Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Ada Nggak Sih Feminis yang Mengidolakan Ustaz Felix Siauw?

M. Irfan Kusnanto oleh M. Irfan Kusnanto
12 Oktober 2018
A A
feminis
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Saya setuju kok dengan ide awal feminisme. Tapi lama-lama kok serasa ide-ide tersebut dikuasai aktivis feminis yang itu-itu aja ya?

Saya selalu tertarik untuk membahas dan mencari tahu pemikiran wanita. Seandainya bisa memilih kekuatan super, saya akan memilih punya kekuatan seperti Mel Gibson di dalam film What Women Want. Eh, sudah pernah nonton? Jika belum silakan cari filmnya.

Dari pilihan kekuatan super tersebut, saya jadi tergelitik saat membaca tulisan tentang feminisme dari perspektif yang agak unik. Eh, kebetulan ada penulis lain yang berbalas pantun dengan tulisan tersebut di Mojok beberapa waktu lalu. Bisa saya simpulkan kedua penulis sama-sama wanita dan sama-sama seorang feminis.

Akan tetapi, yang satu berkeyakinan bahwa feminis itu harus kaffah dalam melawan arus patriarki, sedangkan yang lainnya berpendapat sah-sah saja ngeli pada budaya patriarki tanpa harus meninggalkan identitas feminisnya.

Menurut penulis kedua, artikel penulis pertama itu bernada nyinyir dan memperburuk citra feminis. Tapi bukannya citra feminis memang sudah buruk ya?

Menurut saya kedua penulis meskipun sepintas terlihat bertolak belakang, esensinya masih sama kok. Terutama dari segi perspektif mereka. Dan dari hal itulah selama ini yang bikin ideologi feminisme agak cacat. Yaitu pada perspektif yang masih terlalu sempit.

Saya pernah berhubungan dengan seorang feminis beberapa tahun lalu. Darinya saya jadi makin tahu feminisme. Dengan dia pula lah saya jadi punya cita-cita untuk menikah. Tapi dianya nggak mau.

Dia sering bilang laki-laki itu buta warna karena pinginnya punya cewek berkulit putih seperti bintang iklan sabun mandi. Tapi saya nggak. Saya lebih suka bintang iklan sampo. Itu lho yang nggak mau jadi duta sampo lain. Saya yakin banyak pria juga kok yang mengidolakan si duta-nggak-mau-jadi-duta-sampo-lain meskipun kulitnya sawo matang banget.

Teman-teman saya tahu betul selera saya, bahkan saat saya ngajak mereka nonton X-Men Apocalypse mereka menuduh saya pingin nonton hanya karena ada Halle Berry di sana. Padahal kan karena saya pingin liat Olivia Munn pake kostum ketat?

Itu salah satu bukti skin tone itu hanya masalah selera bukan manifesto dari tirani patriarki.

Saya setuju kok dengan ide awal feminisme. Tapi lama-lama kok serasa ide-ide tersebut dikuasai orang yang itu-itu aja ya?

Tanpa bermaksud stereotyping, selama ini saya lihat tulisan-tulisan oleh para pegiat feminisme hanya berkutat di bidang dan pengalaman kelompok tertentu. Tidak mewakili gender perempuan sepenuhnya. Perspektif mereka bisa dikerucutkan ke dalam kelompok wanita yang:

  1. Kuliah atau berpendidikan setara perguruan tinggi.
  2. Berpacaran atau pernah punya pacar.
  3. Jika di luar negeri hanya mewakili perspektif wanita kulit putih.

Kelompok yang pertama ini paling gampang dikenali. Mereka memang terekspos dengan ide feminisme karena kampanye feminisme hanya gencar di lingkungan kampus. Nggak percaya? Coba lihat Ibu Susi Pudjiastuti. Meskipun beliau mandiri dan agak tomboi, beliau bukan (aktivis) feminis juga kan?

Atau coba lihat para BMI (Buruh Migran Indonesia) di luar negeri yang jadi aktivis. Mereka bisa memperjuangkan hak-hak buruh migran tanpa harus mendaku sebagai feminis. Karena apa? Salah satunya karena mereka tidak tercemar ideologi feminisme di kampus. Di mana feminisme, seperti ideologi khilafah: diobral, diasongkan.

Iklan

Kelompok yang kedua ini jadi feminis karena kecewa dengan pacarnya. Ini paling banyak. Hanya karena pacarnya suka menuntut dia agar tampil cantik sesuai selera sang pacar. (Kok mau ya sudah pacaran malah diatur-atur?).

Dan mereka bakal makin gencar menolak patriarki jika pernah putus dengan pacarnya. Padahal kan masih banyak wanita yang belum pernah pacaran dan tidak terwakili oleh mereka? Dari hal tersebut saya merasa kok tanpa sadar mereka memarjinalkan kaumnya sendiri ya?

Lalu dari kelompok ketiga inilah yang bikin saya makin suka sama wanita berkulit gelap. Di Amrik sono misalnya banyak kelompok yang menentang feminisme dan menyuarakan womanisme (yang menurut saya lebih pro-wanita) sebagai alternatifnya. Bukan saya saja kan yang merasakan betapa eksklusifnya perspektif feminis?

Pokoknya selama bahasan feminis masih hanya berkutat di perspektif tiga kelompok itu, bagi saya feminisme hanya bualan semata. Tanpa esensi. Pantas saja jika makin banyak orang yang tidak suka dengan feminis—bahkan di kalangan perempuan sendiri. Dan akan makin banyak perempuan powerfull yang menolak feminisme. Seperti salah satu idola saya, Judy Sheindlin, pemeran utama di acara reality show Judge Judy. (Boleh kan ngidol nenek-nenek?) Yang sudah mencapai season ke-23. Sinetron Tersanjung dan Cinta Fitri mah lewattt.

Jika suatu saat bisa dibuktikan bahwa ada feminis yang anti-pacaran, apalagi mengidolakan Ustaz Felix Siauw dengan gerakan “Indonesia Tanpa Pacaran”-nya, lha, baru kepercayaan saya pada feminisme akan kembali. Tenang, saya tidak akan gebyah uyah.

Nyatanya ada nggak? Kalo ada kenalin dong? Pingin banget saya ajak diskusi. Toh, cuma diskusi, tidak akan saya persekusi. Paling pol saya stalking akun medsos-nya aja.

Terakhir diperbarui pada 12 Oktober 2018 oleh

Tags: AktivisFelix SiauwfeminisfeminismemedsosMel Gibsonustaz
M. Irfan Kusnanto

M. Irfan Kusnanto

Artikel Terkait

The Ugly Stepsister, standard kecantikan.MOJOK
Seni

The Ugly Stepsister, Definisi (Dipaksa) Cantik Itu Luka

26 September 2025
Aquarina Kharisma Sari: Feminisme Itu Bukan Cuma Soal Hak Pribadi
Video

Mengkritik Gerakan Feminisme dari Sudut Pandang Anti Feminisme Bersama Aquarina Kharisma Sari

5 Agustus 2025
Ragam

Rekaman Kekerasan dalam Patung-patung Dolorosa Sinaga

30 Oktober 2024
Ide Bodoh Ridwan Kamil untuk Atasi Kemacetan Jakarta MOJOK.CO
Esai

Ide Nggak Masuk Akal Ridwan Kamil: Datangkan Psikolog dan Ustaz Keliling untuk Atasi Kemacetan Jakarta

3 September 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025
Keturunan Keraton Yogyakarta Iri, Pengin Jadi Jelata Jogja Saja! MOJOK.CO

Keresahan Pemuda Berdarah Biru Keturunan Keraton Yogyakarta yang Dituduh Bisa Terbang, Malah Pengin Jadi Rakyat Jelata Jogja pada Umumnya

18 Desember 2025
Sirilus Siko (24). Jadi kurir JNE di Surabaya, dapat beasiswa kuliah kampus swasta, dan mengejar mimpi menjadi pemain sepak bola amputasi MOJOK.CO

Hanya Punya 1 Kaki, Jadi Kurir JNE untuk Hidup Mandiri hingga Bisa Kuliah dan Jadi Atlet Berprestasi

16 Desember 2025
Bagian terberat orang tua baru saat hadapi anak pertama (new born) bukan bergadang, tapi perasaan tak tega MOJOK.CO

Katanya Bagian Terberat bagi Bapak Baru saat Hadapi New Born adalah Jam Tidur Tak Teratur. Ternyata Sepele, Yang Berat Itu Rasa Tak Tega

18 Desember 2025
Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat "Suami" bahkan "Nyawa" Mojok.co

Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat “Suami” bahkan “Nyawa”

19 Desember 2025
Atlet panahan asal Semarang bertanding di Kota Kudus saat hujan. MOJOK.CO

Memanah di Tengah Hujan, Ujian Atlet Panahan Menyiasati Alam dan Menaklukkan Gentar agar Anak Panah Terbidik di Sasaran

19 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.