide-ide yang lain?

Saya akan ambil contoh kecil dari teman saya. Seseorang yang berprofesi sebagai guru SD. Kebetulan ia suka membuat instrumen observasi calon murid baru. Ia ingin tahu bagaimana calon anak didiknya menerima orang lain. Oleh karena itu, perlu diteliti sikap sosial pada anak-anak dengan memperlihatkan foto anak Papua, dilanjutkan bertanya:

“Kamu mau nggak berteman dengan anak ini?”

Jika anak menjawab mau, si anak diberi apresiasi. Jika menjawab, “nggak mau,” teman saya akan memberi pengertian.

Ini bukan kisah fiktif. Ini usaha dunia pendidikan untuk menanamkan anti-rasisme sejak dini dari hal yang paling dekat. Agar apa yang dulu pernah terjadi, tidak terulang pada generasi ke depan. Praktik ini, sudah dijalankan di beberapa sekolah atas inisatif guru-gurunya, dan saya bisa menyebutkan sekolah mana saja yang menerapkan instrumen observasi seperti itu di daerah saya.

Usaha di atas tidak terjadi di tanah Papua, tidak heroik, tidak pula berwujud demo serta berkampanye di medsos. Hanya bentuk perjuangan kecil dalam wujud sunyi. Pertanyaannya, apakah aktivis Papua mengakui ini sebagai salah satu bentuk perjuangan?

Ada banyak jalan ke Roma dan ada banyak cara menyelesaikan persoalan Papua. Dan agar kedamaian ini tak menjadi ilusi—seperti kutipan Gus Dur yang saya comot di awal, izinkan cara remeh seperti tadi menjadi salah satu tafsir mencari keadilan untuk Papua. Kalaupun belum bisa untuk tanahnya, paling tidak untuk orang-orangnya.

BACA JUGA Ejekan Rasialis ‘Monyet’ Menjadi Alat Perlawanan Minke-Minke Abad 21 atau tulisan Miftakhur Risal lainnya.

Terakhir diperbarui pada 2 Juni 2020 oleh

Tags: George FloydPapuarasismereferendum
Miftakhur Risal

Miftakhur Risal

Alumni Islamic Call College Tripoli, Libya. Tinggal di Bantul.

Artikel Terkait

Rugi Buka SPBU di Papua? DPR Bisanya Cuma Omong Kosong MOJOK.CO
Esai

Rugi Buka SPBU di Papua? Kalau DPR Menantang, Korporasi Bisa Menantang Balik karena DPR Cuma Bisa Melempar Retorika

3 Oktober 2025
Sejarah Indonesia Berisi Kekerasan dan Negara Paksa Kita Lupa MOJOK.CO
Esai

Sejarah Indonesia Berisi Luka yang Diwariskan dan Negara Memaksa Kita untuk Melupakan Jejak kekerasan itu

30 September 2025
Raja Ampat, Amazon Laut Papua Rusak karena Tambang Nikel MOJOK.CO
Esai

Anak Muda Raja Ampat Menantang Tambang Nikel: Ketika Tambang Nikel Merusak Amazon Laut Milik Rakyat Dunia

5 Juni 2025
Ketika Negara Membungkam: Fakta Kelam Peristiwa Genosida Papua 1977
Video

Ketika Negara Membungkam: Fakta Kelam Peristiwa Genosida Papua 1977

3 Mei 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.