MOJOK.CO – Babi sering menghasilkan keonaran. Mulai dari menjadi nama makian sampai udah jadi makanan pun selalu dimasalahkan. Nasibmu, Bi, Bi.
Hal pertama yang segera terlintas di kepala orang kebanyakan ketika mendengar binatang ini biasanya adalah, kotor, jorok, menjijikkan, cacingan, rakus, dan lain-lainnya—yang pokoknya berkonotasi buruk.
Bahkan, saking “kotornya” itu binatang, dalam sistem shio orang Tiongkok, mereka yang memiliki shio babi diidentikkan dengan sifat boros dan hedonis, meski dalam beberapa hal mereka juga dikatakan sebagai manusia yang makmur dan kaya, serta juga (katanya sih) bijak.
Memang kontradiksi. Kalau bijak kok boros? Tapi apakah mungkin, penggambaran shio babi dalam kepercayaan orang Tiongkok sesungguhnya sedang berusaha menampilkan sifat seseorang yang hidupnya kaya itu?
Mereka bijak dan pintar mencari uang sehingga menjadi kaya, tetapi ya hidupnya boros dan tidak hemat. Kebijaksanaannya hanya terletak dalam hal mencari uang, sedangkan untuk hal lainnya—terutama ketika mengeluarkan uang—ya tidak bijak.
Entahlah, saya sendiri cuma nebak-nebak saja. Saya bukan ahli feng shui maupun pengamat shio yang sering “keluar” dan bikin buku ketika tahun baru imlek mendekat. Tapi, terlepas dari perkiraan liar saya soal shio babi, masyarakat Indonesia toh sudah berabad-abad lamanya menabung di dalam sebuah celengan yang berbentuk babi, dan sedikit mirip dengan kasus shio yang sudah saya simpulkan tadi.
Kata celengan sendiri jika ditelisik, memang mirip dengan kata “celeng” yang artinya babi hutan.
Kenapa kok nabung di tempat yang bentuknya kayak gitu? Apa jangan-jangan analisis saya tentang shio babi berlaku juga untuk celengan?
Kita menabung di sebuah tempat berbentuk babi, karena secara tak langsung hewan ini dianggap pemakan segalanya, sehingga dianggap membawa kemakmuran, tetapi kemudian ketika celengan dipecahkan, manusia sering kali menghamburkan uang yang telah capek-capek ditabungnya itu, layaknya babi yang dianggap rakus. Jadi manusia itulah yang rakus, pemakan segala. Entahlah, itu cuma pemikiran iseng saya.
Hmm, rakus. Teringat pula bahwa meski katanya jorok, dipenuhi cacing, dan nista itu, cukup banyak orang-orang yang menikmati babi sebagai santapan kuliner mereka. Tentu saja yang memakannya bukan teman-teman beragama Islam, ataupun penganut Yudaisme dan juga Kristen Advent, karena dilarang di dalam agama mereka (ingat ya, jadi tidak hanya satu kepercayaan saja yang mengharamkan dagingnya).
Di Indonesia, yang sering diidentikan sebagai penikmat kuliner itu adalah teman-teman beretnis Tionghoa. Padahal, tidak semua orang Tionghoa makan babi, dan tidak semua orang yang makan babi itu orang Tionghoa. Tapi memang dasar orang Indonesia, semuanya bisa dibikin jadi homogen di sini.
Bahkan sejarah pun dibuat hitam-putih dan terlihat begitu homogen. Kayak stigma zaman dulu yang nyebut bahwa bule semuanya jahat dan kolonial, orang “pribumi” semuanya tertindas dan pejuang. Sampai-sampai Ariel Heryanto sempat berceramah dengan judul “Historiografi Indonesia yang Rasis”.
Dikiranya manusia itu tidak bermacam-macam jenisnya. Mungkin ini efek salah mengerti Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Mau kayak apa, pokoknya situ sekalian satu sifat. Kira-kira kasarnya begitu.
Kuliner daging babi memang dapat dengan mudah ditemui di daerah yang banyak dihuni peranakan Tionghoa. Mungkin ini awal mula munculnya pemikiran kalau semua orang Tionghoa suka makan dagingnya.
Bahkan, terdapat guyonan orang Tionghoa kepada teman Tionghoanya, “Lu bukan Cina kalau belom makan babi.” Waduh, kok ngeri?
Tapi, yang jelas, saya tidak mau berlama-lama membahas kuliner daging babi. Berbahaya. Mungkin ada beberapa dari Anda yang pernah mengikuti berita di tahun 2017, ketika sebuah festival kuliner berjudul “Pork Festival” didemo dan diminta dibatalkan oleh beberapa pihak.
Kenapa didemo?
Ya karena di sana, dan jelas-jelas terpampang di nama festival tersebut, “Festival Daging Babi”.
Padahal, festival tersebut tidak mencantumkan logo sertifikasi halal dari MUI dalam acara mereka, serta sudah terang-terangan pula menulis kata “babi”, sehingga, toh yang dilarang makan daging ini karena haram tidak perlu ikut-ikutan.
Tapi justru di sanalah letak kesalahan penyelenggara festival itu. Salahnya di mana? Ya karena terang-terangan bilang mau makan daging paling haram ini!
Harusnya kan minoritas tahu diri, kalau mau makan daging ini ya diam-diam sajalah sana sama keluarga, biar tidak menganggu iman mayoritas. Nanti kalau ada yang kebablasan ikut makan, memang situ mau tanggung jawab? Minoritas harus menghormati mayoritas. Kan gitu baru enak.
Meski begitu, festival tersebut toh tetap dilaksanakan, dengan syarat diganti namanya menjadi “Festival Kuliner Imlek”.
Dan, hal yang lebih konyol daripada mendemo sebuah festival kuliner daging babi adalah, festival kuliner ini harus dijaga oleh aparat keamanan bersenjata lengkap. Ya, festival kuliner imlek tahun 2017 itu dijaga oleh aparat keamanan. Buset.
Anda bisa menemukan fotonya di Google dan tertawa sambil geleng-geleng kepala. Kapan lagi Anda akan bisa makan sambil mendapat pengamanan kepolisian yang begitu ketat? Kan keren.
Babi sering menghasilkan keonaran. Kalau berbicara mengenai kegaduhan yang diciptakannya, mau tak mau diri ini jadi teringat novel Animal Farm (2016) karya George Orwell. Kalau di dunia nyata daging babi yang membuat kegaduhan, dalam novel Animal Farm, hewan itulah si biang keladi kegaduhan.
Sekumpulan hewan ternak memberontak kepada petani bernama Jones. Mereka menggila, mengusir petani itu, kemudian mengambil alih peternakan bagi diri mereka sendiri. Radikal, dan pokoknya revolusioner!
Dan siapa gerangan dalang gerakan liar tersebut? Ternyata para babi. Binatang yang, di dalam novel tersebut digambarkan paling cerdas dan dipimpin dua babi kharismatik bernama Snowball dan Napoleon.
Kisahnya epik dan penuh intrik. Meski judulnya terksesan sederhana, yang bisa diterjemahkan menjadi Peternakan Hewan, dan bisa membuat Anda dikira sedang mempelajari kiat-kiat sukses jadi peternak oleh teman yang “anti buku”, novel ini menawarkan sebuah kisah perjuangan yang beralih menjadi sebuah kekecewaan. Dan, tentunya, kisah para babi (dan hewan-hewan lainnya).
Tidak hanya di dalam novel saja, tetapi sampai urusan medis dan kesehatan yang berhubungan sama binatang ini pun terus mengganggu sendi-sendi kehidupan manusia. “Vaksin mengandung babi, jadi kita harus menolak vaksin.” Inilah gaung-gaung yang sering dikumandangkan oleh manusia-manusia yang menolak vaksinisasi di Indonesia.
Selain isu babi di dalam vaksin, isu lain yang terbilang konyol juga dapat kita dengar dari penggiat gerakan tersebut: vaksin, terutama vaksin impor, merupakan strategi untuk melemahkan kesehatan umat (Ca Nidom, Kompas, 10 September 2018).
Pernyataan-pernyataan bahwa vaksin merupakan senjata kaum zionis, sampai ke hal-hal aneh lainnya pun ikut mendampingi si babi yang berada di dalam vaksin.
Terlepas dari ada atau tidaknya unsur babi di dalam vaksin, MUI sesungguhnya sudah mengeluarkan fatwa diperbolehkannya vaksin sampai ditemukannya vaksin yang halal dan tidak mengandung unsur haram di dalamnya, karena kondisi sedang darurat (Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018).
Sayangnya, karena sudah terlanjur dianggap seperti makanan, vaksin akhirnya ditolak banyak kalangan yang takut kepada babi (serta gerakan zionis yang hendak melemahkan umat).
Ya, hewan ini memang mengesalkan.
Saking mengesalkan dan menjengkelkannya makhluk itu, kita sering kali mengumpat kepada teman yang suka membuat masalah dengan perkataan “babi lu!” atau ucapan-ucapan tak enak lainnya.
Rasanya kiasan “kambing hitam” yang sering kita dengar bisa diubah menjadi “babi hitam”, karena hewan itu benar-benar pembuat masalah dan penghasil kegaduhan. Kalau perlu malah, kiasan itu diganti saja sekalian jadi “babi merah”, lengkap dengan warna atribut paham komunisme yang acap kali jadi “pembuat” keonaran di negara ini.
Sudah babi, PKI pula. Kurang keparat apa?