MOJOK.CO – Sapioseksual bukanlah kelainan orientasi seksual bersama seekor sapi; ia adalah paham yang mencintai inteletualitas—yang susah digapai masyarakat kita. Hah, kita???
Patah hati bisa membuat perangai siapa pun berubah seketika. Hal ini bisa saja terdengar sangat dangdut dan menggelikan, tapi bagi saya—barangkali juga Anda—ia ada benarnya juga. Iya kan?
Kisah ini bakal saya mulai dengan cerita zaman SMP, ketika Ujang, sohib kental saya, berkenalan dengan perempuan muda yang, menurut pengakuannya, memiliki paras dan perawakan mirip dengan Aura Kasih. Sulit sekali untuk percaya pada orang yang sedang jatuh cinta—maksud saya, seberapa besar kemungkinan gadis muda dikaruniai bibir yang sensual dan bentuk tubuh yang bisa membuat pria dewasa merancap?
Tapi, ya, apa boleh bikin, demi menjaga kekentalan persahabatan kami, saya cuma bisa berkomentar “Wah, ini mah Aura Kasih versi junior, Cuk! Pepet terus!” saat ia memamerkan foto perempuan itu di laman Facebook.
Dua minggu setelah itu, Ujang datang dengan patah hati tak tertanggungkan. Sebab, perempuan yang saban hari ia ceritakan itu menolak cintanya dengan alasan yang mampu membuat remaja tanggung seusia kami saat itu bergetar hati: Ujang ditolak karena perempuan tersebut enggan memiliki kekasih dengan lingkar otak yang tidak lebih luas dari jok motor N-MAX.
Saya sepenuhnya setuju, sih, soalnya Ujang ini memang selalu menduduki peringkat bawah di kelas. Bahkan, rapor sekolahnya sulit dibedakan dengan Bro and Sist-nya PSI kala kampanye, alias merah semua.
Kalau biasanya orang-orang ditolak dengan alasan klise semacam: “kamu nggak punya motor Satria-FU”, “kamu kurang jago main basket”, atau “kamu terlalu baik buat aku”, barangkali patah hati Ujang tidak akan berlarut-larut.
Lah masalahnya, Ujang ini ditolak karena dianggap goblok, ya jelas saja lingkar pergaulan kami mengalami culture shock! Secara refleks, kami berpendapat bahwa kamu perlu mempersiapkan diri agar tidak menjadi Ujang-Ujang berikutnya, meski, yaaaa, bisa ditebak bahwa ujung-ujungnya kami tetap malas sekolah dan lebih memilih menghabiskan waktu di warnet.
Sementara itu, dampak hal ini pada Ujang cukup berbeda. Ia kini memisahkan diri dari pergaulan kami yang naudzubillah bengal. Ia lebih sering menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan sekolah ketimbang merokok dan ngopi di kantin, tak pernah lagi bisa diajak bolos buat adu cupang, bahkan ia lebih rajin upacara dan melakukan tetek bengek lainnya yang jauh dari kata laknat.
Hasilnya? Alhamdulillah, ia berhasil masuk sepuluh besar peringkat kelas. Tapi, apakah ia lantas bisa menaklukan hati sang pujaan?
Ya tentu tidak segampang itu, Alfonso!!!!!11!!!
Usut punya usut, Aura Kasih Junior itu telah memilih orang lain yang kompetensi keilmuannya sedikit diragukan, alias nggak pinter-pinter amat, tapi memiliki ketampanan yang masyaallah. Duh, sabar ya, Jang, kalau kamu ingat hal ini. Bagaimanapun, sebagai orang Indonesia, kita harus tetap bijak mencari hikmah dalam musibah!
Soalnya, kalau dipikir-pikir, kalau dulu si Aura Kasih Junior ini menolak sambil bilang “Mundur, mz, kamu jele,” mungkin sekarang Ujang bakal terancam kere karena uangnya habis untuk bolak-balik ke Korea demi melakukan operasi plastik ketimbang baca buku. Wkwkwk~
Yang dialamai oleh perempuan idaman Ujang beberapa tahun lalu ini barangkali adalah gejala sapioseksual. Jika Anda berpikir istilah itu adalah apa yang layak disematkan pada manusia yang memiliki ketertarikan untuk bercinta dengan sapi, maka pertama-tama, mari kita bergandengan tangan, karena…
…ya, ketika mendengar istilah itu untuk pertama kali, saya juga memiliki anggapan demikian, Bambaaaang! Hehe.
Nyatanya, istilah ini bisa kita pelajari lewat tulisan Diana Raab, Ph.D.  Dengan judul “Sapiosexuality: What Attracts You to the Opposite Sex?” yang diunggah oleh salah satu situs psikologi terkemuka, istilah sapioseksual digunakan untuk merujuk pada mereka yang selalu mengatakan dirinya terangsang oleh pikiran seseorang dan cenderung terlena oleh ide-idenya.
Sulit sekali membayangkan jika orientasi seks semacam ini betulan ada. Mungkin, di semak-semak tempat biasa sepasang kekasih bercumbu, akan terjadi perdebatan tentang bentuk negara ideal menurut Plato, membahas gagasan agama dan Tuhan dari Dawkins, menelaah absurditas Camus, atau membedah buku  Also sprach Zarathustra karangan  Friedrich Nietzsche. Tentu, dengan formasi tangan kiri mencubit pipi pasangan dan tangan kanan memengang buku sebagai referensi.
Wooow, selain romantis maksiat, jenis ini juga terdengar ilmiah. Patut dicoba!
Soal perkara ini, saya masih sepakat dengan Samantha Allen bahwa sapioseksual tidak tepat masuk dalam kategori orientasi seksual dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Sebaliknya, ia justru mereduksi makna bagi para pecinta intelektualitas.
Lagi pula, FYI aja nih Sobat Sapiku, kecerdasan orang itu beda-beda, ya, jadi tolong jangan digeneralisasikan. Emangnya cuma orang pinter aja yang punya hak buat menjalin status?! Hih, mau enak-enak aja kok repot betul!
Tapi, fenomena ini belakangan ramai sekali di internet. Banyak manusia menuliskan “sapioseksual” sebagai keterangan di akun sosial medianya. Bahkan, di situs kencan daring OKCupid, ada lebih dari 9.000 pengguna mengidentifikasi dirinya sebagai sapioseksual. Wow, sungguh angka yang mengejutkan.
Mendadak, saya, kok, tiba-tiba suudzon pada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, ya? Jangan-jangan, ini adalah langkah strategis untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa? Bisa jadi, sesungguhnya mereka ini sedang berkampanye secara terselubung lewat beberapa agennya agar menyebarkan tren sapioseksual sebagai sebuah isu pop-culture.
Kenapa bisa begitu? Ya mau bagaimana lagi: Indonesia sudah 28 kali memiliki menteri yang mengurus soal isi kepala, tapi kemampuan kecerdasan publik justru masih mentok dan belum memuaskan. Sejak zaman Ki Hajar Dewantara sampai Pak Muhadjir Efendy, sejak nama instansi masih Kementerian Pengajaran hingga menjelma Kementerian Pendidikan dan  Kebudayaan, IQ nasional kita tidak pernah mencapai titik yang membanggakan. Bahkan, menurut rilis terbaru dari iq-research.info, kecerdasan kita masih berkisar di angka rata-rata 87.
Duh, Sobat Sapi sekalian, angka ini jelas timpang dengan negara tetangga, Singapura, yang kata Sandiaga harga nasi ayamnya lebih murah daripada di Jakarta angka kecerdasannya menyentuh 108.
Karena mewujudkan pendidikan ilmiah, demokratis, dan gratis hanya angan-angan, rasanya kampanye ini akan menjadi kebijakan paling uwuwuw sepanjang sejarah republik ini. Lagi pula, kita lebih takut untuk patah hati ketimbang terlihat pekok, kan?