Tersebab telah memantapkan lahir dan batin beragama NU, eh Islam NU, saya tentu selalu memegang salah satu kaidah salaf ini: al-ashlu fi al-asyya’ al-ibahah hatta yadulla al-hukmu litahrimiha (hukum segala sesuatu itu mubah/boleh sampai ada dalil/pandangan yang menyatakannya haram).
Inilah sangu batin saya kala pelesir ke Jepang di tahun 2014 lalu. Lazimnya menginap di hotel bintang manapun, saya dapat breakfast. Dengan anggun, di pagi pertama, saya memasuki restoran di lantai 2 Narita Inn. Dua orang Jepang yang menjaga pintu membungkukkan badan saking hormatnya pada saya. Tiba-tiba saya terharu. Di meja menu yang berderet, mata saya tertumbuk pada sajian bacon.
Begitu tulisan di depan hidangan yang sangat menggoda selera ini. Di sebelahnya, ada tulisan menu pork dan ham. Tentu, saya ndak buta-buta amat apa itu bacon. Dan memang hanya bacon yang saya pelototi. Pork dan ham jelas haram! Di hotel-hotel yang pernah saya inapi, seringkali saya menemukan menu bacon ini; daging kemerahan diiris tipis lebar, agak sedikit gosong, tambahinlah taburan blackpapper, jelas sangat uwow.
Saya pernah beberapa kali bertanya pada mbak-mbak ayu penjaga restoran, ini daging apa? Semuanya menjawab: beef. Jadilah di kepala saya sejak dulu bahwa bacon itu smoked beef. Maka saya ambil beberapa lembar bacon, sedikit nasi, dan sambal, juga krupuk. Tak lupa, sepiring salad sayur diperciki jeruk nipis.
Tak ada yang beda antara sarapan saya di hotel Jakarta dan Jepang. Subhanallah, ini daging lezaaattt puol! Sungguh hebat-hebat benar chef Jepang ya. Belum pernah sekalipun saya mencicipi smoked beef segini lezatnya di Indonesia. Ampuh, Dijah Yellow! Tanpa ragu, saya tambah lagi dan lagi. Begitu juga esoknya.
Bacon menjadi menu pertama yang saya sambar. Jelas, dengan porsi yang lebih numpuk. Andai ndak malu sama kanan-kiri, rasanya saya pengin sarapan bacon aja. Tapi, sebagai orang yang berjiwa nasionalis, saya pantang memamerkan watak serakah orang Indonesia di hadapan orang-orang Jepang dan bule yang ramai di resto ini.
Tepat hari ketiga, seseorang beraksen Sunda mendekati meja saya, lalu bertanya, apakah saya muslim? Ya, jawab saya. Ia tersenyum dan berkata, bacon yang sedang saya makan ini bukan beef, tapi pig! “Selalu babi setiap hari?” Mata saya melotot. “Iya. Di Jepang, semua bacon yang Aa kira smoked beef itu dari daging babi. Enak, ya?” Ia ketawa. “Daging babi memang lezat sekali, A.”
Di sini saya merasa tiba-tiba kangen Duo Serigala… Sembari mengumpati bacon babi ini sebagai asu dan bajindul, saya telan sisa kunyahan di mulut. Duh, apa daya, kebacut! Buru-buru saya minum air, meletakkan begitu saja beberapa iris bacon di piring, lalu ke toilet untuk kumur-kumur; mengusir semua sisa bacon haram. Sarapan saya seketika berlumur dosa!
Sudah dua hari berturut-turut saya ngembat daging babi, yang dalam iman saya haram lidzatih (haram karena zatnya memang haram). Zero tolerance! Sambil meninggalkan hotel menuju ite berikutnya, saya beberapa kali beristighfar dalam hati. Ampuni saya, ya Tuhan, ini kali pertama saya makan daging babi, yang jelas-jelas Engkau haramkan.
Namun, bayang-bayang lezatnya bacon babi itu membuat saya sangat menyesal: mengapa saya harus tahu secepat ini bahwa bacon yang saya makan itu bukan smoked beef, tapi smoked pig sih? Orang Sunda yang baik hati itu, yang telah memberi tahu saya bahwa di Jepang yang namanya bacon ya dari daging babi, di kepala saya seketika sempurna mewakili pameo: the right man in the wrong time. Ia datang terlalu cepat!
Bayangkan to, saya ndak lebay sama sekali kala memilih analogi begini untuk menggambarkan betapa lezatnya daging babi: “Tak ada daging yang lebih tabah dari daging babi”, “Aku ingin makan daging babi seribu tahun lagi”, dan “Aku makan daging babi maka aku ada!” Sampai akhir hayat nanti (oke, kali ini lebay), saya akan terus mengenang kelezatan bacon babi di kedalaman ingatan saya.
Tapi tentu saja, sebagai orang yang beragama NU, eh Islam NU, secara spiritual saya ngerti untuk bersikap tenang saja. Ketidaktahuan meniscayakan ketiadaan dosa. Bila bersandar pada kaidah fiqh di awal tulisan ini, jelas ketika saya menikmati lezatnya bacon di sarapan hari pertama dan kedua itu hukumnya mubah. Tak berdosa. Hukum haram bacon buat saya yang muslim baru berlaku sejak didekati orang Sunda yang sialnya kenapa ndak nongol di hari ketujuh saja saat saya hendak mudik.
Kini, setiap saya menginap di hotel bintang, setiap menemukan irisan-irisan daging tipis kemerahan di meja sarapan dengan tulisan bacon, saya langsung menyantapnya tanpa merasa perlu bertanya lagi ini daging apa, sebab di tradisi kita yang namanya bacon ya dari beef. Setiap mengunyahnya, saya selalu berharap kelezatannya akan selevel lezatnya bacon Jepang itu. Tetapi, saya tak pernah menemukannya…
Dengan bercanda, sesekali saya berkata pada kawan atau keluarga yang menikmati sarapan di hotel bersama saya; “Semoga ini bacon yang daging babi, amiin….” Ya, itu hanya lelucon rindu saya pada bacon babi yang haram, dengan mengandaikan ketidaktahuan saya akan menjadi penghapus keharamannya.
Kalaupun kok kena bacon yang babi beneran, saya yakin posisi hukum saya tidak dosa, sebab saya ndak tahu dan itu sepenuhnya dosa chef hotel kenapa bikin bacon babi di negeri yang lazimnya pakai beef. Chef itu akan saya kultumi: “Bacon ya di sini pakai beef, bedain sama pork dan ham. Jadi ndak usah bawa-bawa khilafah ke sini, paham Ente?”
Saya tahu kerinduan saya pada bacon ini sama persis dengan rindunya para jomblo yang sirik-berisik pada orang yang-yangan lantaran kebacut nyetatus pacaran itu haram seharam-haramnya: mengidamkan tetapi ketakutan.
Merindukan bacon babi ternyata semenyiksa kebelet punya pacar.