MOJOK.CO – Dalam sehari, anak kecil bisa mengajukan pertanyaan 70-90 kali. Belum dengan jenis pertanyaan anak yang absurd dan sering menggegerkan dunia keimanan.
Saat tubuh saya cukup tinggi untuk membuka lemari pendingin, saya menghabiskan satu harmal untuk meneliti. “Makhluk ajaib macam apa yang mendekam di dalam kulkas, sehingga Ia bisa menyala dan mematikan lampu berbarengan dengan proses buka-tutup?”
Ibu saya terenyuh saat mendengar pertanyaan anak kecil kayak gitu, sambil agak kebingungan mencari penjelasan yang sederhana namun logis. Ibu lantas mendedahkan satu jawaban yang sangat kacau, “Karena ada Jin di dalamnya,” katanya membeo.
“Makanya jangan sering dibuka-tutup.”
Pada saat itu saya tak percaya. Saya mungkin masih bau kencur, tetapi nggak goblok-goblok amat. Saya ogah mengajukan pertanyaan anak kecil lanjutan, semisal; “Memangnya Jin tersebut nggak masuk angin, ya?”
Jawaban Ibu, bagi saya saat itu, adalah kode agar kulkas kesayangannya tak lagi dioprek-oprek.
Anak kecil emang tumbuh dengan banyak pertanyaan di benaknya. Batok kepala mereka yang masih otentik memungkinkan terjadinya tamasya ke alam pikir yang imajinatif—untuk tak menyebutnya absurd dan ngawur.
Suatu kali, sepulang mengaji, kawan saya bersungut-sungut.
Ia merasa resah karena selalu diikuti terus oleh Bulan. Ke mana saja ia menjejakkan kaki ada Bulan di situ. Kenapa Bulan jadi stalker begini?
Bapaknya yang mendengar pertanyaan ala anak kecil itu menjawab bahwa hal tersebut disebabkan karena kawan saya belum mau disunat. Keesokan paginya kawan saya merelakan burungnya—yang sudah ia jaga dengan begitu cermat—dijagal oleh pria dewasa.
Beberapa hari kemudian, saat luka di burungnya belum kering benar, kawan saya kembali mengeluh bahwa ritual sunat tak membereskan persoalan. Bulan tetap jadi penguntit ke manapun ia berada.
Dan, dengan kecerdasan tiada banding, bapaknya menjawab bahwa itu disebabkan karena kawan saya ini belum mampu menghafal sejumlah surat dalam Al-Quran. Kawan saya, semenjak itu, cukup giat membolak-balik lembaran kitab suci.
Mungkin ia akan terus mempraktikkan segala jawaban yang keluar dari congor Ayahnya, dan dengan cara itu ia bisa menjadi anak paling berbakti di kecamatan kami. Dan semua itu terjadi diawali hanya dari pertanyaan anak kecil sederhana.
Di satu sisi, saya sebenarnya cukup geli atas keputusannya untuk selalu manut. Meski saya tahu, metode untuk merengkuh kebenaran bagi anak kecil, tak lain adalah satu pembuktian empirik. Di luar itu? Nonsens belaka.
Berbeda dengan saya yang—katakanlah tak begitu akrab dengan teknologi sejak dini—adik perempuan saya punya pasokan pertanyaan yang lebih njelimet lagi, dengan jenis yang beragam. Barangkali karena informasi yang dia terima melalui kanal digital menyesaki kepalanya.
Adik saya bisa memecundangi saya dengan satu pertanyaan telak sekaligus bikin saya merasa gagal sebagai mahasiswa filsafat. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan yang cenderung sepele, bisa ia ketikan di mesin pencari.
“Bang, Allah bakal tahu password e-mail Adek, nggak?”
Mampus.
Dengan muka polos khas anak 6 tahun, ia berusaha menyerang abangnya dengan teka-teki yang bahkan tak pernah muncul dari mulut pasien Ningsih Tinampi sekalipun.
Tentu saya terperangah, pertanyaan anak agak polos tapi terkesan sophisticated yang keluar dari mulut adik saya ini benar-benar menyita strategi khusus.
Jika menjawab serius, potensi kepalanya “meledak” terbuka lebar. Jika dijawab asal-asalan, ia bakal semakin mencecar saya dengan pertanyaan turunan. Itu terbukti ketika saya jawab, “Ya pasti tahu laaah.”
Belum selesai tarikan nafas saya, adik saya lantas melempar pertanyaan sebenarnya…
“Lho, kalau bisa tahu, Allah berarti hacker, dong?”
…..
…
Mampus yang kedua kali saya.
Ini pertanyaan anak macam apa? Kalau nggak dijawab, saya ngeri adik saya mencari rujukan dari sumber yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Tapi kalau dijawab kok khawatir malah jadi makin ambyar nanti pertanyaan-pertanyaannya.
Akhirnya, kalau sudah begini, saya akan mengajaknya rebahan sambil menonton video hewan-hewan kesukaannya. Seperti aspirin, metode itu hanya meredakan, bukan mengobati. Kalau waktunya tiba, pertanyaan mengerikan serupa akan muncul lagi. Pertanyaan yang bukan hanya mengguncang dunia persilatan, tapi juga dunia keimanan.
Sementara adik saya asyik-masyuk dengan tontonannya, biasanya pertanyaan anak yang ia kemukakan akan menciptakan gaung panjang imajinatif di kepala saya. “Apakah teknologi memungkinkan kita memanipulasi sifat ilahiah?”
Halah mbuuuuuh.
Akhirnya, hasil dari googlang-googling saya menemukan satu fakta yang bikin saya mules. Ternyata rata-rata seorang anak emang bisa mengajukan hingga 73 pertanyaan dari semenjak ia terjaga hingga terlelap. Bahkan untuk anak yang tinggal di perkotaan angka itu bisa membengkak hingga menyentuh 90 per hari.
Mukegile.
Itu nominal yang fantastis, bahkan soal UN saya zaman SMA saja paling-paling 50 biji, itu pun pilihan ganda. Lah ini, pertanyaan anak kecil absurd begini bisa muncul dalam bentuk uraian panjang yang bakal masih muncul lagi pertanyaan lanjutannya.
Lebih sial lagi, anak kecil bisa mengajukan pertanyaan tanpa paham kondisi, bahkan saat tergenting sekali pun. Kepekaan sosial mereka kan belum terbentuk, jadi wajar kalau bertanya di kondisi yang kurang pas.
Meski saya merasa kesulitan dengan pertanyaan-pertanyaan anak kecil seperti itu, sebenarnya saya sedikit merasa lega karena saya dan adik saya tak dilahirkan sebagai anak kandung Papa JRX.
Karena saya khawatir pertanyaan anak macam tadi hanya bisa diselesaikan dengan satu jawaban pamungkas. Seperti misalnya… “Papa JRX, kenapa Bulan suka jadi stalker?”
Lalu dijawab…
“Apalagi kalau bukan campur tangan elite global, BGZT!”
BACA JUGA Jangan Memaksa Anak untuk Suka Membaca atau tulisan M. Nanda Fauzan lainnya.