MOJOK.CO – Warga Andalusia mendapat kabar bahwa sasarannya adalah Al-Quran. Kaum muslim langsung bereaksi dan sebagian lagi mengubur Al-Quran mereka.
Kabar burung biasanya adalah kebenaran yang dilebih-lebihkan. Setidaknya inilah yang disadari orang-orang Moor di Granada pada suatu hari awal 1500.
Semula adalah teriakan orang-orang tua dan para perempuan, dan akhirnya ada gerombolan massa berbondong-bondong di jalanan. Seorang imam sangar bernama Francisco Jiménez de Cisneros, O.F.M. telah mengeluarkan titah yang secara radikal akan menghadirkan integrasi sebuah kebudayaan baru dan menghabisi budaya lainnya.
Dari rumah ke rumah, rombongan imam dan tentara menyita buku-buku dan memberi isyarat kepada warga bahwa sasaran mereka adalah Al-Quran. Kaum muslim langsung bereaksi dan sebagian orang mengubur Al-Quran mereka.
Penggeledahan berlangsung susah payah dan sebanyak 5.000 kitab suci berhasil dikumpulkan. Monarki Katolik Raja Ferdinand V dan Ratu Isabella I, para pemenang dalam perebutan kembali kerajaan Spanyol, memerintahkan pembakaran Al-Quran dengan pertimbangan bahwa mereka hidup dalam masa-masa silang selimpat.
Cisneros, yang menjadi pastor penerima pangakuan dosa Ratu Isabella, menegaskan bahwa toleransi bisa berbahaya di kota tempat naskah-naskah muslim dibaca secara sembunyi-sembunyi.
Belumlah cukup untuk sekadar menaklukkan bangsa Moor; belumlah cukup untuk memaksakan satu kepercayaan baru. Perbedaan keyakinan perlu dihapus, begitu pula pandangan dunia yang termaktub dalam sebuah kitab suci yang sewaktu-waktu bia membangkitkan kekuatan lawan.
Cisneros tidak pernah dapat disuap. Lahir di sebuah desa Kastilia pada 1436, dia berasal dari keluarga melarat dan berhasil mengatasi kondisinya itu dengan belajar di Salamanca dan Roma. Karier imamatnya dimulai dari tempat yang tak lazim: penjara.
Paus Paulus II mengirim surat rekomendasi agar Cisneros mendapat “benefisi” sebidang lahan, tetapi Uskup Toledo menolak usulan Paus. Karena Cisneros terus ngotot, sang uskup akhirnya memenjarakannya. Enam tahun dia habiskan di penjara, dilupakan orang, membaktikan diri membaca Alkitab, dan menjadi seorang imam Fransiskan.
Akhirnya dia dibebaskan dan benefisinya toh diberikan juga. Tahun 1495, atas rekomendasi seorang teman, Isabella menunjuknya sebagai Uskup Toledo dan mengangkatnya sebagai pastor pribadi.
Orang-orang yang mengenal baik kehidupan Isabella dapat langsung mengerti mengapa Cisneros bisa mendapat kekuasaan itu. Hal ihwal ini juga menjelaskan sikap Cisneros terhadap Al-Quran. Dia ingin meneror semua muslim, baik yang tinggal di Granada, Afrika Utara, atau tempat-tempat lainnya.
Menurut Fernando Báez dalam Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (2017: 135-136), ada beberapa laporan pandangan mata tentang penghancuran buku di Granada, tetapi kita perlu memberi tinjauan khusus untuk laporan salah seorang sahabat Cisneros:
Dia memerintahkan semua muslim terpelajar untuk mengambil seluruh Al-Quran dan buku-buku mereka, yang berjumlah lebih dari 4.000 atau 5.000 jilid, baik tebal maupun tipis, menyalakan api, dan membakarnya; termasuk di dalamnya perak dan hiasan-hiasan liyan yang dipasang oleh bangsa Moor di sampul-sampul buku, seharga 8 dan 10 dukat.
Salah seorang murid Cisneros, Álvar Gómez de Castro (Santa Olalla, 1515-Toledo, 1580), menulis biografi gurunya dalam bahasa Latin. Yang mengejutkan adalah bagaimana pembakaran dan pemurnian religius ini didedahkan:
Gembira atas keberhasilan itu dan merasa bahwa dia harus memanfaatkan peluang ini untuk membasmi secara radikal dari jiwa mereka semua kekeliruan pandangan agama Islam, dia tidak mau dihalangi oleh pihak-pihak yang berpendapat bahwa lebih arif kiranya untuk menyapih orang-orang itu dari kebiasaan yang telah diajarkan sejak lahir sedikit demi sedikit.
Maka demikianlah, auto-da-fé Katolik pertama di Eropa dijalankan oleh Cisneros. Para ahli berpendapat bahwa yang dibakar bukan hanya Al-Quran, tapi juga risalah keagamaan dan puisi-puisi Sufi. Memang di Granadalah puluhan karya mistik Sufi beserta puisi-puisinya—yang membentuk bab tersendiri dalam kesusastraan Arab—dimusnahkan.
Sedikitnya separuh dari kesusastraan Sufi hancur oleh pihak Kristen. Kendati demikian, pihak kerajaan masih menganggap perintah mereka belum dijalankan sepenuhnya.
Sebuah dokumen multitafsir bertahun 1511 menunjukkan bahwa Raja Ferdinand merasa kurang puas karena “buku-buku kesehatan, filsafat, serta kronik-kronik” masih utuh dan selamat. Dan kekecewaannya ini berperan besar dalam kelanjutan penghancuran kebudayaan Arab di Andalusia.
Cisneros mencapai reputasi yang belum ada presedennya, terutama sebagai penghancur buku. Namun dia juga menonjol dalam tugas-tugas liyan, yang membuatnya disegani dan ditakuti oleh orang-orang di sekelilingnya.
Dia memberlakukan kehidupan selibat dalam gereja, menyarankan raja agar mengusir semua orang Yahudi, dan menyiksa ribuan orang untuk meyakinkan mereka agar masuk Kristen. Pada 1507 dia diangkat sebagai kardinal dan inkuisitor agung di seluruh Andalusia.
Syahdan, dialah yang menunjuk orang seorang biarawan tak dikenal bernama Torquemada sebagai kepala Inkuisisi. Tahun 1508, mimpi lamanya terwujud, yaitu pendirian Universitas Alcalá de Henares, tempat dia menyimpan manuskrip-manuskrip Arab di bidang kedokteran dan ilmu pengetahuan.
Di tempat ini dia juga memerintahkan penulisan Alkitab Poliglot Complutum dalam bahasa Yunani, Ibrani, dan Kasdim dengan terjemahan Latin.
Pasca Isabella dan Ferdinand wafat, pada 1517 Cisneros dimintai menemui raja anyar, Charles I. Saat itu usianya 81 tahun. Tatkala menjenguk keluarganya di Kota Roa, Burgos, dia tutup usia. Beberapa orang mengatakan dia mati diracun, tetapi menurut sebagian lagi, karena kesehatannya yang terus memburuk.
Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.