MOJOK.CO – Seberapa berani, sih, setan itu sama kita? Seberapa mungkin ada pocong yang muncul mendadak waktu kita lagi hafalan Alquran?
Sekolah kami, sebuah pondok pesantren SMP-SMA di tengah kota, punya segudang cerita misteri, mulai dari yang horor banget, horor aja, atau sekadar yang bisa membuat rasa penasaran berupa pertanyaan, “Hiii, terus gimana dong?!” Tapi, sekalipun, kami tak pernah tahu bahwa kisah semacam itu akan muncul menimpa salah satu dari kami.
Pertama-tama, perkenalkan dulu kami berdua: saya Tama dan sahabat saya, Andi. Kami masih kelas 5—atau kalau di sekolah umum sih disebut dengan ‘kelas 11’—dan sudah berada di pondok ini sejak kelas 1 SMP, empat tahun yang lalu. Selama masa-masa itu, kami sudah mendengar banyak kisah-kisah aneh.
Salah satu yang santer beredar adalah soal pintu masuk alias gerbang hantu dari dunia gaib ke lingkungan pondok pesantren kami. Kabarnya, pintu masuk ini berada di lantai dua, tepatnya di kelas 2-7 yang letaknya ada di ujung. Kami, sih, tak pernah punya buktinya. Yah, namanya juga gosip horor sekolahan.
Namun, Andi tiba-tiba bersikeras suatu hari, meyakini bahwa sudah tiba saatnya bagi kami untuk mengecek kebenaran cerita tadi. Tiba-tiba, Andi mengajak saya untuk pergi ke kelas 2-7 malam-malam, sembari menuntaskan hafalan Alquran yang wajib kami penuhi sebagai siswa kelas 5.
“Ah, yang bener aja kamu, Ndi. Saya nggak berani.”
“Loh,” sahut Andi, “kita kan sambil hafalan, Tam. Setan juga takut kali.”
“Ya kalau mereka takut. Kalau nggak, gimana? Gila kamu, Ndi, mana ada yang tengah malem niat ke 2-7 cuma buat nakut-nakutin setan?”
Andi tertawa demi melihat saya yang ketakutan. Kata Andi, saya cupu.
“Aku cuma pengen tahu aja, seberapa berani sih setan itu sama kita? Lagian, aku kan ngajaknya sambil baca Alquran. Tenang!”
Saya tetap menggeleng. Andi kekeuh berangkat ke kelas 2-7 malam itu, saat jam di dinding menunjukkan pukul 11.49 malam.
“Ya sudah, aku berangkat,” kata Andi, akhirnya. Maka, dimulailah cerita Anda—bukan lagi cerita kami.
***
Andi tidak masuk kelas pagi ini. Kabarnya, semalam ia pingsan setelah menabrak dinding di lantai dua.
Sebelum berangkat, saya menemui Andi yang pucat pasi. Tanpa diminta, berceritalah ia soal pengalamannya semalam tadi…
…maka marilah kita mendengarnya dari sudut pandang Andi:
Aku berangkat malam tadi ke kelas 2-7 segera, setelah selesai ngobrol denganmu. Malam tadi dingin sekali, gelap pula. Aku agak takut, tapi laki-laki mana yang menarik ucapannya semudah itu, ya kan? Jadi, ya, aku tetap jalan sampai ke lantai dua dan duduk di salah satu kursi kelas 2-7.
Kubukalah Alquran, mencari-cari tanda ayat dan juz berapa yang akan aku hafalkan. Pikirku, mana ada setan yang berani keluar-masuk kalau aku menghafalkan Alquran? Yang belum masuk, tak akan masuk, seddangkan yang sudah masuk, ya tak bisa lagi berlalu lalang seenaknya sampai menimbukkan kegaduhan.
“Audzubillahi minasyaitan nirrajim, bismillahirrahmanirrahiim…”
Ayat-ayat pertama terasa ayem-ayem saja. Namun, harus aku akui, udara dingin kian menusuk dan sedikit membuatku merinding. Sayup-sayup, kudengar kapur mulai bergerak di pinggir papan tulis karena ditiup angin yang sedikit kencang. Tengkukku terasa aneh—antara dingin dengan bulu kuduk yang berdiri, dibarengi suara jantung yang tiba-tiba kencang.
Aku masih bisa membaca dua ayat berikutnya waktu tiba-tiba sesuatu yang besar dan putih lusuh tertangkap di sudut mataku: sosok pocong menatap lurus-lurus ke arahku tepat dari pintu masuk kelas 2-7.
Matanya merah, melotot, dan mengerikan. Kain yang membungkus dirinya tampak kusam, dan agak robek di beberapa sisi. Ia tidak bersuara, tapi di telingaku seolah ada angin badai besar yang datang tiba-tiba. Rasa beraniku langsung luruh, tergantikan dengan takut luar biasa.
Sudah. Selesai, sudah. Aku tak bisa lagi berkonsentrasi karena merasa terlalu takut. Suaraku mendadak hilang, mataku seolah tak bisa lagi membedakan huruf-huruf yang terjalin rapi di Alquran. Aku ingin memanggil Tama, tapi aku tau kamarnya terpisah jauh dari gedung ini.
“Aku harus kabur, tapi bagaimana caranya?” pikirku buru-buru. Pocong itu diam saja menatapku tepat di pintu, sedangkan seluruh jendela kelas juga dikunci dan tak bisa dibuka. Singkatnya, satu-satunya jalanku pergi dari tempat ini adalah pintu tempat pocong itu berdiri. Sial!
Karena rasa takut yang tak tertahankan dan perasaan ingin menangis, aku berdiri segera dan berlari ke luar kelas, melewati pintu tadi.
Melewati pocong tadi.
“Pocongnya ditembus atau mental kena badanmu, Ndi?” tanya Tama pagi itu. Wajahnya sedikit geli dan ketakutan sekaligus.
“Entahlah,” jawabku, “yang aku ingat hanya benturan besar dan aku pingsan. Kepalaku berdarah, kata Ustaz Wawan—ustaz baru yang ngajar anak kelas 3—yang membawaku ke klinik semalam, sih, aku kejedot dinding.”
Tama terperanjat, “Ustaz siapa, Ndi?”
“Ustaz Wawan.”
“Ndi…” sahut Tama sedikit ngeri, “Ustaz Wawan kan sudah meninggal minggu lalu. Ah, kamu pasti nggak tahu soalnya minggu lalu kamu pulang ke Blora dan saya belum cerita.”
Andi merinding lagi. Mendadak, ia menyadari kenapa belakangan Ustaz Wawan tak kelihatan dan justru muncul dini hari tadi. (A/K)