Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Malam Jumat

Pocong Kepala Terpuntir di Pos Bayangan Gunung Merapi

Kalau membicarakan Gunung Merapi, banyak tema obrolan yang bisa termuntahkan dari bibir kita masing-masing. Namun, saya berani bertaruh, pasti ada selentingan tema horor di antara tema pendakian yang seru dan menyenangkan.

Haryo Tri Aji oleh Haryo Tri Aji
9 Maret 2023
A A
Pocong Kepala Terpuntir di Pos Bayangan Gunung Merapi MOJOK.CO

Ilustrasi Pocong Kepala Terpuntir di Pos Bayangan Gunung Merapi. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Lantaran kejadian ini sudah agak lama, jadi maafkan saya kalau melupakan beberapa detail. Khususnya soal waktu pendakian bersama saudara dan kawan-kawan saya. Seingat saya, jalannya pendakian Gunung Merapi berjalan dengan lancar. 

Mulai dari pos bayangan, pos satu Sri Manganti, pos dua Rudal, pos tiga yang saya lupa namanya, pos empat Mimbar, jembatan setan (saya lupa apakah jembatan pasir ini ada sebelum pos empat atau sesudah), geger boyo, pasar bubrah, lalu puncak. Ini seingat saya, ya. Maafkan saya kalau lupa nama dan posisinya.

Kami mulai berjalan ketika pagi hampir habis. Mungkin sekitar pukul 10. Rombongan kami tidak banyak. Hanya beberapa saudara dan kawan, ditambah satu pendaki dari Jakarta bernama Pak bambang.

Pendakian berjalan tenang dan tanpa halangan berarti. Sampai di pos bayangan, di mana pocong dengan kepala terpuntir akhirnya menampakkan diri, kami mengaso sekitar lima menit.

Setelah beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan. Baru beberapa langkah, Pak Bambang terdengar menyapa seseorang di sebelah kanan rombongan. Ternyata, di sana, berdiri almarhum Mbah Maridjan sambil tersenyum. Kami sama sekali tidak sadar kalau Mbah Maridjan ikut naik kalau Pak Bambang tidak menyapa beliau. 

Yang pasti, kami merasa “ditemani” Mbah Maridjan. Rasanya jadi lebih tenang saja. Awalnya kami merasa kejadian itu merupakan pertanda baik. Namun, ternyata, sebenarnya, beliau memperingatkan kami. Apalagi, jalur Kinahrejo itu sangat menguras tenaga.

Sebelum kami berangkat, saya masih ingat betul, Mbah Maridjan berkata, “Nanti saya susul,” dalam Bahasa Jawa. Sekali lagi, beliau berkata sambil tersenyum. Kami balik tersenyum dan jalan lagi. 

Disusul Mbah Maridjan

Setelah itu, perjalanan terbilang lancar. Pos satu Sri Manganti, pos dengan gapura besar kami lewati. Beberapa waktu kemudian, kami sampai di pos dua Rudal. Yang mengagetkan kami adalah Mbah Maridjan sudah sampai di sana!

Sebuah pemandangan yang tidak biasa. Membuat kami kagum, sekaligus bikin merinding. Bagaimana bisa, seorang sepuh, berjalan mendahului kami sampai di pos dua. Padahal, kami berangkat duluan. Akal sehat kami menyimpulkan bahwa mungkin saja ada jalur pendakian lain. Namun, kok rasanya malah nggak masuk akal karena setahu kami tidak ada jalur lain selain jalur hutan yang lebat.

Kami hanya mengobrol singkat saja. Setelah itu, Mbah Maridjan memberikan beberapa nasihat, terutama hati-hati ketika melangkah. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan. Sekali lagi, proses pendakian kala itu berjalan dengan lancar. Sedikit rasa janggal baru terasa di “jembatan setan”. Sebuah lokasi yang terbentuk dari pasir, di mana kanan dan kirinya adalah jurang. Salah satu lokasi paling berbahaya kalau kamu mendaki dari jalur Kinahrejo, apalagi kalau malam dan turun hujan.

Seingat saya, pendakian kala itu memakan waktu enam sampai tujuh jam. Mengingat kami berjalan santai dan cukup sering berhenti untuk mengaso dan merokok. Kalau perjalanan normal, mungkin sekitar lima jam saja.

Pocong kepala terpuntir

Mendaki Gunung Merapi itu sejatinya tidak terlalu lama. Kamu bisa mulai dari pagi, lalu sore sudah kembali ke basecamp. Rombongan kami sendiri sudah selesai dari puncak sekitar siang menjelang sore. Sekali lagi ini berdasarkan ingatan saya yang kadang agak lemah ini.

Sampai di pos empat Mimbar, salah satu teman saya mengeluh sakit di bagian punggung bagian bawah dekat tulang ekor dan tengkuk. Lantaran tidak terlalu terburu-buru, kami memutuskan untuk berhenti. Namun, teman saya yang bernama Saleh ini menolak. Dia tidak mau dianggap beban mengingat ini kali pertama dia ikut naik ke Gunung Merapi.

Pak Bambang, pendaki dari Jakarta, menyarankan kami untuk mengikuti kemauan Saleh dan segera turun. Pak Bambang yang baru bergabung ini mempunyai kelebihan untuk soal dunia lain. Ingat, hanya dia yang bisa tahu kalau Mbah Maridjan menemani kami. Pak Bambang pula yang menyelamatkan saya ketika mendaki ke Gunung Semeru. Lain kali saya ceritakan kejadian di Gunung Semeru.

Iklan

Menjelang pos dua, sebetulnya Saleh semakin tidak kuat. Namun, saya melihat dia menahan rasa sakit. Pak Bambang mungkin sudah merasakan ada yang janggal dan perlu kewaspadaan lebih dari rombongan. Dia mendekati saya dan kakak saya, lalu berbisik: “Ada yang ikut Saleh. Dari tadi mencoba masuk. Tolong jangan panik dan tetap berpikir jernih. Waspada saja. Nanti di pos satu kita istirahat, tapi jangan bermalam di Gunung Merapi.”

Kakak saya adalah anggota menwa sebuah kampus, sehingga mungkin mentalnya lebih kuat. Sementara saya, yang dipesan jangan panik, malah makin kepikiran. Apalagi Pak Bambang menutup omongannya dengan sebuah pesan: “Yang ngikut Saleh itu pocong, kepalanya terpuntir ke belakang. Sepertinya bukan asli dari Gunung Merapi.”

Pocong itu mencoba masuk

Jujur saja saya agak sulit membayangkan. Ada pocong, kepala terpuntir, mencoba masuk ke dalam tubuh Saleh. Namun, saya juga tidak bisa membantah Pak Bambang karena dia yang lebih “tahu”.

Jalur Kinahrejo, seperti yang saya jelaskan di atas, memang cukup berat. Semakin berat di jalur turun mengingat kita harus menahan beban. Banyak akar pohon menonjol di sepanjang jalan setapak yang menurun. Jadi, kalau tidak hati-hati, kamu bisa tersandung dan jatuh di turunan.

Seperti pesan Pak Bambang, kami istirahat sebentar di pos satu Sri Manganti. Saleh sempat rebahan dan sakit di tulang ekornya reda. Namun, pegal di tengkuk masih terasa dan kini dia mengeluh pusing. Nampaknya pocong itu semakin kuat mengeluarkan segala daya untuk merasuk ke tubuh Saleh.

Sayangnya, kami tidak bisa istirahat lebih lama. Pak Bambang menegaskan bahwa kami harus segera meninggalkan Gunung Merapi. Maka, meski berjalan pelan, kami harus segera turun.

Kekhawatiran di pos bayangan Gunung Merapi

Sebelum meninggalkan pos satu, saya merasa sangat gelisah. Terutama kami harus melewati pos bayangan. Sebuah pos yang konon angker, sementara Saleh sedang bermasalah dengan pocong yang kepalanya terpuntir. Seakan-akan, semua yang terjadi di perjalanan pulang saling menggenapkan.

Sekitar 30 sampai 40 menit yang kami butuhkan untuk sampai di pos bayangan. Sekali lagi, karena Saleh kesakitan, mau tidak mau, kami harus berhenti ketika memungkinkan. Lantaran sudah sampai di pos bayangan, rombongan memutuskan untuk berhenti. Pak Bambang terlihat sangat khawatir. Dia bahkan tidak duduk untuk mengaso barang sebentar.

Saya melihat Pak Bambang meletakkan tas punggung yang berat itu. Setelah itu, dia menyandarkan punggung ke pohon besar yang menutupi jurang. Tentu saja dia masih berdiri, tidak mau duduk. Mata Pak Bambang tak pernah lepas dari Saleh yang meringis kesakitan.  

Beberapa dari kami menyempatkan diri untuk merokok, yang lain meneguk habis persediaan air mengingat kami sudah dekat dengan “pintu keluar”. Katanya sih biar lebih ringan berjalan.

Saleh yang pertama berdiri. Saya mengira sakitnya sudah reda. Pak Bambang justru semakin waspada. 

Yang saya ingat kala itu, Saleh membuang napas dengan keras dari mulutnya. Setelah itu, dia merintih dengan keras. Semua rombongan sigap berdiri, siap-siap kalau Saleh tumbang. Namun, kami salah mengira.

Lari ke jurang

“Saleh!”

Kakak saya berteriak dengan keras. Saya menahan napas. Pak Bambang lengah. Saleh berlari dengan cepat seperti orang yang tidak pernah merasakan sakit. Saleh berlari dengan cepat menuju jurang yang posisinya menjauhi rombongan. Semua hendak mengejar, tapi sudah terlambat.

Tidak ada dari kami yang bisa mengejar Saleh. Namun, Tuhan masih sayang kepada teman saya. Dia memang berlari ke jurang. Sudah pasti ingin melompat. Namun, dia lari lurus menabrak pohon besar yang tumbuh di tepi jurang.

“Bruaaak!”

Saleh menabrak pohon, lalu tumbang, terpental ke belakang. Dia langsung berdiri, lalu berlari lagi. Sekali lagi, dia menabrak pohon dengan keras. Hidungnya berdarah, matanya merah. Ketika hendak untuk berdiri ketiga kalinya, rombongan kami berhasil menahannya. Kami menyeret Saleh menjauh dari jurang. Mata Saleh yang merah itu hanya fokus kepada pohon yang “melindungi” dia dari mulut jurang.

Saleh memberontak, mengerang pendek, lalu pingsan. Pak Bambang membaca doa di samping Saleh yang pingsan. Napasnya memburu. Seperti baru saja lari maraton 10 kilometer. 

Melihat gelagat Saleh, saya dan kakak sadar bahwa pocong dengan kepala terpuntir itu berhasil menguasai tubuh teman kami. Kata Pak Bambang, pocong itu tidak akan mau keluar sebelum kami meninggalkan Gunung Merapi. Seakan-akan, gunung itu menolak kehadiran pocong itu.

Berbagai dugaan

Tidak ada kesimpulan yang benar-benar bulat kami ambil. Bahkan Pak Bambang, tidak bisa memastikan awal “kegaduhan” ini. Dia hanya bisa menduga bahwa pocong dengan kepala terpuntir itu sudah mengekor Saleh sebelum berangkat ke Gunung Merapi. 

Apalagi, pocong itu tidak bisa diajak “komunikasi” oleh Pak Bambang. Seakan-akan, Pak Bambang berbicara di depan lautan luas. Segala omongan hilang ditelan ombak. Tidak ada feedback yang dirasakan Pak Bambang.

Setidaknya kami bisa bersyukur bahwa teman kami tidak sampai melompat ke jurang. Ada pohon yang “menjadi benteng”. Apakah karena kami sempat ditemani Mbah Maridjan sehingga kami masih “dijaga”? Kami tidak bisa memastikannya.

Apalah Saleh punya musuh yang mengirim pocong itu untuk mencelakainya? Kami juga tidak berani mengambil kesimpulan sampai ke sana. Satu hal yang kami bisa bersepakat adalah segera turun dan meninggalkan Gunung Merapi.

Salah satu teman kami, namanya Niko, menggendong Saleh di punggungnya. Sementara itu, tas Saleh dibawa oleh kakak saya. Pak Bambang berjalan paling belakang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang, ke arah pos ronda di pos bayangan Gunung Merapi yang singup itu.

Akhir pendakian Gunung Merapi

Begitu kami lepas dari kawasan Gunung Merapi, Saleh langsung sadar. Namun, matanya masih merah dan sulit konsentrasi. Di dalam mobil, dia seperti orang yang kehilangan ingatan. Satu hal yang Saleh ingat adalah dia seperti berjalan ke sebuah genangan air yang sangat luas. Dia berjalan pelan sampai air sebatas dada. 

Setelah itu, dia merasakan dingin yang teramat sangat di tubuh bagian bawah. Dingin itu lalu merambat ke atas. Ketika air sudah sampai di batas mata, dia kehilangan kesadaran. Tidak sepenuhnya gelap. Ada sebuah titik sinar di mana dia mencoba berenang ke sana, tapi tidak kunjung sampai.

Sebelum kehabisan harap, sebelum sepenuhnya gelap, dia melihat sosok pocong dengan kepala terpuntir. Pocong itu berwajah bersih, terlihat sedih. Setelah itu Saleh tidak ingat apa-apa. Termasuk usahanya untuk melompat ke jurang.

Setelah sampai di Kota Jogja, Saleh sudah bisa duduk dengan lebih nyaman. Sakit di punggung dan tengkuknya sudah hilang. Pada saat ini, dia mengaku sangat haus. Bahkan dia langsung menghabiskan air mineral satu liter. Katanya, selain haus, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.

Pocong dan Gunung Merapi

Beberapa hari kemudian, Pak Bambang yang mengontrak rumah di dekat rumah saya, sempat bilang bahwa dia tidak mengerti kenapa pocong itu ditolak oleh Gunung Merapi. Seolah-olah makhluk halus itu ingin segera pergi. Pocong itu juga seperti takut akan sesuatu yang menjaga gunung keramat itu.

Kalau Pak Bambang saja tidak paham, apalagi saya. Satu hal yang pasti, ada kemungkinan Saleh tidak akan bisa lepas dari dua entitas itu, entah yang pocong atau Gunung Merapi. 

Sebuah pemandangan menarik terjadi. Beberapa tahun kemudian, kami naik ke Gunung Merapi lagi. Tentu saja Saleh ikut, bahkan dia sangat bersemangat.

Dari pos bayangan sampai pos satu, Saleh mendaki dengan tenaga yang agak di luar nalar. Bahkan dia sambil berlari. Beberapa kali kami mengingatkannya untuk pelan saja, tapi dia tidak mendengar. Saleh seperti anak kecil yang baru pertama melihat taman bermain.

Tahukah kamu, saat itu, Saleh tidak mau mendaki menggunakan sepatu. Dia naik Gunung Merapi hanya memakai sandal jepit. Sepulangnya dari mendaki, sandal itu tetap bersih. Seperti sandal baru yang saja dibeli. Saya harus bagaimana kalau seperti ini….

BACA JUGA Teror Kecil di Gunung Merbabu dan kisah mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Haryo Tri Aji

Editor: Yamadipati Seno

Halaman 2 dari 2
Prev12

Terakhir diperbarui pada 9 Maret 2023 oleh

Tags: gunung merapikinahrejoMalam Jumatmbah maridjanpendakian gunung merapipocong
Haryo Tri Aji

Haryo Tri Aji

Liverpudlian, guru Bahasa Inggris di sebuah sekolah swasta di Yogyakarta. Punya cita-cita jadi kepala sekolah. Sekarang Kepala Yayasan dulu.

Artikel Terkait

Bandara YIA Gagal, Kulon Progo Tetap Miskin. Tolak Bandara Baru! MOJOK.CO
Esai

Bandara YIA Gagal dan Kulon Progo Tetap Miskin, tapi Kegagalan Ini Nggak Bisa Menjadi Alasan Jogja Harus Buru-Buru Membangun Bandara Baru Lagi

14 Juli 2025
Pemandangan Gunung Merapi dilihat dari Bukit Argobelah, Deles Indah. MOJOK.CO
Catatan

Bukit Argobelah: Tempat Terbaik Melihat Pemandangan Gunung Merapi dari Dekat, Tak Sampai Satu Jam dari Jogja Bisa Dapat Ketenangan Batin

5 Juni 2025
Jihad Warga Kecamatan Selo Boyolali Mempertahankan Tanah MOJOK.CO
Esai

Warga Kecamatan Selo Boyolali “Jihad” Mempertahankan Tanah, Enggan Menjualnya ke Investor Luar, Menolak Membuka Destinasi Wisata Secara Ugal-ugalan karena Bertani Adalah Prioritas

1 Juni 2025
Dwikoen Sastro: Merapi Tak Sekadar Gunung, Tapi Jalan Sunyi Pencarian
Video

Dwikoen Sastro: Merapi Tak Sekadar Gunung, Tapi Jalan Sunyi Pencarian

24 Mei 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.