Ini kejadian yang terjadi sekitar tahun 2011 di Bogor. Sebuah pengalaman seram sekaligus jenaka yang sampai sekarang masih terus terbayang dalam ingatan saya.
Kala itu, saya dan beberapa kawan sedang ngumpul-ngumpul malam di salah satu rumah kawan. Maklum, namanya juga anak muda, suka ngumpul-ngumpul malam hari. Yah, sekadar nongkrong, ngerumpi, atau kadang gitaran nggak jelas.
Entah karena gabut atau bosan, salah seorang kawan, sebut saja namanya Heri, ijin pamit sebentar. Katanya ia mau ke pom bensin untuk mengisi bensin sekalian beli rokok.
Begitu Heri bilang mau ke pom, saya kemudian meminta untuk ikut, selain karena pengin cari angin, saya juga teringat kalau bensin motor saya juga hampir habis. Maka, berangkatlah kami berdua mengendarai motor masing-masing.
Saya dan Heri akhirnya tiba di pom bensin. Di sana, kami mengisi motor full tank.
Nah, di sinilah kisah dimulai. Heri mengajak saya untuk balik ke tempat tongkrongan tidak melewati jalan utama, melainkan jalan alternatif. FYI nih ya, jalur jalan dari pom ke rumah kawan yang kami jadikan tongkrongan itu ada dua, yaitu jalan utama dan jalan alternatif. Jalan utama adalah melewati jalan besar, sedangkan jalan alternatif adalah jalan memutar melewati areal perkebunan dan kompleks pemakaman yang memang terkenal sepi dan angker.
Karenanya, ketika Heri mengajak, ehm, lebih tepatnya menantang untuk pulang lewat jalan alternatif, saya langsung menganggap bahwa ia memang benar-benar sedang cari perkara.
Saya tentu saja ingin menolak, selain karena saya memang agak takut, saya juga males untuk memutar jauh. Namun, entah kenapa, jiwa kepemudaan saya berontak, saya enggan disebut cemen, pengecut, atau apalah. Akhirnya, saya beranikan diri untuk menuruti ajakan Heri balik melewati jalan alternatif.
Singkat cerita, meluncurlah kita berdua melewati jalan alternatif yang bagi saya begitu menyeramkan itu. Sesampainya di areal jalan perkebunan, saya sudah merasa ada yang tidak beres. Saya memasang mata setajam-tajamnya. Takut kalau ada apa-apa.
Posisi saya waktu itu berada di depan, sedangkan Heri di belakang saya.
Di jalan perkebunan yang sangat gelap dan sepi itu, saya berkali-kali membunyikan klakson, karena mitosnya memang kalau berjalan di jalan yang sepi dan angker, kita harus membunyikan klakson sebagai tanda uluk salam kepada penghuni daerah tersebut agar kita tidak diganggu.
Di jalan areal perkebunan ini, motor kami berdua tidak bisa berjalan dengan kecepatan maksimal, sebab kontur jalanannya adalah aspal bopeng yang memang sudah lama tidak terawat, sehingga kalau memaksa ngebut, dikhawatirkan motornya yang malah rusak.
Ketika mulai memasuki jalanan area pemakaman, Heri tiba-tiba membunyikan klakson. Saya pikir itu adalah tanda klakson untuk minta ijin seperti yang saya lakukan tadi sewaktu mulai memasuki jalan areal perkebunan. Namun kemudian saya merasa itu bukan bunyi klakson ijin, sebab Heri membunyikannya terus-terusan.
Dalam hati saya sewot, ngapain sih ini anak nglakson terus-terusan. Berisik. Padahal klakson satu kali juga sudah cukup sebagai tanda salam.
Usut punya usut, ternyata Heri ini nglakson terus-terusan karena ia melihat ada kuntilanak sedang berdiri di salah satu pohon di dekat jalan area makam.
Saya tak sadar kalau ternyata maksud Heri membunyikan klakson terus-menerus adalah agar saya mempercepat laju motor saya sebab ia ingin ngebut tapi terhalang oleh motor saya yang memang berjalan di tengah (jalannya sempit).
Karena Heri terus-menerus nglakson, saya akhirnya mangkel juga. Dengan kesal, saya mencoba menengok ke belakang (karena motor saya tak ada spionnya).
Dan bedebah…
Saya terkesiap dengan apa yang saya lihat. Ternyata ada kuntilanak yang duduk mbonceng di jok belakang motor Heri. Kuntilanak tersebut menatap saya dengan wajahnya yang begitu menyeramkan. Heri agaknya belum sadar kalau ia punya penumpang.
Saya tentu saja kaget dan takut setengah mati.
Melihat pemandangan yang demikian, tanpa banyak ba-bi-bu, langsung saja saya gaspol motor saya meninggalkan Heri dan penumpangnya itu. Ketakutan saya mengalahkan kesetiakawanan. Ketakutan saya juga mengalahkan kepedulian saya pada kondisi motor. Saya tak peduli motor rusak karena nekat ngebut di jalan jalanan hancur.
Setelah beberapa waktu, saya akhirnya sampai juga di rumah kawan saya.
Heri kemudian baru sampai sekitar lima belas menit kemudian. Alhamdulillah, ia tiba tanpa membawa penumpang.
Setelah turun dan duduk, Heri kemudian bercerita soal ia melihat kuntilanak di pohon di dekat jalan areal pemakaman. Ia juga bercerita alasan kenapa tadi terus-menerus membunyikan klakson.
Setelah ia selesai bercerita, baru kemudian saya cerita tentang kuntilanak yang tadi saya lihat sedang membonceng mesra di jok belakang motornya.
Heri tampak syok dan kaget. Tadinya ia tak percaya. Namun begitu dia ingat dengan bagaimana reaksi saya yang mendadak ngebut tadi, barulah kemudian ia percaya.
Heri lemas. Namun ia masih sempat-sempatnya berseloroh pengin kembali ke jalan alternatif tadi karena si penumpang belum sempat memberikan ongkos ojek.