MOJOK.CO – Ini adalah trauma yang tertanam 20 tahun yang lalu. Sebuah kisah ketika saya dan keluarga masih tinggal di rumah nenek dari ayah. Sebuah rumah tua di pojok Kota Tangerang.
Beberapa detik kemudian, dia berjalan ke arah saya. Saya ingat menjerit begitu keras. Namun, tidak ada yang terbangun. Saking takutnya, saya berdiri lalu berlari ke arah dapur. Saya gedor pintu kamar pembantu nenek sekuat tenaga.
Rupanya, pembantu nenek saya belum tertidur. Dia membuka pintu dan segera menarik saya ke dalam kamar!
Dia memeluk saya dengan erat sambil menenangkan saya yang menangis sejadinya. Di dalam pelukan sang pembantu nenek, saya mendengar pintu kamar diketuk 3 kali dan nama saya dipanggil.
Suaranya lirih dan menakutkan. Inilah awal mula trauma yang saya rasakan kini.
Awalnya terdengar lirih. Setelah ketukan ketiga, suaranya menjadi lebih keras dan terdengar menempel di telinga. Seakan-akan sosok itu berteriak dekat kuping saya.
Tubuh saya gemetar dan mencengkram erat tangan Mbak Darmi, pembantu nenek saya. Sampai hari ini, saya rasa hanya Mbak Darmi yang bisa menenangkan trauma saya.
Mbak Darmi berbisik agar saya tidak bersuara, walaupun saya saat itu menangis terisak. Saya menutup mata dan berusaha menahan suara. Suasana menjadi begitu hening dan suara dari sosok itu menghilang.
Melihat saya ketakutan, Mba Darmi mengelus kepala saya pelan dan mengatakan bahwa dia akan menemani saya sepanjang malam sampai ayah dan ibu pulang. Mbak Darmi menenangkan trauma saya dengan menceritakan kisah-kisah sejarah yang terjadi di Kota Tangerang. Cerita yang juga sering saya dengar dari nenek.
Saya bertanya mengapa para sepupu dan budhe tidak bangun? Saya juga sudah berteriak dengan cukup keras karena melihat sosok itu. Mbak Darmi hanya tersenyum kecil, tapi tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepala. Saya tidak tahu, lebih tepatnya tidak memahami jawaban dari Mbak Darmi.
Kabar duka
Mbak Darmi benar-benar menemani saya. Kami duduk di tepi ranjang sambil cerita-cerita selama beberapa waktu. Berkat dia, saya jadi melupakan trauma itu untuk sementara. Tidak lama kemudian, ayah dan pakdhe pulang membawa kabar duka. Nenek buyut saya meninggal dunia.
Tiba-tiba rumah menjadi ramai. Banyak orang berdatangan, termasuk pak ustaz datang untuk mengadakan tahlilan dan mengafani jenazah nenek. Pagi itu, nenek dikubur di pemakaman keluarga yang tak jauh dari rumah tua di sudut Kota Tangerang. Semuanya berlangsung begitu cepat….
Duka kesedihan yang menyelimuti keluarga besar membuat saya lupa akan sosok menakutkan pada malam itu. Mbak Darmi sendiri, setahu saya, juga tidak menceritakan kejadian itu kepada penghuni rumah.
Warisan
Tujuh hari berlalu setelah nenek meninggal dan malam ini adalah malam ketujuh. Rumah tua di sudut Kota Tangerang itu masih ramai pengajian. Anggota keluarga besar masih berdatangan. Yang saya ingat, setelah selesai semua acara, kami semua duduk lesehan di ruang tamu sambil berbincang-bincang.
Ayah dan saudara-saudaranya sibuk ngobrol, sedangkan saya dan sepupu-sepupu bermain monopoli. Tak lama, pembicaraan ayah menjadi serius dan saya ingat keluarga besar membahas wasiat nenek.
Ayah bilang kalau sebelum meninggal, nenek menitip pesan untuk mencari sepucuk surat di kamar tidurnya. Suasana menjadi hening dan hanya meninggalkan raut wajah khawatir. Masalahnya adalah, tidak ada dari keluarga yang berani atau pernah masuk ke kamar tidur nenek buyut. Belum lama ini saya baru tahu kalau ada wacana untuk menjual rumah tua warisan nenek yang ada di sudut Kota Tangerang.
Mbak Darmi yang memecahkan keheningan. Sambil menghidangkan minuman hangat, Mbak Darmi menceritakan bahwa nenek buyut menitipkan kunci kamar kepadanya dan berpesan untuk merawat kamar tersebut. Lalu, Mbak Darmi menyerahkan kunci tersebut kepada ayah.
Ayah dan saudara-saudaranya bergegas menuju ke kamar nenek. Saya dan anak-anak lain juga mengikuti dari belakang. Kami juga penasaran karena pernah ada larangan untuk tidak masuk ke kamar nenek kalau lagi main di dalam rumah.
Kamar nenek buyut malah seperti kamar jadul di museum. Kamarnya luas dan perabotannya serba jadul tapi sangat terawat. Di salah satu sudut ruang ada meja tua dengan cermin besar. Meja rias tersebut benar-benar besar dengan warna hitam kehijauan.
Kami mendekati meja rias tersebut dan menemukan sepucuk surat wasiat dari nenek di lacinya. Ayah dan saudara-saudaranya sibuk membaca, sedangkan saya dan sepupu-sepupu sibuk menelusuri kamar tidur nenek.
Foto tua dan liontin
Saat asik mengamati, pandangan saya terpaku ke lemari kaca berukuran besar. Di dalam lemari kaca, saya melihat foto lama. Saya menebak itu foto orang tua dari nenek buyut. Ilham, sepupu tertua mengambil foto itu dan mengulurkannya ke saya. Cukup lama saya pandangi foto itu dan tiba-tiba merinding. Seperti trauma yang dipanggil kembali.
Nenek masih sangat muda dan di foto itu, dia mengenakan kalung liontin. Saya teringat bahwa nenek sangat menjaga kalung pemberian ayahnya itu.
Ketika asyik mengamati foto itu, dadu monopoli yang saya genggam jatuh ke dekat lemari tua. Ketika membungkuk dan hendak mengambil dadu itu, pandangan saya jatuh ke sebuah liontin yang diletakkan begitu saja di lemari bagian bawah yang tertutup kaca.
Saya menggeser kaca itu dengan mudah dan mengambil liontin di dalamnya. Anak kecil terpukau oleh sebuah benda cantik yang “tidak sengaja” saya temukan. Saya langsung suka dengan liontin itu. Makin bahagia setelah ayah mengizinkan saya menyimpannya.
Setelah mengenakan liontin itu, ayah mengajak saya keluar dari kamar. Obrolan soal warisan akan dilanjutkan di lain waktu. Ketika berjalan keluar dari kamar, saya yakin sekali ada yang memanggil nama saya.
Suaranya lirih dan terasa akrab. Ketika menengok, entah kenapa, pandangan saya langsung jatuh ke foto tua tadi. Sedetik kemudian, saya merasakan embusan angin dari jendela yang tadi dibuka oleh ayah. Sore itu, Kota Tangerang mendung sangat gelap.
Tulisan di belakang liontin
Malam harinya, di kamar, saya menunjukkan liontin itu kepada kakak. Setelah mengamati sebentar, dia melihat ada tulisan yang diukir di belakang liontin. Tulisan itu menggunakan Bahasa Belanda yang tidak kami pahami.
Ibu datang ke kamar dan menyuruh kami untuk bergegas tidur. Setelah itu, ibu juga bilang kalau kami sekeluarga akan pindah dari rumah nenek setelah tahlilan 40 hari. Kami akan meninggalkan Kota Tangerang. Saya dan kakak hanya bisa mengiyakan. Dulu saya tidak begitu paham kalau kepindahan kami masih berhubungan dengan warisan yang jadi obrolan keluarga besar. Hanya trauma yang tersisa.
Teringat dengan kalung liontin tersebut, saya menarik tangan ibu dan memintanya untuk membacakan kalimat yang terukir. Ibu sempat bertanya di mana saya menemukan liontin itu. Saya menjawab sekenanya saja, yaitu di bawah kolong lemari kaca dan sudah mendapatkan izin dari ayah untuk menyimpannya.
Ibu membaca tulisan itu sekilas dan berkata:
“Hartendeur Om Te Zien”
Artinya: “Pintu hati untuk melihat.”
Terdengar seperti teka-teki dan saya yang masih bocah terlalu pusing untuk memikirkan maknanya. Tak lama, ibu meninggalkan kamar.
Saya yang masih penasaran dengan kalimat tersebut bertanya kepada kakak. Namun, kakak saya terlalu malas menanggapi dan lebih memilih tidur. Sebetulnya saya juga ingin tidur, tapi tetap saja mata ini susah banget diajak kompromi.
Akhirnya, saya hanya memandangi liontin tersebut di balik selimut. Semakin lama saya ulang kalimat itu, saya malah semakin pusing. Agak jengkel, saya pencet-pencet apa saja yang berbentuk seperti tombol di liontin itu. Tak saya sangka, liontin itu terbuka. Di dalamnya ada foto lawas berukuran kecil: foto orang tua nenek buyut. Di balik foto itu ada sebuah kunci kecil seperti kunci buku diary. Lucu dan mungil. Saya masukkan kembali kunci itu dan menutup liontinnya.
Dia datang lagi
Malam itu, angin bertiup kencang dan hujan deras mengguyur Kota Tangerang. Suara gesekan ranting pohon terdengar seperti seseorang mengetuk-ngetuk jendela kamar. Saya yang masih belum bisa tidur, trauma dengan kejadian sebelum ayah dan ibu pulang dari rumah sakit.
Saya memejamkan mata erat-erat, mencoba untuk tertidur secepat mungkin. Hawa dingin dan angin yang menelusup dari jendela membuat saya merinding.
Kadang, saya iri kepada orang-orang yang bisa tertidur dengan cepat. Karena malam itu, seharusnya saya bisa tertidur dengan cepat. Karena tidak lama kemudian, suara derit lantai kayu berpadu dengan suara angin di luar. Seakan-akan ada orang yang naik ke lantai 2.
Dan, semuanya seperti flashback yang terjadi dengan cepat. Suara ketukan di pintu memecahkan daya tahan saya. Ketukan itu berjumlah 3 kali, disusul suara lirih yang bikin trauma. Dia memanggil nama saya. Ketukan yang sukses membuat saya trauma.
Saya menarik selimut sampai menutupi kelapa dan berusaha untuk tidak membuat suara. Tepat saat itu, di sela-sela suara hujan, tiba-tiba… BBRRRAAAKK!!!
Pintu kamar terbuka dengan kencang dan sosok itu muncul begitu saja. Kini, yang saya ingat adalah saya berteriak dengan kencang. Kali ini, seisi rumah terbangun dan menghambur ke kamar saya dan kakak. Ibu yang melihat saya menangis langsung memeluk. Ayah yang datang kemudian langsung bertanya kenapa saya menangis.
Karena terlalu takut, saya hanya bisa menangis. Tidak lama kemudian, Mbak Darmi datang dan ikut menenangkan saya. Entah kenapa, kehadiran Mbak Darmi membuat saya agak lega.
Setelah keadaan sedikit tenang, Mbak Darmi bercerita bahwa penyebab saya menangis, mungkin, karena kejadian yang sama yang terjadi 7 hari yang lalu. Mbak Darmi menceritakan semuanya. Semua penghuni rumah kaget, sekaligus heran kenapa Mbak Darmi tidak langsung bercerita.
Teror di dalam rumah
Saat sedang bercerita, suara bunyi barang terjatuh di lantai bawah terdengar begitu jelas. Semua orang kaget dan bergegas turun. Vas bunga kesayangan nenek jatuh dan pecah berantakan.
Kami semua pindah ke ruang tamu untuk mendiskusikan masalah ini. Seingat saya, kami sekeluarga tidak ada yang punya pengalaman menghadapi situasi seperti ini. Akhirnya disepakati untuk memanggil ustaz yang biasa memimpin tahlil.
Malam itu juga, ayah akan memanggil pak ustaz yang rumahnya masih di Kota Tangerang. Namun, rentetan kejadian setelahnya membuat semuanya buyar.
Pertama, mobil ayah tiba-tiba macet. Kedua, terjadi korsleting listrik. Mbak Darmi dengan sigap mengambil lilin dari dapur. Beberapa lilin dinyalakan di ruang tamu dan beberapa koridor. Saat itu keadaan gelap gulita dan cahaya lilin yang berpendar-pendar kekuningan membuat suasana menjadi cukup ngeri. Kalau saya pikir lagi, rumah nenek ini seram sekali kalau gelap.
Ibu semakin erat memeluk saya. Pelukan yang belum tentu bisa menenangkan trauma saya kini.
Saya bisa merasakan kalau semua orang sedang ketakutan. Dalam suasana tegang itu, suara ketukan kembali terdengar. Tiga kali ketukan dan kali ini semua orang mendengarnya.
Suara itu terdengar 3 kali sampai akhirnya tiba-tiba sepupu saya menjerit kencang. Dia mulai bertindak aneh. Saat itu saya belum tahu apa itu kerasukan.
Poltergeist
Ketika keadaan semakin gaduh, rumah nenek mengalami poltergeist. Foto-foto dan pigura berjatuhan, kursi-kursi bergerak sendiri dan suara dentuman terdengar sangat keras. Kami sekeluarga hanya bisa membaca doa dan melafalkan Ayat Kursi. Setelah itu keadaan menjadi hening.
Ayah yang dari tadi sibuk di garasi bergegas masuk dan menemukan ruang tamu sudah berantakan. Kaca-kaca pecah dan berserakan di lantai. Kami bersepakat untuk sementara waktu meninggalkan rumah lantaran tidak tahu harus bagaimana. Rumah pak ustaz jadi tujuan kami.
Ayah membagi kami menjadi 2 kelompok. Saya terpisah dengan kakak. Dia masuk ke mobil pakdhe dan jalan duluan. Beberapa saat kemudian, kami segera menyusul.
Ketika menengok ke arah rumah, saya melihat sosok itu berdiri agak menyamping dari pintu depan. Dia diam saja dan mengamati kami yang pergi meninggalkan rumah.
Saya menangis lagi ketika berkata bahwa sosok itu ada di sana. Ayah bersuara agak keras ketika mengingatkan kami untuk tidak menengok ke arah rumah. Mobil melaju cepat menuju rumah pak ustaz.
Di rumah pak ustaz
Di rumah pak ustadz, ayah menceritakan kejadian-kejadian aneh di rumah nenek. Mbak Darmi melengkapi di beberapa bagian, terutama kejadian yang sama alami 7 hari yang lalu. Pak ustaz mendengarkan dengan seksama sambil banyak berzikir. Semua saudara diam membisu.
Malam itu, pak ustaz tidak banyak berkomentar. Dia menyuruh kami untuk istirahat dulu sambil mengingatkan kami jangan pernah meninggalkan doa, terutama meminta perlindungan kepada Allah.
Pagi harinya, setelah hujan reda, pak ustaz mengajak kami untuk pulang ke rumah. Pak ustaz mengajak anaknya untuk mengawal kami. Kami semua lebih banyak diam di dalam mobil.
Begitu sampai di rumah, pak ustaz langsung berkeliling rumah. Ibu dan budhe-budhe saya langsung sibuk mengemas pakaian. Kami sepakat untuk segera meninggalkan Kota Tangerang dan pindah ke rumah keluarga dari ibu saya di Jakarta.
Ketika sibuk mengemas pakaian, salah satu budhe saya nyeletuk mungkin gangguan ini adalah pertanda dari nenek buyut untuk segera menjual rumah ini. Beberapa tahun kemudian saya baru tahu kalau para cucu nenek diwasiatkan untuk menjual rumah ini dan dibagi rata untuk semua saudara.
Karena bosan mendengar obrolan yang tidak saya pahami, saya keluar dari kamar dan melihat sepupu saya yang bernama Lia sedang bengong dan senderan tembok. Saya menghampiri dan bertanya kenapa dia sendirian dan bengong. Dia menengok dan melihat saya dengan tatapan kosong.
Lia
Jadi, yang semalam kerasukan adalah Lia ini. Mungkin kejadian itu membuatnya trauma. Dalam diam, Lia mengamati liontin nenek yang saya pakai. Sejenak kemudian, tiba-tiba dia meraih liontin yang saya kenakan. Kaget, tubuh saya tertarik ke depan.
Anehnya, Lia mengucapkan kalimat berbahasa Belanda yang terukir di liontin tersebut dengan lancar. Bagi saya ini sama sekali nggak masuk akal karena Lia baru berusia 3 tahun dan belum bisa membaca. Saya yang kaget dan ketakutan melaporkan kejadian tersebut kepada Ibu dan budhe. Keduanya membawa Lia ke ruang tamu.
Di sana, pak ustaz bertanya ke kami apakah Lia ini anak spesial. Ibu yang menjawab dan bercerita bahwa tadi malam Lia sempat kerasukan. Pak ustaz membaca doa dengan suara lirih. Mendengar doa itu, Lia memejamkan mata lalu tidak sadarkan diri.
Beberapa detik kemudian, suara anak pak ustaz terdengar dari arah belakang. Dia memanggil bapaknya.
Ruang bawah tanah
Kami semua bergegas menuju sumber suara tersebut dan mendapati anak pak ustaz sedang berdiri di depan gudang tua. Saya langsung ngomong bahwa di gudang itu saya sempat melihat mata merah dari dalam. Gudang yang menjadi pemicu trauma saya kini.
Ayah menyuruh ibu untuk membawa saya dan sepupu-sepupu untuk kembali ke rumah. Saya langsung menolak dengan alasan takut nanti kejadian seperti semalam. Pak ustaz sendiri langsung berjalan dan membuka pintu gudang. Ruangannya sangat berdebu dan anaknya pak ustaz menemukan pintu kayu di lantai. Itu ruang bawah tanah yang tidak pernah dibuka entah sejak kapan.
Pintu itu kecil saja. Mungkin seukuran anak remaja dan dikunci dengan gembok yang juga kecil. Kakak saya seketika tahu bahwa kunci di dalam liontin, siapa tahu, cocok dengan gembok itu. Ayah membujuk saya untuk melepas liontin itu dan menyerahkannya ke pak ustaz. Saya hanya bisa menurut.
Pak ustaz menerima kalung yang saya ulurkan dan beliau menerimanya sambil tersenyum. Kunci mungil itu ternyata cocok dengan gembok di pintu kayu.
Pak ustaz membuka pintu itu dengan hati-hati. Setelah pintu terbuka, pak ustaz langsung berteriak, “ASTAGHFIRULLAH!”
Bersambung….
BACA JUGA Trauma yang Tersimpan di Kota Tangerang (Bagian 1) dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Agnes Putri Widiasari
Editor: Yamadipati Seno