MOJOK.CO – Udah jadi kayak agenda tahunan bagi Kota Serang, ada berita razia warung makan yang jualan siang hari saat Ramadan.
Ketika awal-awal kuliah, saya senang menghabiskan malam di bangku trotoar Jalan Soedirman KM30, Serang. Berbagi tempat dengan ojek daring yang menunggu pesanan, kadang-kadang menyisihkan 1-2 batang rokok pada tunawisma yang terlihat memelas saat saya menarik-embuskan asap, dan itu bukan persoalan serius.
Tempat itu syahdu—bodo amat kalau terdengar berlebihan, karena memang begitu—dan strategis. Ia berdiri hampir di tengah, antara kos dan kampus.
Di seberang berdiri MCD, tinggal tengok ke belakang ada Carrefour, dan satu pelemparan batu saja nangkring pos polisi yang membuat saya tenang dari ancaman tindak kriminal.
Akan mudah kita temukan bocah-bocah bergerombol (7-10 orang) mengemis saat lampu lalu lintas berubah merah. Mereka bekerja secara mekanis, dan terlihat abai pada ancaman tertabrak kendaraan. Yang ganjil dari mereka adalah perkara datang-pulang.
Saya tak pernah melihat dari arah mana mereka datang, tapi dua kali saya menyaksikan mereka dijemput oleh mobil bak menjelang pagi untuk balik.
Merta, kawan saya, pernah mengajak salah satu di antara mereka ngobrol dan menawarkannya belajar baca-tulis. Tapi ia menolak, matanya menunjukkan rasa takut, seperti bocah saat mengingat larangan yang dijejalkan seseorang.
Dugaan saya kian kuat, boleh jadi ada sindikat pengemis yang mengatur dan mengawasi mereka.
Begitulah. Saya membuka tulisan ini dengan pengalaman sentimentil, semata-mata untuk menggambarkan bagaimana progresifnya Kota Serang dalam mempraktikkan “Pekat”, salah satu Perda andalan mereka, yang omong banyak soal Penyakit Masyarakat.
Perda inilah yang menjadi dasar razia warung-warung makan yang buka siang bolong saat bulan puasa, serta ancaman pidana 3 Bulan kurungan atau denda 50 juta bagi mereka yang tak tunduk.
Peraturan keren ini eksis sejak 2010, dan beberapa kali sukses menaikkan nama Kota Serang dalam daftar perbincangan media-media besar Ibu Kota. Masih ingat kasus Bu Saeni 2016 lalu? Bahkan Pak Jokowi langsung turun tangan dengan memberi santunan kepadanya. Ajaib.
Banyak kelompok yang tak sepakat. Tetapi Walikota Serang, hampir dari periode ke periode, selalu teguh mempertahankan perda ini dengan alasan yang selalu seragam, “Tak bisa ditawar lagi, tolong hargai orang yang berpuasa.”
Seandainya mau konsisten dan konstitusional, sebetulnya penyakit masyarakat—tentu saja dalam teropong Pemkot Serang yang tertuang di perda ini—ada enam biji, dan bukan cuma perkara mokel atau grebek-grebek kayak konten Atta Halilintar.
Saya akan menyalin secara mentah-mentah seluruhnya di sini, yakni; (a) Pelacuran dan penyimpangan seksual; (b) Waria yang menjajakan diri; (c) Minuman beralkohol; (d) Gelandangan dan pengemis; (e) Anak jalanan; (f) Kegiatan yang dilarang pada bulan Ramadan.
Pemkot Serang benar-benar punya tenaga ekstra untuk mendayagunakan perda pamungkas ini. Mereka rutin merecoki tempat pelacuran dengan keganasan seorang Hercules. Begitu pula pada penjaja alkohol, atau waria di pinggir jalan. Tapi untuk poin “d” dan “e” entah kenapa Pemkot Serang loyo kayak Hulk kena tipes.
Sampai-sampai ada salah satu kampung, tak jauh-jauh amat dari pusat Kota Serang, yang dikenal sebagai Kampung Pengemis. Sangat miris.
Pada musim-musim Ramdan seperti sekarang, mereka akan meruyak berkeliaran dengan gerobak di sepanjang jalan. Cobalah berkendara dari UIN sampai Alun-alun Serang, paling sedikit Anda akan menemukan 15 gerobak pengemis.
Pemkot Serang tampaknya lebih senang merecoki dosa penduduknya, ketimbang mengurusi kemiskinan yang sudah mendarah daging. Betul, dulu saya punya pemikiran begitu. Tapi jelas itu keliru.
Belakangan saya sadari, di kota yang sangat islami ini, membiarkan anak-anak terlantar, lapar, mengemis-ngemis—dengan kemungkinan adanya sindikat—bukan penyakit serius. Mungkin cuma kutil atau bintit. Tak menganggu, bisa hilang sendiri.
Namun gorden warteg yang tersibak siang hari saat Ramadan adalah bala yang harus segera ditumpas. Sejenis kanker atawa wabah.
Sebab, ketika kamu sebagai pemimpin sadar tidak bisa memperbaiki kota jadi lebih baik, gagal mengentaskan masyarakat untuk lepas dari kemiskinan misalnya, maka salah satu jalan terbaik agar dipilih lagi di pemilihan selanjutnya adalah menampilkan sikap seberapa religius dirimu dalam menata kota.
Melakukan razia warung yang buka siang hari ketika Ramadan misalnya, sambil mengancam menyita alat penanak nasi misalnya. Wuiiih, tegas sekali kesannya ya sebagai sebuah pengelola iman Kota Serang.
Orang miskin tambah banyak tak apa, anak pengemis di jalanan bertumbuh tak jadi soal, yang penting semua orang tetap beriman. Semua orang terlihat menghormati Islam, menghormati Ramadan, menghormati puasa.
Hal yang makin jadi relevan dengan keberadaan pengemis.
Dengan adanya pengemis di jalanan, semua orang jadi punya peluang untuk sedekah ketika Ramadan. Dengan adanya anak-anak di jalanan, semua berpeluang meraih pahala menyantuni anak yatim. Dan dengan adanya pengemis di tiap sudut kota… stok zakat fitrah jadi jelas peruntukannya untuk siapa.
Luar biasa memang Pemkot Serang, ketika kesejahteraan warga kota tidak dipedulikan, ternyata keimanan dan moral warganya masih selalu dipikirkan. Stok penerima zakat dan sedekah selalu diupayakan untuk bisa bertambah dengan baik.
Benar-benar sesuai dengan motto Kota Serang, “Kota Serang Madani”. Madani kotanya, ngurusin hidup sendiri-sendiri warganya.
BACA JUGA Negara Kesatuan Ormas Sweeping Republik Indonesia dan tulisan M. Nanda Fauzan lainnya.