Situ lajang? Perempuan? Santai, Sis, kayak di pantai. Tidak semua perempuan lajang itu ngenes, merana, dan gemar meratapi nasib, walau tak jarang juga lajang atau jomblo yang pura-pura bahagia. Bagi lajang, bahagia dan merana memang beda tipis. Uhuk …
Saya nggak tahu persis, kenapa populasi jomblowan dan jomblowati, khususnya di Indonesia, kini kian bertambah. Angka statistik selalu menunjukkan pola yang tidak biasa, bahkan akhir-akhir ini mengalami kenaikan yang signifikan.
Nggak percaya? Lihat saja beberapa artikel di Mojok, search dengan kata kunci “jomblo”. Ha mbok titeni, pasti akan muncul bermacam tulisan yang nggak tanggung-tanggung persinggungannya dengan makhluk Tuhan satu ini. Dari definisi sampai kiat-kiat, sesajen, plus kutipan ayat-ayat suci tentang kaum ini sudah ada. Lengkap, macam buku RPUL.
Nah, penulis di sini cuma ingin menambahi. Mosok yang nulis tentang lajang dan jomblo ini kebanyakan kaum lelaki. Kan nggak seimbang. Nggak setara. Ini zamannya emansipasi wanita. Kuota 30% jika diisi oleh suara perempuan itu sudah bagus. Biar kayak di parlemen-parlemen nasional!
Niat saya juga nggak muluk-muluk. Cuma satu, ingin mengangkat derajat dan martabat perempuan-perempuan lajang, biar setara gitu hak-haknya dengan para lelaki jomblo. Untuk itu saya akan berkisah sedikit tentang perempuan lajang terkenal pada masanya. Biar Sista-Sista ini terinspirasi. Percuma kan sudah jomblo, nggak punya daya tawar lagi! Ya bakalan langgeng. Bhaaaaaa ….
Jomblowati yang satu ini dikenal sebagai penyair kenamaan Andalusia di masa kekhalifahan Umaiyah beberapa abad lampau. Meskipun begitu, perihal kejombloan plus namanya konon melegenda sampai sekarang dan ia acap dijadikan rujukan sebagai jomblowati paling bersinar saat itu. Kece!
Apakah kejombloannya terbilang ngenes? Tergantung sudut pandang. Kalau yang melihat adalah kids Jaman now, pasti dikategorikan sebagai jomblowati paling parah. Sampai umur 90 tahun masih setia sendiri. Bahkan hingga akhir hayat.
Tapi, jika dilihat dari kacamata perempuan lajang ini, tampaknya ia tidak hirau sih. Toh, meski jomblo, ditambah urusan percintaannya yang mbulet, si mbak satu ini tetap kokoh. Tak goyah akan cintanya yang berkali-kali dikhianati. Kuncinya cuma satu: karena dia merasa merdeka. Merdeka dari batas-batas yang sengaja diciptakan orang lain untuknya sebagai perempuan muslim saat itu. Ia sanggup memerdekakan dirinya melalui buah pikiran yang anti-mainstream. Dan satu lagi, karena ia mampu membahagiakan diri sendiri. Begitu kira-kira jimatnya.
Mbaknya ini kerap dipanggil dengan Wallada. Ya, nama lengkapnya Wallada binti al-Mustakfi, putri dari seorang khalifah Andalusia yang hidup sekitar 1001—1091 Masehi. Kecintaannya pada dunia sastra membuatnya semakin tangguh akan kelajangannya. Dari syair-syairnyalah ia bertahan dengan sangat elegan. Meskipun tak jarang syairnya sangat sarkastis dan vulgar—itu karena sakit hati terhadap sang pujaan hati. Wajar, namanya juga sakit hati.
Nama perempuan lajang keren ini malang melintang di jagat kesusastraan Arab saat itu. Ia menduduki posisi yang sejajar dengan para pujangga lelaki, termasuk Ibnu Zaydun, sosok lelaki yang ada di balik semua syair Wallada. Ini penting untuk diingat. Sekali lagi, daya tawar tidak melulu soal kecantikan dan bodi bahenol. Jika Sista-Sista bisa nulis atau berpuisi atau apa pun, buatlah yang anti-mainstream, membahana, cethaaar! Ini koentji, Sis! Biarpun lajang, yang penting keren.
Sederet karya sastranya terekam dalam literatur Arab kenamaan, misalnya dalam ensiklopedia yang ditulis Abu al-Faraj al-Isfahani, Kitab al-Aghani (Buku Nyanyian, terdiri dari 20 volume) dan Kitab al-Ima wa al-Sawa’ir (Buku tentang Penyair-Penyair Budak Perempuan).
Ini kitab isinya nggak main-main. Seorang sosiolog Muslim ternama, Ibnu Khaldun, mengakui akan kehebatan buku yang berisi sumber-sumber primer tentang ribuan syair dan lagu dari masa Arab jahiliyah sampai kurang lebih abad ke-9 Masehi.
Dalam diwan (antologi) Wallada, ada sekitar sepuluh syair yang dapat terkumpul dan selamat hingga saat ini. Kesemuanya punya cerita: tentang kekasih, patah hati, kebanggaan atas tubuh dan diri, ketidaksetiaan, hasrat cinta, dan kebebasan.
Beberapa syairnya juga dianggap mendobrak tatanan sosial bagi perempuan muslim saat itu. Bagi beberapa peneliti sastra perempuan Arab abad pertengahan seperti Marla Segol, puisi-puisi Wallada dianggap merefleksikan pengalaman dalam kehidupannya juga kondisi perempuan saat itu. Ia mengekspresikan laku bebasnya sebagai individu yang merdeka.
Bahkan, dalam beberapa catatan sejarah, Wallada kerap menanggalkan kerudungnya ketika bepergian di tempat ramai. Hal ini sangatlah bertentangan dengan norma sosial agama ketika itu. Beruntung ia hidup di bumi Andalusia yang terkenal akan pluralitas masyarakatnya yang jauh berbeda dengan kondisi kekhalifahan lain saat itu, khususnya di semenanjung Arabia. Ia bangga atas warna kulitnya yang cerah, mata biru, hingga rambut pirang yang menjuntai indah dan mampu menggoda siapa pun yang melihatnya. Ia, adalah pujaan bagi lelaki Kordoba.
Syair dengan genre romansa ini dianggap penting ketika itu, terlebih penulisnya adalah seorang perempuan. Artinya, kekuasaan dan kendali atas tubuh dan diri sepenuhnya berada di tangan sang penyair. Hal ini juga didukung dengan kekayaan bacaan, filsafat, serta ketajaman argumen yang dikuasai Wallada. Â Â
Menyoal romansa yang berujung kegalauan, yang bisa membuat siapa pun membik-membik memanglah rumit tur mbulet. Bagi kalian, yang merasa senasib dengan Mbak Wallada, jangan putus asa. Tetaplah berdiri di atas kaki sendiri. Berkaryalah yang melampaui batas. Alih-alih mengisi waktu kosong karena menjomblo, daripada nongkrong-nongkrong nggak jelas mending cari kebahagiaan dengan cara kalian sendiri. Syaratnya, harus cethaaar.   Â
Jangan sekali-kali berpikir untuk melepas masa jomblo jika menghargai dan membahagiakan diri sendiri saja belum bisa. Apalagi bermimpi happy ending, menikah dan punya anak. Belum selesai, Sis. Justru ketika menikah, masalah hidup semakin mbundel mbulet. Nah, di sinilah pentingnya menemukan kebahagiaan untuk diri sendiri, agar kelak ketika masuk ke tahap hidup yang selanjutnya, justru tidak mudah lebay. Â
Lihat Mbak Wallada yang biasa saja menjomblo. Akhir kisahnya dengan Ibnu Zaydun tetaplah menggantung, tanpa ada pernikahan. Tapi, tak mengapa, meskipun begitu di akhir masa hidupnya, mereka masih dapat berkirim syair dan berbalas dengan penuh hasrat untuk saling mencinta dengan sang kekasih. Menikah bukanlah akhir dari perjalanan cinta mereka. Yang paling penting, mereka merasa seperti sedang bercinta, meskipun dengan kata-kata.
Dan kisah romansa antara Wallada dan Ibnu Zaydun saat ini diabadikan dalam bentuk patung tangan yang sedang berjabat erat di Plaza Campo Santo de los Mártires, tepat di jantung kota Kordoba. Masyarakat Andalusia menyebutnya sebagai: The Lovers.