MOJOK.CO –Â Saya setuju kok dengan ide awal feminisme. Tapi lama-lama kok serasa ide-ide tersebut dikuasai aktivis feminis yang itu-itu aja ya?
Saya selalu tertarik untuk membahas dan mencari tahu pemikiran wanita. Seandainya bisa memilih kekuatan super, saya akan memilih punya kekuatan seperti Mel Gibson di dalam film What Women Want. Eh, sudah pernah nonton? Jika belum silakan cari filmnya.
Dari pilihan kekuatan super tersebut, saya jadi tergelitik saat membaca tulisan tentang feminisme dari perspektif yang agak unik. Eh, kebetulan ada penulis lain yang berbalas pantun dengan tulisan tersebut di Mojok beberapa waktu lalu. Bisa saya simpulkan kedua penulis sama-sama wanita dan sama-sama seorang feminis.
Akan tetapi, yang satu berkeyakinan bahwa feminis itu harus kaffah dalam melawan arus patriarki, sedangkan yang lainnya berpendapat sah-sah saja ngeli pada budaya patriarki tanpa harus meninggalkan identitas feminisnya.
Menurut penulis kedua, artikel penulis pertama itu bernada nyinyir dan memperburuk citra feminis. Tapi bukannya citra feminis memang sudah buruk ya?
Menurut saya kedua penulis meskipun sepintas terlihat bertolak belakang, esensinya masih sama kok. Terutama dari segi perspektif mereka. Dan dari hal itulah selama ini yang bikin ideologi feminisme agak cacat. Yaitu pada perspektif yang masih terlalu sempit.
Saya pernah berhubungan dengan seorang feminis beberapa tahun lalu. Darinya saya jadi makin tahu feminisme. Dengan dia pula lah saya jadi punya cita-cita untuk menikah. Tapi dianya nggak mau.
Dia sering bilang laki-laki itu buta warna karena pinginnya punya cewek berkulit putih seperti bintang iklan sabun mandi. Tapi saya nggak. Saya lebih suka bintang iklan sampo. Itu lho yang nggak mau jadi duta sampo lain. Saya yakin banyak pria juga kok yang mengidolakan si duta-nggak-mau-jadi-duta-sampo-lain meskipun kulitnya sawo matang banget.
Teman-teman saya tahu betul selera saya, bahkan saat saya ngajak mereka nonton X-Men Apocalypse mereka menuduh saya pingin nonton hanya karena ada Halle Berry di sana. Padahal kan karena saya pingin liat Olivia Munn pake kostum ketat?
Itu salah satu bukti skin tone itu hanya masalah selera bukan manifesto dari tirani patriarki.
Saya setuju kok dengan ide awal feminisme. Tapi lama-lama kok serasa ide-ide tersebut dikuasai orang yang itu-itu aja ya?
Tanpa bermaksud stereotyping, selama ini saya lihat tulisan-tulisan oleh para pegiat feminisme hanya berkutat di bidang dan pengalaman kelompok tertentu. Tidak mewakili gender perempuan sepenuhnya. Perspektif mereka bisa dikerucutkan ke dalam kelompok wanita yang:
- Kuliah atau berpendidikan setara perguruan tinggi.
- Berpacaran atau pernah punya pacar.
- Jika di luar negeri hanya mewakili perspektif wanita kulit putih.
Kelompok yang pertama ini paling gampang dikenali. Mereka memang terekspos dengan ide feminisme karena kampanye feminisme hanya gencar di lingkungan kampus. Nggak percaya? Coba lihat Ibu Susi Pudjiastuti. Meskipun beliau mandiri dan agak tomboi, beliau bukan (aktivis) feminis juga kan?
Atau coba lihat para BMI (Buruh Migran Indonesia) di luar negeri yang jadi aktivis. Mereka bisa memperjuangkan hak-hak buruh migran tanpa harus mendaku sebagai feminis. Karena apa? Salah satunya karena mereka tidak tercemar ideologi feminisme di kampus. Di mana feminisme, seperti ideologi khilafah: diobral, diasongkan.
Kelompok yang kedua ini jadi feminis karena kecewa dengan pacarnya. Ini paling banyak. Hanya karena pacarnya suka menuntut dia agar tampil cantik sesuai selera sang pacar. (Kok mau ya sudah pacaran malah diatur-atur?).
Dan mereka bakal makin gencar menolak patriarki jika pernah putus dengan pacarnya. Padahal kan masih banyak wanita yang belum pernah pacaran dan tidak terwakili oleh mereka? Dari hal tersebut saya merasa kok tanpa sadar mereka memarjinalkan kaumnya sendiri ya?
Lalu dari kelompok ketiga inilah yang bikin saya makin suka sama wanita berkulit gelap. Di Amrik sono misalnya banyak kelompok yang menentang feminisme dan menyuarakan womanisme (yang menurut saya lebih pro-wanita) sebagai alternatifnya. Bukan saya saja kan yang merasakan betapa eksklusifnya perspektif feminis?
Pokoknya selama bahasan feminis masih hanya berkutat di perspektif tiga kelompok itu, bagi saya feminisme hanya bualan semata. Tanpa esensi. Pantas saja jika makin banyak orang yang tidak suka dengan feminis—bahkan di kalangan perempuan sendiri. Dan akan makin banyak perempuan powerfull yang menolak feminisme. Seperti salah satu idola saya, Judy Sheindlin, pemeran utama di acara reality show Judge Judy. (Boleh kan ngidol nenek-nenek?) Yang sudah mencapai season ke-23. Sinetron Tersanjung dan Cinta Fitri mah lewattt.
Jika suatu saat bisa dibuktikan bahwa ada feminis yang anti-pacaran, apalagi mengidolakan Ustaz Felix Siauw dengan gerakan “Indonesia Tanpa Pacaran”-nya, lha, baru kepercayaan saya pada feminisme akan kembali. Tenang, saya tidak akan gebyah uyah.
Nyatanya ada nggak? Kalo ada kenalin dong? Pingin banget saya ajak diskusi. Toh, cuma diskusi, tidak akan saya persekusi. Paling pol saya stalking akun medsos-nya aja.