MOJOK.CO – Masa-masa indah di SMA seolah belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pengalaman kesurupan massal yang mencekam.
Setiap kali ada berita kesurupan massal yang muncul di televisi, tak pernah sekalipun aku membayangkannya bakal terjadi di kehidupan nyata. Tapi hari-hari itu akhirnya tiba juga.
Namaku Erlina, dan aku masih duduk di kelas 10. Aku kira, hidup sebagai anak SMA itu menyenangkan dan bakal penuh dengan kisah-kisah tak terlupakan soal cinta dan persahabatan. Sayangnya, suatu hari, sekolahku diserang sesuatu yang aneh.
Kelasku adalah satu-satunya kelas yang dibangun dengan lantai lebih tinggi. Ada dua anak tangga di depan pintu. Entah apa penyebabnya, padahal kelas lain dibangun dengan biasa saja.
Di hari itu, segalanya terasa lain. Awalnya terjadi waktu istirahat tiba. Seorang kakak kelas, namanya Kak Tia, berjalan di depan kelasku. Tiba-tiba saja dia berhenti dan berdiri di lapangan yang memang ada tepat di depan kelas.
Lama-kelamaan, aku menyadari apa yang terjadi. Kak Tia bukan berhenti berdiri—dia tidak bisa berjalan mendadak. Air mukanya ketakutan dan menangis. Teman-temannya datang mengelilinginya karena merasa ada yang tidak beres.
“Ketempelan,” kata salah seorang dari mereka.
Kak Tia tidak bisa bergerak. Ia bahkan tak bisa berkata-kata. Air matanya turun terus, sampai-sampai guru agama kami datang dan berusaha menolong. Suasana mendadak mencekam.
Belum selesai soal Kak Tia, dari arah musala terdengar ramai-ramai. Kak Ranti, salah seorang kakak kelas yang lain, disebut-sebut kesurupan dan berteriak tak henti-henti. Saat teman-temannya ingin membawa ke lapangan yang lebih luas dan lega, teriakannya makin keras, apalagi saat melewati depan kelasku.
Suasana kesurupan massal makin tak terkendali. Seorang kawan di kelas sebelah mendadak pingsan setelah berteriak panjang. Beberapa perempuan mulai menangis, sebagian karena ketakutan, sebagian lagi sambil tertawa tak jelas.
Di tengah hiruk pikik dan ketakutan, cerita-cerita aneh malah beredar. Ada yang kembali mengingatkan bahwa sekolah kami dulunya adalah bekas kuburan dan kelasku adalah daerah “yang paling mengerikan”. Dari kabar ini, banyak yang percaya bahwa tentu ini wajar kalau ada kesurupan massa terjadi. Sementara itu, Kak Tia masih tak bisa bergerak dan bicara. Guru-guru kami berusaha menenangkan murid.
Aku sendiri masih tetap di dalam kelas, meski desas-desus aneh mulai terdengar. Di luar rasanya terlalu mengerikan dan aku sesungguhnya adalah seorang penakut.
Sialnya, di keadaan genting kesurupan massal ini, aku malah kebelet pipis.
Karena tak tahan, aku memberanikan diri pergi ke toilet sekolah. Sepanjang perjalanan hingga masuk ke bilik toilet, aku bernyanyi dalam hati dengan maksud mengalihkan ketakutanku. Oh iya, toilet sepi hari itu. Hanya ada dua bilik di sana.
Saat aku masih di dalam, aku mendengar suara air keran dari bilik sebelah. Deg! Siapa?
Selesai buang air kecil, aku langsung mencuci tangan di wastafel. Tidak ada cermin di sana, jadi aku tak bisa sambil diam-diam mengintip ke arah bilik satunya.
Tapi saat aku agak menunduk dan mencuci tangan dengan sabun, ada suara yang terdengar jelas di belakangku: “Halo!”
Aku refleks menoleh. Tak ada siapa pun.
Di saat bersamaan, di luar toilet, seorang siswa berteriak keras sekali, diikuti dengan suara “Bruk!” dan kalimat yang cukup lantang, “Tolong! Di sini juga ada yang kena!”
Aku, di depan wastafel, mendadak kaku dan tak bisa bergerak, bahkan sekadar untuk minta tolong. (A/K)