MOJOK.CO – Mengusir jin? Jangan bercanda. Atas nama nggak enak dan pengin bantu, kafe terkenal di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, jadi saksi.
“Mas, bisa mengusir jin nggak?”
(((NGUSIR JIN)))
Pertanyaan itu nggak cuma terdengar asing, tetapi juga menghentak nurani seorang manusia nir-takwa seperti saya. Kok bisa saya dimintai tolong kayak gitu waktu asik nongkrong di sebuah kafe terkenal di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pertama, saya nggak punya pengalaman apalagi kemampuan mengusir jin. Kedua, jangankan merukiah orang atau mengusir Jin, nonton trailer The Medium sama teman-teman waktu ngumpul di sebuah kafe di Yogyakarta saja saya matiin volumenya kok. Padahal siang hari. Itu saja pake akun YouTube teman. Semata biar nggak merusak algoritma YouTube saya.
Kan nggak lucu. Lagi enak dengerin musik pakai YouTube sambil nugas atau kerja, lalu tiba-tiba suggestion-nya bergenre horor dan celakanya malah keputer.
Tapi baiklah. Barangkali, malam itu adalah ujian yang suram sekaligus terdengar agak lucu.
Ceritanya, dua minggu lalu, saya lagi ngopi di salah satu kafe di bilangan Condong Catur, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekitar pukul satu dini hari, saya sudah mau pulang ke kontrakan.
Sebelum benar-benar pulang, saya memutuskan untuk sembahyang Isya di kafe itu. Harapannya, ketika sampai di kontrakan, saya bisa segara landing ke kasur.
Walakin, semua rencana itu segera pupus ketika salah satu karyawan kafe mengajukan pertanyaan absurd itu. Dia, lagi bersama seorang temannya yang, jika saya perhatikan, sedang duduk lesu sambil terus-terusan menatap ke bawah.
Awalnya, saya merasa masygul karena kafe tersebut jelas tidak layak disebut angker. Lha gimana, saya tahu betul kalau di kafe tersebut bertebaran banyak ayat suci, kaligrafi, dan anggitan doa yang, menurut pemiliknya, telah disuwuk oleh Kiai Bahauddin Nur Salim (Gus Baha).
Lebih dari itu, kafe tersebut terhitung sering dibacakan salawat. Bahkan, kafe yang cabangnya di Daerah Istimewa Yogyakarta itu sangat banyak pernah kedatangan cucunda Nabi Muhammad bernama Habib Hussein Ja’far al-Hadar.
Rupanya, kemasygulan saya terkonfirmasi. Bukan kafe itu yang angker, tetapi ada salah satu rekan dari karyawan yang, menurutnya, telah ditempeli jin sejak dari kosan. Dia boleh saja menyebut makhluk gaib itu sebagai setan. Namun, untuk sebuah alasan yang insyaallah bisa dipertanggungjawakan, di sini saya memilih diksi jin saja. Jadi, di malam yang gerah di Yogyakarta, intinya, saya diminta mengusir jin.
Terus terang, saya bukan orang pintar untuk mengidentifikasi seseorang sedang kesurupan atau enggak. Tapi, melihat secara langsung ekspresi dan gerak-gerik orang yang bersangkutan, kesimpulannya adalah situasi kali ini memang nggak biasa.
Di situ, saya hanya bisa bicara apa adanya. Jam terbang saya untuk urusan mengusir jin, bahkan rendah saja belum. Lha wong belum pernah. Ringkasnya, saya memang merasa nggak punya otoritas atau latar belakang di bidang itu.
“Anu, bukannya nggak mau bantu, tapi terus terang, aku belum pernah mengusir jin,” tukas saya.
“Masak beneran nggak bisa, Mas?”
Mimik wajah yang melas dan nada putus asa dari kalimatnya bikin saya luluh. Paling nggak saya udah berusaha ketika meniatkan diri untuk membantu mengusir jin. Saya agak berharap kafe terkenal di Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah disalawati ini sedikit bisa membantu ngasih energi positif.
“Sebentar, aku coba usahakan ya,” balas saya lebih lanjut.
Kebetulan saya punya semacam wirid salawat dari pesantren tempat saya mondok yang subhanallah rutin saya baca tiap bakda sembahyang Maghrib. Kebetulan juga, di hari itu, saya bolong karena suatu udzur.
Dan, kalo selepas Maghrib absen membaca wirid, saya biasanya menggantinya di lain waktu, yaitu sehabis sembahyang Isya. Jadi, saya berpikir bahwa barangkali ini bisa jadi jalan tengah untuk menyapu mendung kekecewaan itu.
Setelah merenung sejenak, saya meminta nama lengkap dan nama ayah dari orang yang, katanya, ketempelan jin tersebut. Sejurus setelah mendapat secarik kertas sesuai permintaan, saya segera mengambil posisi di salah satu sudut kafe dan berwirid sekiranya lima sampai sepuluh menit.
Bedanya, kali ini hanya ketambahan satu bacaan al-Fatihah, diniatkan untuk orang yang namanya dan nama bapaknya telah tertulis di atas kertas. Biar proses mengusir jin berjalan lancar. Sebetulnya saya cuma bisa pasrah, sih.
….bi barakatil faatihah…
Masyaallah, belum katam saya membaca tujuh ayat dari ummul Qur’an, karyawan kafe yang tadi minta tolong tiba-tiba menghampiri saya dan bilang kalau temannya sudah sembuh dan merasa baikan. Persis di titik ini saya merasa dilema. Mau merespons tapi kok nanggung, kalo tidak merespons kok ya aneh.
Walhasil, saya yang terlanjur khusyu muter tasbih pun memutuskan tetap melanjutkan ritual rutin yang sudah saya mulai. Dan, karyawan kafe tersebut rupanya memahami apa yang sedang saya kerjakan.
Baru setelah semuanya benar-benar pungkasan, saya menghampiri orang yang bersangkutan.
“Emang ngekos di Yogyakarta bagian mana?”
“Di Jalan Kaliurang, Mas. Daerah Gentan.”
“Oh, kos-kosan baru di Sleman, ya?”
“Iya, Mas.”
“Hoalah, ya sudah. Besok lagi, kalau mau masuk ke tempat baru, pastikan beri salam dulu. Nggak harus pake Bahasa Arab. Minimal salam itu diniatkan sebagai iktikad baik bahwa kita semua sama-sama hidup dan punya kehidupan sendiri-sendiri.”
Setelah ngomong gitu, saya malah heran sendiri. Kok bisa-bisanya saya menyemburkan kalimat bijak kayak gitu. apakah mengusir jin di sebuah kafe terkenal di Daerah Istimewa Yogyakarta itu bikin saya jadi agak “dewasa”?
Saya juga heran kok ya saya bisa mengusir jin. Perlu kamu ketahui, nggak semua yang pernah nyantri pasti memiliki kemampuan ilmu primbon atau ilmu supranatural, wa akhwatuha.
Bahwa saat itu saya ternyata (kebetulan) bisa mengusir jin, ini bukan karena saya yang sakti. Tapi sebaliknya, saya kok yakin jika besar kemungkinan jinnya adalah jin magang. Soalnya, sebelum merapal al-Fatihah, saya benar-benar meniatkan hati dalam hati, begini:
“Jin, aku sebenere udah sangat ngantuk dan nggak tega kalau mau nelfon temen yang bisa komunikasi sama kamu. Jadi, kalo benar teman saya ini sedang ketempelan dirimu, mbok ya jangan sekarang. Sesama makhluknya Gusti Allah, kita damai aja lah, ya. Ntar kalau ada acara maulidan, datang kemari nggak papa, biar sekalian dapet duit dari yang punya kafe. Syaratnya cuma salawatan ke Kanjeng Nabi.”
Teruntuk dua kalimat terakhir, kamu boleh percaya atau nggak. Tapi soal maulidan, perduitan, dan salawatan, sebaiknya kamu percaya saja. Beneran deh.
BACA JUGA Drama Pengusiran Setan di Sebuah Sekolah Menengah Pertama dan kisah unik bersama jin di rubrik MALAM JUMAT.