MOJOK.CO – Saat kami sedang melakukan stock opname tengah malam, tiba-tiba ada suara ketawa melengking yang terdengar. Ih, pipiluan nyak!
Lina, kawanku yang bekerja sebagai apoteker, datang ke rumah dengan tampang mengantuk. Sedikit kesal, ia membubuhkan kosmetik lebih banyak ke wajahnya dengan harapan kantung matanya bakal tertutup. Pasalnya, kami sudah berencana akan berkeliling kota Bandung Jumat ini dan Lina tidak menyukai ide bahwa mukanya bakal tampak mengantuk sepanjang hari.
“Ini nih gara-gara aku nggak bisa tidur dari pagi abis pulang jaga apotek, Cit!” keluhnya.
Aku membalas singkat, “Kenapa? Tumben.”
“Aku kebayang sama kejadian semalam waktu aku lagi stock opname di apotek.”
Karena penasaran, aku kini mendekat ke arah Lina yang sedang mengoleskan corrector di wajahnya. Setelah rata, dia menoleh ke arahku dan mulai bercerita.
Sebagai apoteker, Lina diberi tanggung jawab melakukan stock opname setidaknya satu gondola/rak obat. Stock opname sendiri adalah proses penghitungan/rekap jumlah obat fisik obat yang ada di apotek. Yaaah, FYI aja, siapa tahu kamu nggak tahu—soalnya saya juga baru dikasih tahu Lina.
Kemarin, Lina datang cukup larut, tepatnya pukul 11 karena ia memang mendapat jatah sif malam. Berani benar, kataku, yang kemudian dijawab Lina dengan ucapan “yah-namanya-juga-budak-korporat”.
Setibanya Lina di apotek, ia bertemu dua asisten apotekernya yang juga bakal berjaga, namanya Abdul dan Hadi. Di dalam apotek yang sepi itu, mereka bertiga bersiap-siap memulai stock opname tepat pukul 12 malam.
“Oh, dan itu malam Jumat, kan, Cit? Pas banget, lah, ngerinya!” tambah Lina.
Kata Lina, mereka duduk mengelilingi satu meja besar sambil melakukan stock opname. Di ruangan tersebut, ada sebuah kursi yang tidak diduduki. Lina meletakkan tasnya di sana.
Selagi mereka bekerja, Lina yakin betul kursi tadi menghadap ke arah meja. Namun mendadak, suara krieeet terdengar dan membuat mereka shock setengah mati: kursi tadi berputar pelan hingga menghadap ke arah pintu!
Tidak ada yang berbicara setelah itu. Lina ketakutan, lalu memandangi Abdul dan Hadi yang langsung membeku.
“Jangan ada yang lari, ya. Tenang, tenang, kita harus tenang,” kata Abdul, akhirnya.
“Mungkin tadi karena ketiup AC, ya?” tanya Lina, yang diikuti dengan gelengan kepala Hadi. Yah, wajar saja—mana mungkin sih angin yang keluar dari AC cukup kuat untuk meniup sebuah kursi hingga bergerak, padahal benda-benda lainnya saja tidak beterbangan???
Setelah lima menit, ketiganya mulai bisa menguasai diri. Hadi berinisiatif menyalakan lagu di hapenya agar mereka bisa ikut bernyanyi.
“Duh, ngantuk banget,” keluh Hadi, setengah jam kemudian, setelah ia menyelesaikan sekitar 10 lagu dari playlist-nya. Tak banyak basa-basi, ia pun meminta izin pada Lina untuk tidur sebentar di musala.
“Kamu yakin? Di sana kan sepi banget jam segini. Kosong.”
Iya, Bu, nggak apa-apa. Sebentar, ya, Bu.”
Tapi, tak sampai satu jam, Hadi kembali ke ruangan stock opname. Wajahnya pucat dan ketakutan.
“Kenapa kamu?” tanya Abdul keheranan.
Dengan sedikit terbata, Hadi bercerita. Katanya, ia tadi langsung memejamkan mata begitu sampai ke musala, saking ngantuknya. Sayang, tidurnya tak nyenyak. Beberapa kali, ia terbangun.
“Saya ketindihan, Bu, Kang. Ada kali lima kali. Uh, nggak enak banget! Ketindihan yang terakhir, saya lihat kayak ada bayangan perempuan baju merah. Saya langsung balik ke sini.”
“Kamu kecapekan itu, makanya ketindihan,” jawabku. Aku mencoba bersikap biasa saja dan aku yakin Hadi hanya sedang kelelahan—setidaknya begitulah yang aku pahami dari hasil membaca banyak artikel kesehatan.
Hadi tidak menjawab. Ia kembali menyalakan lagu di hapenya agar kami bertiga bisa kembali bernyanyi dan bercanda.
Suasana jadi lebih menyenangkan ketika Abdul melemparkan lelucon. Lina bilang, ia tertawa beberapa kali. Stock opname yang tadinya mencekam pun perlahan terasa baik-baik saja, sampai tiba saatnya Abdul melempar lelucon yang sangat lucu.
“Kami bertiga ketawa keras banget, Cit. Tapi, kamu tahu apa yang terjadi?”
Lina, Abdul, dan Hadi tertawa sengakak-ngakaknya, tapi—ketika tawanya selesai—mereka langsung membeku (lagi) bersama-sama.
Tawa mereka sudah selesai, tapi masih ada yang tertawa, yang suaranya tak selesai-selesai: suara ketawa melengking tinggi, tepat seperti apa yang tadinya Lina dengar hanya di film-film horor.
Suara ketawa kuntilanak.
Tidak ada yang bicara, sampai Hadi menimpali, “Eeeeeh, pipiluan nyak!!!” yang berarti “Eeeeeh, ikut-ikutan aja, ya!!!”
Lalu sambungnya, “Udah mah tadi tidur digangguin, sekarang orang lagi nyanyi-nyanyi, lagi bercanda, digangguin juga! Situ nggak punya temen apa gimana, dah???!!!”
“Berani banget dia,” timpalku, menanggapi cerita Lina.
“Aku tadinya ketawa,” jawab Lina, “tapi tiba-tiba…”
“Tiba-tiba apa?”
“Tiba-tiba kursi yang tadi aku bilang bergerak muter ke arah pintu, langsung bergerak lagi muter ke arah meja….” (A/K)