MOJOK.CO – Keheningan yang luar biasa. Keheningan yang nikmatnya tidak dapat saya lukiskan dengan kata-kata. Saya, bersama para santri jin muslim di pondok pesantren, seakan melebur dalam tafakur.
Malam itu, sejumlah santri di suatu pondok pesantren sedang memasak di dapur umum. Tiba-tiba, muncul seekor ular besar berwarna hitam, merayap perlahan menghampiri para santri. Spontan, salah seorang santri meraih golok di dekatnya dan menebas tubuh ular hingga terbagi dua. Ular pun tewas seketika. Beberapa detik kemudian, berbagai peralatan di dapur umum beterbangan ke arah para santri. Mereka tampaknya diserang oleh makhluk-makhluk gaib yang murka.
Salah seorang santri senior yang sangat mafhum dengan serangan tersebut, mengajak teman-temannya untuk segera menyelamatkan diri dan berkumpul di rumah Pak Kiai. Pak Kiai, pimpinan pondok pesantren yang akrab dengan julukan Abah Ajengan, sejenak tertegun setelah mendengar laporan tentang kejadian di dapur umum.
Beliau lalu menjelaskan bahwa ular hitam yang dibunuh oleh santrinya sebenarnya jelmaan santri dari golongan jin muslim. Menurut Abah Ajengan, santri beliau tidak hanya manusia, tetapi juga sejumlah jin muslim yang tentu saja tidak bisa dilihat oleh sebagian besar santri dari golongan manusia. Hanya Abah Ajengan dan beberapa santri senior yang dapat melihatnya.
Jadi, makhluk-makhluk tak kasat mata yang menyerang para santri di dapur umum dengan melempar-lemparkan peralatan dapur, adalah para santri dari golongan jin muslim yang marah karena temannya dibunuh.
Abah Ajengan tidak marah kepada santri yang telah membunuh ular hitam tersebut karena ketidaktahuan. Sebaliknya, beliau berjanji akan meminta maaf kepada keluarga jin muslim yang salah satu anggota keluarganya telah terbunuh dan akan memperingatkan mereka agar tidak pernah lagi memperlihatkan diri kepada para santri manusia dalam bentuk hewan yang menyeramkan supaya tidak terjadi lagi insiden fatal yang dapat mencelakakan kedua belah pihak.
Untuk sementara, Abah Ajengan memerintahkan para santri dari golongan manusia agar tetap berlindung di rumahnya yang cukup besar. Beliau mendapat firasat akan terjadi serangan lanjutan dari para santri golongan jin muslim. Firasat yang terbukti menjadi kenyataan.
Malam itu juga, Abah Ajengan kedatangan rombongan tamu yang mengaku sebagai keluarga jin dari Baghdad. Tujuan kedatangan mereka tak lain untuk menuntut balas. Nyawa dibayar nyawa. Mereka meminta agar Abah menyerahkan santri yang telah membunuh anggota keluarga mereka. Jika tidak, mereka akan mengobarkan perang melawan Pak Kiai dan para santrinya dari golongan manusia.
Permohonan tersebut tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Abah. Kiai sepuh yang bijak dan berilmu tinggi itu menjelaskan kepada keluarga jin bahwa yang dilakukan santrinya bukanlah kesengajaan, melainkan tindakan spontan untuk membela diri karena takut dengan kehadiran jin yang tampil dalam bentuk ular. Abah memohon agar mereka memaafkan santrinya, sekaligus meminta mereka untuk tidak memperlihatkan diri lagi dalam bentuk hewan buas.
Keluarga jin bersikeras agar Abah menyerahkan santrinya dan akan mengobarkan perang bila permintaan mereka tidak dipenuhi. Baiklah, kata Abah, jika kalian menginginkan perang, mari kita perang.
Maka, meletuslah pertempuran antara Pak Kiai dan para santrinya dengan pasukan jin yang didatangkan dari Baghdad. Para santri senior yang rata-rata jago silat berada di garis depan menghadapi serangan jin. Sementara para santri junior, termasuk santri yang telah membunuh ular hitam, berlindung di rumah Pak Kiai yang telah “dipagari” secara gaib sehingga tidak bisa dimasuki oleh bangsa jin.
Pertempuran tersebut berlangsung berbulan-bulan. Para saksi mata mengatakan bahwa hampir setiap hari, para santri senior tampak berkelahi dengan jurus-jurus silatnya melawan musuh yang tidak terlihat.
Bagi orang awam yang tidak bisa melihat jin, para santri senior itu tampak seperti sedang berkelahi melawan angin. Sementara itu, berbagai benda keras yang ada di pondok pesantren beterbangan dan ditangkis oleh para santri.
Jin muslim
Cerita di atas adalah kisah nyata yang pernah terjadi di salah satu pondok pesantren di wilayah Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, sekitar tahun 60an. Belasan tahun kemudian, kisah nyata ini diangkat menjadi laporan bersambung di majalah Mangle, majalah bulanan berbahasa Sunda, berdasarkan kesaksian orang-orang yang mengalami peristiwa tersebut secara langsung.
Rangkuman kisah ini saya ungkapkan untuk membuktikan bahwa kehadiran jin muslim di berbagai pondok pesantren, yang turut memperdalam ilmu-ilmu agama bersama para santri dari golongan manusia adalah nyata adanya. Mereka adalah golongan jin yang menerima ajaran Islam, seperti yang tertulis dalam Kitab Suci Al-Quran, Surat Al-Jinn ayat 1-2:
“Katakanlah (Muhammad), telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (bacaan Al-Quran). Lalu mereka berkata, kami telah mendengarkan bacaan yang menakjubkan (Al-Quran) yang memberi petunjuk ke jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan, kami sekali-sekali tidak akan menyekutukan sesuatupun dengan Tuhan kami Yang Esa.”
Juga dalam Surat Al-Jinn ayat 11-13:
“Dan sesungguhnya, di antara kami (para jin) ada yang saleh dan ada (pula) kebalikannya. Dan sesungguhnya, kami (para jin) telah menduga bahwa kami tidak akan mampu melepaskan diri dari kekuasaan Allah di Bumi dan tidak dapat lari melepaskan diri dariNya. Dan sesungguhnya, ketika kami (para jin) mendengar petunjuk (Al-Quran), kami beriman kepadanya. Maka barangsiapa beriman kepada Tuhan, ia tidak perlu takut rugi dan berdosa.”
Kehadiran Jin Muslim di pondok pesantren, pernah saya rasakan (alami) sendiri. Pertama ketika saya masih anak-anak, di pondok pesantren milik uwa saya di Sumedang. Kedua, tatkala saya menjadi santri di salah satu pondok pesantren di Tasikmalaya, saat saya masih remaja. Pengalaman inilah yang akan saya bagikan kepada Anda.
Jin pengawal dan jin jahil yang memasukkan anak-anak ke dalam bedug
Uwa saya (kakak ipar ibu saya) adalah seorang ulama besar yang cukup terkenal di Tanah Pasundan, pada zamannya. Bukan rahasia lagi bahwa para ulama zaman dahulu (juga zaman sekarang tentunya), selain sangat menguasai ilmu-ilmu agama, juga memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu kanuragan atau ilmu-ilmu kedigjayaan.
Oleh sebab itu, banyak ulama yang dengan gagah berani berdiri di garis depan melawan penjajah Belanda, penjajah Jepang, gerombolan DI/TII, dan pasukan komunis. Para beliau ini juga berani mendirikan pesantren di tengah rimba belantara yang tak hanya penuh dengan binatang buas tetapi juga jin, siluman, dan begal.
Uwa saya, yang biasa kami panggil dengan julukan Uwa Ajengan, adalah salah seorang ulama di Jawa Barat yang mendirikan pesantren pertamanya di tengah hutan yang sangat jarang dijamah manusia. Hutan itu terletak di Desa Kirisik, yang sekarang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Jatinunggal, Kabupaten Sumedang. Sekarang, desa tersebut sudah ramai penduduk. Dulu, sewaktu Uwa Ajengan mendirikan pesantren, Kirisik bahkan belum bisa disebut sebagai desa, karena penduduknya yang sangat sedikit.
Di Kirisik, saat itu, ada suatu kawasan hutan yang sangat angker. Hutan itu tak bernama dan sangat ditakuti penduduk sekitar. Tak ada yang berani mendatanginya.
Namun, Uwa Ajengan bersama isterinya yang kami panggil Uwa Isteri, dan beberapa santri pemberani, justru membabat hutan tersebut. Di sana, mereka mendirikan rumah, masjid, pondok tempat menginap para santri, dan menggarap sebagian hutan menjadi sawah, kebun palawija, juga membuat kolam ikan (empang) yang cukup besar.
Banyak cerita-cerita seram yang diungkapkan Uwa Ajengan dan Uwa Isteri ketika mereka merintis pesantren di kawasan hutan tersebut. Munculnya jin dan siluman penghuni hutan yang memperlihatkan diri dalam bentuk dan rupa yang sangat mengerikan adalah pemandangan sehari-hari. Namun, satu per satu, makhluk gaib itu “ditaklukkan” Uwa Ajengan. Sebagian di antara mereka kemudian menjadi santri, yang salat dan mengaji di pesantren bersama santri-santri lainnya dari golongan manusia. Sedangkan jin yang tidak mau bergabung menjadi santri, melarikan diri ke bagian hutan yang lebih dalam.
Sewaktu masih bersekolah di Sekolah Dasar (SD), saya sering diajak ibu menginap di pondok pesantren Uwa Ajengan. Di sana, saya selalu diingatkan agar tidak bermain terlalu jauh dari rumah karena khawatir bakal diganggu jin. Bahkan, setiap pergi ke kamar mandi pancuran di atas empang yang tidak begitu jauh dari rumah, saya harus selalu ditemani (dikawal) oleh kakak sepupu yang sudah besar.
Ceu Amih atau si Ceuceu (saya memanggilnya demikian) adalah kakak sepupu perempuan yang selalu “mengawal” saya setiap bermain di luar rumah. Sambil menemani saya, Ceu Amih sering melihat-lihat ke sekeliling.
“Tuh, seueur nu ningalikeun urang,” katanya, pada suatu hari. (Tuh, banyak yang memperhatikan kita).
Padahal, selain Ceu Amih dan saya, tidak ada orang lain lagi di sekitar kami. Menurut Ceu Amih, yang memperhatikan kami itu tak lain bangsa jin.
“Jiga naon, Ceu?” Tanya saya. (Seperti apa mereka, Ceu?).
“Atuh jiga jelema,” ujar Ceu Amih. (Ya, seperti manusia).
“Maranehna mah jin balageur nu nyalantri di dieu.” (Mereka itu jin baik yang menjadi santri di sini).
Para santri dari golongan jin muslim itu tampaknya sering memperlihatkan diri dalam bentuk dan rupa manusia. Paling tidak, seperti itulah yang dilihat oleh Ceu Amih dan sepupu-sepupu saya lainnya. Kata si Ceuceu, para santri jin itu tidak pernah mengganggu, kecuali terhadap anak-anak nakal yang suka bikin ribut di masjid.
Saat itu, di sekitar pesantren Uwa Ajengan memang sudah ada rumah dengan beberapa keluarga muda yang punya anak-anak seusia saya. Saya sering bermain dengan mereka di masjid setelah selesai mengaji, dan terkadang menginap di sana hingga subuh.
“Da jin mah tiasa mancalaputra-mancalaputri. Nu sok nyarupakeun jalmi mah biasana jin bageur. Tapi upami mendakan jin anu nyarupakeun maneh jadi oray hideung, geura we lumpat satarikna. Da nu kitu mah jin jahat,” ungkap Ceu Amih. (Jin itu pandai berubah-ubah bentuk. Jin yang suka menyerupai manusia, biasanya jin baik. Tapi kalau kamu ketemu jin yang memperlihatkan diri dalam bentuk ular berwarna hitam, sebaiknya segera lari sekencang-kencangnya, karena yang seperti itu adalah jin jahat).
Sebagai anak kecil, saya senang mendengarkan celoteh kakak sepupu saya tentang jin yang ada di pesantren. Sampai pada suatu hari, saya bertemu langsung dengan salah seorang di antara mereka.
Saat itu libur panjang sekolah, yang bertepatan dengan bulan Mulud (Rabiul Awal). Dan, entah mengapa, hampir setiap bulan Mulud, saya sering dipertemukan dengan jin berbentuk manusia.
Saya diajak Ibu untuk mengisi libur panjang di pesantren Uwa Ajengan. Sayangnya, Uwa Ajengan tidak ada di pesantren. Beliau sedang berkeliling ke berbagai desa dan kecamatan untuk bertabligh. Beliau memang sering diundang ke berbagai tempat untuk berceramah, terutama pada bulan-bulan Mulud guna mengisi acara-acara Muludan (peringatan hari kelahiran Kangjeng Nabi Muhammad SAW).
Kegiatan pangaosan (pengajian) di pondok pesantren diserahkan kepada Kang Ikin, anak sulungnya, yang kelak menggantikan Uwa Ajengan sebagai pemimpin pesantren. Saya juga ikut mengaji bersama para santri setiap malam, usai salat Isya berjamaah. Pada suatu malam, selesai mengaji, seperti biasa, saya dan teman-teman bermain di masjid berlantaikan papan kayu itu tertidur lantaran kelelahan.
Tidur saya tidak terlalu nyenyak. Saya sering terbangun karena mendengar suara teman-teman yang masih berlarian. Setiap kali terbangun alias mendusin, seorang remaja putri yang saya kenal sebagai Ceu Amih selalu menyuruh saya untuk tidur lagi tapi dengan bahasa isyarat, sambil menyelimuti saya dengan sarung.
“Ceu, anteurkeun abdi ka pancuran,” kata saya, ketika saya merasa kebelet ingin buang air kecil. (Ceu, tolong antar saya ke pancuran). Si Ceuceu, atau sesosok makhluk yang menampakkan dirinya sebagai si Ceuceu itu mengangguk dan memberikan isyarat bahwa dia bersedia mengantar saya ke pancuran di tengah kegelapan malam. Si Ceuceu tidak lupa menyalakan obor bambu berisi minyak tanah dengan sumbu dari sobekan-sobekan kain bekas untuk menerangi jalan yang kami lalui.
Anehnya, di sepanjang jalan menuju pancuran dan sebaliknya, Ceu Amih yang biasanya tidak pernah bosan berceloteh itu tidak berbicara sepatah kata pun. Bahkan cericau saya yang biasanya ditingkahi tawa riang si Ceuceu, kali itu hanya ditanggapi dengan anggukan kepala, tanpa senyum sama sekali. Mungkin si Ceuceu mengantuk, dan merasa terpaksa mengantar saya. Begitu pikir saya saat itu.
Sekembalinya di masjid, masih dengan bahasa isyarat, Ceu Amih menyuruh saya untuk kembali tidur dan menyelimuti saya. Lalu dia pun tidur di sebelah saya.
Saya terbangun lagi karena suara bedug subuh bercampur suara teriakan anak-anak. Teriakan itu berasal dari dalam bedug. Para santri yang sudah berada di masjid untuk berjamaah salat Subuh beramai-ramai menghampiri bedug. Di dalam bedug ternyata ada dua orang anak, teman saya bermain, menangis ketakutan. Para santri yang tampaknya sudah terbiasa dengan kejadian seperti itu malah tertawa-tawa sambil menurunkan anak-anak tersebut.
Kata para santri, jin muslim yang suka mengaji bersama mereka terkadang berbuat jahil. Mereka suka memindahkan anak-anak yang tidur di masjid ke dalam bedug. Bedug masjid terbuat dari kayu gelondongan berukuran besar yang dibolongi di tengahnya, dengan bentangan kulit sapi yang diikat kencang di salah satu ujung bolongan sebagai lahan untuk ditabuh.
Bedug tersebut digantung di salah satu pojok masjid dengan ketinggian sekitar satu meter dari lantai masjid. Anak-anak usia 8-9 tahun seperti saya saat itu tidak mungkin bisa masuk ke dalam bedug bila tidak ada orang dewasa yang memasukkannya. Jadi sangat mungkin, bila para santri jin jahil itulah yang memasukkan teman-teman saya ke dalam bedug. Namun peristiwa yang sering terjadi itu, tidak membuat anak-anak bosan bermain dan menginap di masjid.
Saya merasa beruntung karena saya selalu dikawal oleh si Ceuceu atau Ceu Amih di mana pun berada. Sehingga jin-jin itu tidak berani menganggu saya. Tapi si Ceuceu sudah tidak berada di masjid ketika keributan di waktu subuh itu terjadi. Mungkin si Ceuceu sudah pulang ke rumah.
Esok paginya, di rumah Uwa Ajengan, Ceu Amih menghampiri saya.
“Tadi peuting sare di mana? Geuning teu aya di imah?” tanya si Ceuceu kepada saya. (Tadi malam tidur di mana? Kok tidak ada di rumah).
“Pan di masjid sareng Ceuceu,” jawab saya. (Kan di masjid bersama Ceuceu).
“Da Ceuceu mah henteu ka masjid sapeupeuting tadi,” ujar Ceu Amih. (Ceuceu tidak ke masjid sepanjang malam tadi).
“Pan awewe mah teu meunang sare di masjid,” lanjutnya. (Kan perempuan tidak boleh tidur di masjid).
“Teras saha nu nyimbutan abdi? Nu nganteurkeun abdi ka pancuran? Nu kulem di gigireun abdi? Sanes Ceuceu?” (Lalu siapa yang menyelimuti saya? Yang mengantar saya ke pancuran? Yang tidur di samping saya? Ceuceu bukan?)
Ceu Amih tertawa tergelak-gelak.
“Lain, lain Ceuceu. Keun wae da manehna mah jin bageur,” kata Ceu Amih sambil menyebut sebuah nama. Nama santri jin muslim yang menyerupai beliau. (Bukan, bukan Ceceu. Biar saja, dia itu kan jin baik).
Sejak itu, setiap kali saya dan teman-teman bermain di masjid, jin yang menyerupai Ceu Amih sering terlihat berdiri di salah satu pojok masjid, memperhatikan kami. Lagi-lagi tanpa senyum, tidak seperti si Ceuceu yang murah senyum. Kehadiran makhluk tersebut, tampaknya tidak disadari oleh teman-teman saya.
Belakangan, setelah saya beranjak remaja, terungkap bahwa santri jin muslim yang menyerupai Ceu Amih itu memang disuruh si Ceuceu untuk mengawal saya selama berada di pesantren, menggantikan beliau yang tidak bisa terus-menerus menemani saya. Itulah sekelumit pengalaman saya bersinggungan dengan santri dari golongan jin di pondok pesantren Uwa Ajengan, tatkala saya masih bocah.
Jin yang aktif menjadi makmum
Setelah naik kelas dua SMA di Jakarta, kakak saya, yang mengurus dan membiayai saya, mengirim saya untuk melanjutkan sekolah di sebuah pesantren di Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, tak jauh dari Gunung Galunggung. Saya menjadi santri di pesantren tersebut hingga lulus SMA, untuk kemudian kembali ke Jakarta, melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Selama berada di pesantren tersebut, saya bersekolah di siang hari, dan malam harinya mengaji, memperdalam kitab-kitab klasik yang di kalangan pesantren disebut sebagai Kitab Kuning. Kitab-kitab berisi kajian ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, ilmu kalam (tauhid), tasawuf dan Bahasa Arab. Pengajian-pengajian itu biasanya dipimpin oleh para santri senior.
Ada seorang santri senior yang sangat akrab dengan saya. Namanya Kang Hapid. Hampir setiap petang, antara waktu Ashar dan Maghrib, saya sering mendatangi beliau untuk sorogan (semacam les privat) guna memperdalam Kitab Al-Jurumiyah (kitab berisi pelajaran tata-bahasa Arab tingkat dasar). Setelah selesai sorogan, biasanya kami mengobrol tentang berbagai hal, termasuk tentang jin muslim yang menjadi santri di pesantren kami.
Menurut Kang Hapid, ada sejumlah jin muslim yang menjadi santri dan berbaur dengan santri-santri manusia di pesantren kami, termasuk jin yang dibawa beliau dari kampungnya, bernama Abdullah. Sambil bergurau, beliau sempat mengatakan akan memperkenalkan Abdullah kepada saya, tapi saya menolak sambil bergidik. Kang Hapid tertawa menyaksikan tingkah saya yang ketakutan.
Selain mengajari saya Bahasa Arab (yang sampai sekarang tidak saya kuasai dengan baik), Kang Hapid juga sering membangunkan saya setiap pukul tiga dini hari, untuk melaksanakan salat sunat tahajud di masjid pesantren. Tidak banyak santri yang bertahajud pada jam-jam segitu. Bahkan terkadang hanya Kang Hapid dan saya. Berkat Kang Hapid, saya jadi terbiasa bangun pukul tiga dini hari untuk salat tahajud, meskipun beliau sedang pulang kampung.
Lalu tibalah bulan Mulud. Lagi-lagi, bulan Mulud, bulan dilahirkannya Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Setiap bulan Mulud, pesantren meliburkan kegiatan pengajian, karena kiai pimpinan pondok dan para santri senior harus berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya untuk berdakwah. Termasuk Kang Hapid, guru saya. Banyak juga santri yang memanfaatkan libur pengajian itu untuk pulang kampung, kecuali para santri yang bersekolah, seperti saya. Jadi suasana pesantren pun terbilang sepi.
Seperti biasa, saya terbangun pukul tiga dini hari, lalu berangkat menuju kamar mandi umum di tengah sawah yang berjarak sekitar 200 meter dari asrama pondok. Sawah baru saja ditanduri (ditanami benih padi) sehingga pemandangan sekitar pun terasa lengang dan sunyi. Di pematang sawah di dekat kamar mandi umum, saya berpapasan dengan seorang santri yang tidak saya kenal. Assalamualaikum, ucapnya. Waalaikumsalam, jawab saya, sambil menepi untuk memberinya jalan di pematang sawah yang cukup sempit itu.
Beberapa detik kemudian, saya menoleh ke arah santri tadi pergi, tapi ternyata sudah menghilang. Padahal wajarnya, dia masih terlihat berjalan di pematang sawah yang cukup panjang itu. Saya, yang pernah mengalami pertemuan dengan santri jin di pondok pesantren Uwa Ajengan sewaktu masih anak-anak, serta sering mendengar cerita-cerita tentang jin muslim yang menjadi santri di berbagai pondok pesantren, tidak terlalu terkejut. Mungkin dia salah satu santri dari golongan jin, pikir saya, sambil merinding.
Setelah mandi, saya menuju masjid. Sebelum memasuki masjid, saya berwudu dan mencuci kaki di kulah (kolam kecil tempat berwudu di pintu masjid). Di dalam masjid, ketika hendak bertakbiratul-ihram, saya mendengar ada orang lain yang berwudu di kulah. Di dalam hati saya bersyukur bahwa ada teman yang juga bertahajud.
Tidak lama kemudian, ada tepukan pelan di pundak saya, pertanda ada orang yang meminta bergabung untuk menjadi makmum. Saya pun mengeraskan bacaan saya. Terdengar ucapan “Aamiiin,” setelah saya selesai membaca Surat Alfatihah. Juga suara takbir dan i’tidal mengikuti ucapan saya. Begitu pula ucapan salam terakhir.
Biasanya saya bertahajud sebanyak delapan rakaat dengan empat kali salam, diakhiri dengan salat witir tiga rakaat dengan dua kali salam. Suara makmum yang mengucapkan amin dan mengikuti ucapan lafaz takbir, i’tidal dan salam terus terdengar hingga rakaat terakhir salat witir.
Saya tidak pernah menoleh ke belakang meskipun sudah selesai mengucapkan salam, karena saya merasa yakin bahwa yang menjadi makmum saya saat itu adalah manusia. Selesai witir, saya bertafakur, memanjatkan puja dan puji kepada Sang Khalik dengan suara pelan, dan saya tidak mendengar lagi suara-suara yang mengikuti zikir saya. Mungkin mereka langsung pulang ke kamarnya masing-masing.
Esoknya, yang menjadi makmum salat tahajud bertambah karena suara-suara yang mengucapkan amin dan ucapan lainnya terdengar lebih dari satu orang. Lagi-lagi saya tidak curiga, hingga tibalah malam ketiga.
Pada malam ketiga, seperti malam-malam sebelumnya, makmum terdengar berdatangan setelah saya mengucapkan takbiratul-ihram pada awal rakaat pertama. Usai salat witir rakaat terakhir, terasa ada tangan mencolek pinggang saya, mengajak bersalaman. Saya pun menoleh ke belakang. Terasa ada tangan menggenggam tangan saya seperti bersalaman, namun tangannya tidak terlihat. Dan, saya pun baru sadar, ternyata tidak tampak seorang makmum pun di belakang saya. Hanya saya. Sendiri. Di masjid itu.
Tahukah Anda apa yang saya lakukan selanjutnya? Sarung saya ikatkan di pinggang, dan dengan gerakan yang tidak mungkin dapat saya lakukan dalam kondisi biasa, saya meloncat ke luar masjid melalui jendela yang cukup tinggi, dan berlari menuju kamar dengan napas terengah-engah.
Hingga beberapa malam setelah itu, saya tidak berani ke luar kamar meskipun saya selalu terbangun pada pukul tiga dini hari. Saya tidak pernah lagi bertahajud. Saya baru berani pergi ke masjid setelah terdengar azan subuh untuk bergabung berjamaah dengan santri-santri lainnya yang tidak pulang kampung.
Beberapa hari kemudian, Kang Hapid yang sudah kembali ke pesantren, mendatangi saya.
“Naha atuh Jang, maneh teh teu istiqomah.” Itulah kalimat pertama yang diucapkan Kang Hapid kepada saya. (Kenapa kamu tidak istiqomah).
“Teu istiqomah kumaha, Kang?” (Tidak istiqomah bagaimana, Kang?)
“Eta, pan geus alus maneh teh ngadawamkeun salat tahajud unggal peuting. Naha atuh ujug-ujug eureun.” (Itu, kan sudah bagus kamu rutin salat tahajud setiap malam. Kenapa tiba-tiba berhenti).
Nyess. Ucapan Kang Hapid seakan menghujam ulu hati saya.
“Geuning Akang uninga abdi teu tahajud?” tanya saya. (Kok Akang tahu saya tidak tahajud?).
Kang Hapid pun menjelaskan bahwa beliau mendapat laporan dari Abdullah, santri jin muslim yang dibawa dari kampungnya. Rupanya, Abdullah adalah salah seorang makmum saya. Abdullah, kata Kang Hapid, selalu menunggu saya di masjid pada tiga perempat malam untuk menjadi makmum salat tahajud. Tapi saya tidak pernah datang. Kang Hapid, dengan nada yang cukup tegas, meminta saya untuk kembali bertahajud di masjid pada jam yang sama, dan berusaha sekuatnya mengusir rasa takut.
Saya menyanggupi, dengan syarat Kang Hapid menemani saya. Tapi Kang Hapid tidak mau. Kata Kang Hapid, tahajud adalah ibadah yang sangat personal, tidak boleh bergantung pada orang lain.
Malam itu, saya memberanikan diri untuk kembali ke masjid pada pukul tiga dini hari, guna melaksanakan salat tahajud. Saya berusaha sekhusyuk-khusyuknya untuk mengusir rasa takut. Lalu, satu per satu terdengar makmum berdatangan pada rakaat pertama setelah takbiratul-ihram. Suara-suara amin dan suara-suara mengulang ucapan saya terdengar begitu khidmat.
Usai witir, suara-suara itu masih terdengar mengikuti kalimat-kalimat zikir yang saya ucapkan. Lambat laun, suara-suara itu menghilang berganti keheningan. Keheningan yang luar biasa. Keheningan yang nikmatnya tidak dapat saya lukiskan dengan kata-kata. Saya, bersama para santri jin muslim, seakan melebur dalam tafakur.
BACA JUGA Liburan Gaib, Teror di Thailand Berlanjut Tangis di Jogja dan kisah mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Billy Soemawisastra
Editor: Yamadipati Seno