MOJOK.CO – Melalui tulisan ini, izinkan saya sedikit bercerita soal Ida. Sosok perempuan penghuni mobil Avanza Veloz. Selamat membaca.
“Ayo toh, Mas. Aku tunggu sampai Senin malam, ya.”
Itu kalimat Redaktur Pelaksana Mojok saat kami sedang ngopi di ruang terbuka bersama teman-teman dari Rumah Kretek Indonesia.
“Ilustrasinya udah dipikirin kok nanti. Tulisanmu ini harus dibuat beda dengan Setiawan atau penulis horor yang lain.” Masih kata-kata dari orang yang sama, tapi kali ini di kesempatan yang berbeda.
“Sayang banget kalau kamu yang sebenernya bisa nulis bagus malah nggak percaya diri dengan tulisanmu. Eman-eman kalau kata orang Jawa. Mosok kamu nggak pede?”
Juga masih dari orang yang sama. Di kesempatan yang lain lagi. Antara kesal, bangga kalau diminta, bercampur ketidakpercayaan diri yang besar.
Alasan saya menulis itu kadang nggak masuk akal. Misal, kali ini saya bercerita hanya karena diteror dua hal. Pertama, laki-laki yang berprofesi sebagai Redaktur Pelaksana di Mojok itu. Kedua, oleh “siapa saja” yang ingin diceritakan, termasuk “dia” yang menghuni sebuah mobil dengan mereak Avanza Veloz. Mungkin karena dia mendengar sang redaktur sedikit memaksa saya untuk menuliskan cerita horor di Mojok. Sampai akhirnya seminggu terakhir ini saya sering “dikunjungi” di situasi yang tidak diduga.
Sebelum saya bercerita soal “dia” yang menghuni Avanza Veloz, izinkan saya memberi sedikit pengantar tentang “mereka” yang suka mampir. Jadi begini….
Pertama saat saya hendak tidur minggu lalu. Saya sering menggunakan kamar yang juga difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang seperti pakaian bersih penghuni Rumah Kretek Indonesia, dus elektronik dan satu meja billiar yang marmernya retak, alias tidak bisa difungsikan lagi dan bingung mau diapakan.
Di dalam kamar itu ada kasur busa ukuran besar yang dilapisi sprei lecek dan dua pasang bantal-guling. Di mana saja, saya punya kebiasaan menaruh benda di sebelah saya apabila tempat tidur yang saya pakai berukuran besar dan hanya digunakan oleh saya sendiri.
Sejak lama, saya sedikit percaya bahwa ruangan luas, lampu redup dan area kosong selalu menjadi tempat nyaman untuk hal gaib. Entah itu memang dia adalah penduduk tetap atau sekadar singgah karena alasan di luar sedang hujan deras dan butuh tempat berteduh.
Soal berteduh ini saya pelajari dari beberapa orang yang memang mampu berinteraksi dengan hal-hal gaib. Jadi jangan kaget, kalau kalian ada di rumah tingkat, dengan plafon yang cukup tinggi sementara di luar sedang hujan sangat deras, tiba-tiba terdengar suara grasak-grusuk atau bahkan suara cecak. Bisa jadi, ada yang sedang menumpang berteduh. Berdoa saja agar mereka tidak kemudian menetap.
Balik ke soal kamar luas dan segala bentuk barang di dalamnya. Saya kasih gambaran agar kalian bisa kebayang.
Kalau misal saya tidur di hotel, ada kursi di meja rias/kerja hotel, akan saya gunakan untuk menggantungkan jaket atau menaruh tas. Kalau tempat tidurnya king size, sebisa mungkin saya akan menggunakan semua areanya. Entah tidur miring atau menaruh bantal di sebelah saya. Terakhir, saya akan tetap menyalakan lampu di bagian sudut ruangan yang cukup luas dan hanya area saya tidur saja yang lampunya dimatikan.
Begitu juga dengan kamar yang saya gunakan saat ini. Saya berusaha memenuhi semua sudut ruangan agar tidak ada area yang bisa ditempati dan digunakan “mereka” untuk memantau saya tidur. Walaupun saya pernah “kecolongan”.
Dulu, saya sempat menyaksikan Mbak Kuntay sedang asik ongkang-ongkang kaki di atas meja billiar busuk itu dan dengan wajah yang datar melamun seperti sedang memikirkan sesuatu. Ada juga ya kuntilanak yang overthinking.
Posisi saya melihatnya pun cukup menyebalkan. Karena kasur itu langsung ke lantai tanpa menggunakan rangka tempat tidur, posisi kepala saya saat tidur berada di bawah meja billiar dan hanya berjarak beberapa sentimeter saya melihat telapak kakinya yang mengayun di dekat wajah saya.
Di kondisi yang sudah sangat mengantuk dan sebentar lagi menembus alam mimpi, saya kaget lalu duduk, memperhatikan Mbak tadi dan berpikir antara mau berteriak atau membiarkan sambil merapalkan doa. Hanya beberapa detik, wujud yang awalnya terlihat jelas kemudian mulai samar menjadi seperti bayangan tipis saja berwarna abu-putih. Bukan, dia bukan “dia” yang menghuni Avanza Veloz. Dia sosok yang berbeda.
Saya ingat betul ciri-cirinya. Dia berbeda dengan “perempuan” yang pernah memeluk kawan saya, Angga, saat sedang tidur pulas. Kalau kejadian Angga waktu itu, saking kagetnya, saya menendang kasur tempat Angga tidur.
Gimana nggak kaget. Dia “ngeloni” Angga dan wajah mereka berdua menghadap saya. Angga ngorok pelan sambil mengeluarkan iler, sementara si Mbak Kuntay terkekeh dengan mata mendelik dan wajah menyebalkan seperti mengisyaratkan dia akhirnya dapat kesempatan memeluk laki-laki. Kan taek.
Kamar itu memang berada di area rumah paling depan, yang dulunya digunakan sebagai garasi mobil dan sekarang disulap menjadi kamar darurat. Maka dari itu, saya maklum kalau sedang hujan deras seperti kata saya tadi, mungkin ada sati atau dua “pengembara” yang mampir.
Belum lagi jarak beberapa meter dari rumah kami, ada bangunan kosong yang sudah dihuni oleh “beberapa perempuan” dan itu diakui oleh warga sekitar. Bukan cuma saya atau penghuni di sekitar rumah kosong tadi.
Kadang kalau tengah malam kehabisan rokok dan harus ke warung, saya akan melewati gang lain daripada harus melewati rumah kosong tadi. Sampai pernah saking tidak nyamannya dengan aura rumah yang “dipenuhi perempuan”, saya meminta Noni untuk menemani saya ke warung. Anehnya, itu terjadi, dan jadilah kami berdua naik motor matik ke warung Madura dengan Noni yang membonceng seperti perempuan menggunakan rok panjang pada umumnya. Saya antara takut dan sedikit berterima kasih dengan bantuannya.
Masih ingat Noni yang menemani saya sampai sekarang, kan? Kalau lupa, silakan baca cerita saya di sini.
Kejadian-kejadian di rumah itu tanpa saya sadari memberikan motivasi untuk menulis kisah horor yang akhirnya beberapa kali sempat dimuat di Mojok. Walaupun tiap kali menulis, kepala saya rasanya pusing, sesekali merinding, dan membuat suasana di sekitar menjadi tidak nyaman seperti ketika saya mengisahkan “dia” yang menghuni Avanza Veloz.
Rasanya ada saja yang memperhatikan saya. Entah berada di depan tab Samsung saya atau melihat saya menulis dari belakang. Rasa tidak nyaman seperti itu kadang mengurungkan niat saya untuk menulis.
Membayangkan paragraf pertama yang saya ketik berbarengan dengan ilustrasi seram yang ada dalam pikiran sudah bikin bulu kuduk berdiri. Belum lagi kalau menulis sambil mendengarkan lagu menggunakan headset. Kadang saat reff lagu seperti ada suara latar tambahan yang tedengar fals. Entah itu suara laki-laki atau perempuan.
Awal saya bertemu “dia” yang menghuni Avanza Veloz
Akhirnya keberanian saya harus diuji sekali lagi sejak teror redaktur yang tidak berhenti selama beberapa minggu terus terngiang di telinga saya. Ada perempuan yang tiba-tiba berbisik, dan berkata seperti ini:
“Kalau kamu enggan menceritakan banyak kejadian horor yang kamu alami karena alasan ketakutan, kenapa tidak kamu ceritakan saja soal aku.”
Selama seminggu terakhir saya diganggu oleh kata-kata itu. Di lain kesempatan, permintaan itu muncul lagi dan tidak mengenal waktu dan tempat. Biasanya, kalau sudah seperti ini saya memang harus menulis atau menceritakan pengalaman saya yang berkaitan dengan suara-suara nggak jelas itu.
Saya mulai menerima tawaran-tawaran sebagai supir wisata sekitar tahun 2015. Itu masa-masa yang saya anggap paling emas di antara tahun-tahun yang lain.
Saya bisa menerima tawaran supir hampir dua atau tiga kali seminggu. Di saat yang bersamaan, saya juga bekerja sebagai admin media sosial di salah satu perusahaan swasta di Jogja dan itu tahun pertama saya berstatus karyawan kontrak di tempat itu.
Selain dipusingkan dengan pekerjaan sebagai karyawan sekaligus supir lepas, karena harus berbagi jam kerja, saya juga dipusingkan dengan mobil sewaan yang sering saya bawa. Karena tidak punya mobil sendiri, saya seringnya mengambil mobil dari garasi rental yang lain, dan tentu mencari yang harga sewanya murah.
Singkat cerita. Saya sering mendapatkan unit Avanza Veloz dari garasi langganan saya. Selain soal harga sewa, rasanya mobil itu sudah menyatu dengan saya saat berkendara. Feel saat berkendara sudah sangat baik sehingga saya memiliki rasa nyaman dan aman dengan kontrol mobil. Kondisi serta interiornya yang masih bagus.
Tapi, kenyamanan itu mendadak buyar ketika suatu hari sang pemilik mobil Avanza Veloz yang juga teman lama saya menceritakan sejarah gaib mobil itu. Menurutnya, di mobil itu ada seorang wanita yang sejak lama menumpang dan enggan turun dari mobil karena alasan yang tidak mungkin diceritakan kepada saya.
Saya tidak mengetahui sejak kapan wanita itu ada di dalam mobil. Padahal, mobil itu dibeli dalam kondisi baru, bukan tangan kedua atau pernah digunakan orang lain sebelumnya.
Saya ingat malam itu selesai menyewa, saya harus mengembalikan mobil ke garasi sekaligus membayar uang sewa. Sepanjang perjalanan dari daerah Jogokariyan, Jogja, seusai mengantar tamu balik ke hotel, saya merasa mobil yang saya bawa sedang ditumpangi.
Yang lebih menyebalkan, dia duduk di belakang supir. Terdiam. Menunduk. Sesekali memperhatikan ke arah depan.
Saat itu saya hanya berpikir si perempuan kecantol di jalan karena efek magnet yang pernah saya ceritakan sebelumnya dan fisik saya sedang kelelahan karena harus mengelilingi Jogja sedari pagi.
Saya tidak menggubris. Fokus saya hanya membayangkan sampai garasi, mengobrol sebentar menghabiskan sebatang rokok, lalu pulang untuk keesokan harinya menyelesaikan kontrak saya sebagai supir.
Bukannya perasaan takut itu hilang, tapi malah semakin menjadi-jadi. Di daerah Kridosono, rasa mencekam semakin menjadi-jadi setelah lampu jalan di sekitar SMA 3 redup dan tidak seterang sekarang.
Memang, kondisi di sekitar situ masih cukup ramai karena ada Legend Kopi yang masih buka 24 jam. Tapi tetap saja, keramaian itu mendadak hilang ketika saya memilih untuk berjalan terus ke timur mengambil arah Galeria untuk kemudian finish di Nologaten.
Tepat di depan SMA 3, mobil Avanza Veloz yang saya bawa seperti menabrak bayangan, sepersekian detik saya hanya berkata dalam hati, “Itu hanya bayangan pohon yang terlihat bergerak karena cahaya lampu.”
Ketakutan saya makin menjadi saat berhenti di lampu merah sisi selatan kampus Duta Wacana. Bagaimana tidak, saat itu hanya mobil saya sendiri yang berhenti dari arah barat. Saya melihat kiri-kanan ada beberapa kendaraan dari arah utara dan selatan yang juga sedang menunggu giliran untuk jalan.
Suasana terasa hening sekali sampai saya rasanya bisa mendengar suara mesin yang naik turun karena menghidupkan AC. Saya bukan orang yang senang merokok sambil berkendara dan sialnya hari itu saya tidak kepikiran untuk menyetel musik.
Di sisa-sisa ketakutan saya setelah kejadian SMA 3 tadi, terdengar jelas sekali suara orang bergeser, berpindah duduk di belakang saya.
“Srrreeekkk….”
Kalian tahu kan. Suara pakaian yang tergesek jok kulit dan suaranya jelas ada di dalam mobil. Bedanya, suara ini seperti kain kasar spanduk murahan atau karung, bukan berbahan jeans atau chinos. Seketika saya membuka kedua jendela Avanza Veloz bagian depan. Kali ini saya terpaksa merokok untuk sekadar mengalihkan pikiran saya.
Giliran saya untuk jalan. Sepanjang jalan dari Duta Wacana hingga perempatan Jalan Solo-Demangan, saya hanya bertemu tiga sampai empat kendaraan, padahal itu baru sekitar pukul 10 malam.
Saya kebagian lampu merah lagi di perempatan Jalan Solo, tapi kali ini ada mobil dan motor di sisi kiri saya. Namun, ketenangan saya mendadak terganggu melihat supir di mobil sebelah yang sedang asyik ngobrol tiba-tiba menoleh dan kaget melihat Avanza Veloz yang saya bawa.
Wajahnya tidak bisa berbohong. Saya tahu dia melihat sesuatu di kursi penumpang belakang. Sedetik kemudian dia melihat ke arah saya dan lalu memalingkan muka seakan-akan tidak mau peduli atau tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Saya melanjutkan perjalanan menuju Nologaten dengan perasaan yang semakin kacau. Hingga akhirnya tiba di garasi, saya baru berani melihat ke kursi belakang.
Dan seperti kisah-kisah horor pada umumnya, tidak ada apa-apa di kursi penumpang belakang.
Saya turun dari mobil dan langsung menemui teman saya. Dengan penjelasan singkat, saya akhirnya bercerita tentang kejadian yang saya alami dan bertanya apakah itu suatu kebetulan karena saya sedang kelelahan atau memang saya diikuti.
Teman saya ini adalah orang yang pernah menjemput kru Putcast di Malang, dan pernah saya ceritakan di Mojok beberapa waktu lalu. Dari penuturannnya, mobil itu memang dihuni oleh sesosok Mbak Kuntay yang kita sebut saja namanya Ida supaya nggak terus mengetik sesosok atau sosok gaib.
Selain pernah berkomunikasi seadanya secara langsung kepada Ida, Adi juga mendapat penjelasan dari beberapa orang. Muncul keluhan dari beberapa orang yang Adi tanya. Kalau mood Ida sedang bagus, dia bakalan anteng di dalam Avanza Veloz. Sebaliknya, kalau “sedang PMS”, akan terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan seperti yang saya alami.
Selain menyeramkan, Ida sepertinya sering memperingati tiap supir yang membawa mobil itu agar berhati-hati kalau sedang berkendara. Pernah terjadi supir yang dicubit manja karena mengantuk, tapi sayang, peringatan itu nyaris berujung kecelakaan karena sang supir panik. Ya iyalah, siapa pun, sebiasa apapun kalian berurusan dengan hal gaib, pasti akan kaget kalau mengalami kejadian seperti itu.
Adi sedikit membela keberadaan Ida. Apa yang dilakukan Ida semata-mata bukan hal jahat. Selain itu, Adi sendiri tidak pernah merasa terganggu dengan keberadaannya. Walaupun pernah ada keluhan supir, bawa penumpang dua di belakang tiba-tiba jadi tiga orang, meski tidak dalam tampilan yang buruk.
Saya sudah puluhan kali membawa Avanza Veloz itu, di siang hari, malam, atau bahkan di tengah malam yang jalanannya sunyi. Tidak ada kecurigaan yang muncul sejak saya pertama kali membawa “mobil Ida” tadi.
Sebelum Adi bercerita, saya hanya beranggapan kalau “magnet” yang ada di diri sayalah yang menyebabkan beberapa kejadian aneh, dan penyebabnya bukan karena mobil itu.
Suatu malam, setelah beberapa hari menyupir karena saya dikontrak selama seminggu untuk mengantarkan tamu sebuah instansi pemerintah, kelelahan karena selalu berangkat pukul lima pagi dan pulang pukul 11 malam, saya merasa malas sekali mencuci mobil dan berniat untuk langsung tidur tanpa membersihkan kendaraan walaupun hanya interiornya. Niatnya sih keesokan pagi saya bangun lebih awal dan langsung bersih-bersih mobil.
Baru saja saya duduk di teras untuk melepas sepatu, lampu sein mobil hidup seperti kita memencet remote kunci. Seingat saya, setelah turun dan melipat spion, pintu sudah terkunci. Lampu tengah kursi penumpang memang saya buat otomatis beberapa hari itu. Jadi setiap mengunci atau membuka pintu, lampu akan menyala lalu meredup beberapa saat setelah semua pintu tertutup rapat.
Sesaat, saat cahaya lampu interior Avanza Veloz menyala, ada sosok perempuan yang saya lihat sedang duduk di sisi kiri kursi penumpang tengah. Tidak begitu jelas, karena kaca mobil itu dibuat gelap dengan alasan kenyamanan penumpang agar tidak terlihat jelas dari luar.
Saya yang sedang duduk melepas tali sepatu mendadak bisu dan merinding yang luar biasa sekujur badan. Tahu kan, rasa dan bedanya merinding karena dingin sama merinding ketakutan? Ya, gitulah.
Dan saya yakin betul itu bukan Noni. Dia jarang banget seiseng itu, atau bahkan kedua temannya yang sering ikut. Perut mendadak mulas, mau kabur ke dalam rumah, pintu depan belum saya buka kuncinya, nggak lucu kalau buka pintu tahu-tahu Ida di dalam.
Entah karena sudah kelewat takut, akhirnya saya mendekati mobil dan membuka pintu tengahnya. Pura-pura berani, saya lalu melihat ke dalam mobil dan berkata, “Kalau mau menumpang, silakan, tapi nggak usah ikut masuk ke dalam rumah.”
Berbarengan dengan pintu tengah yang saya tutup, samar terdengar ada suara wanita yang menjawab, “Ya.” Umpatan kebun binatang kemudian keluar seketika.
Adi pernah bercerita kalau mobil itu, setiap habis jalan, selalu dibersihkan. Yah, biar siap dipakai, dan supaya “bersih” dari yang menempel. Mungkin karena alasan itu pula Ida seperti mengingatkan saya malam itu untuk membersihkan mobil kesayangannya. Dan tentu memperingatkan dengan cara yang absurd pula.
Di kesempatan lain, di sebuah parkiran basement hotel tua sekitar Malioboro, saya mengantarkan tamu keluarga yang sedang liburan di Jogja. Mereka berlima; suami, istri, anak kecil usia sekitar delapan dan lima tahun, dan seorang perempuan, adik ipar dari sang suami.
Itu hari kedua saya mengantarkan mereka. Namun, selepas Maghrib setelah kami selesai jalan-jalan dari D’Walik di XT Square, sang anak bungsu gelisah sekali duduk di belakang. Dari awalnya minta pindah ke depan gantian dengan Ayahnya, sampai geleng-geleng dan bersikeras mau duduk di depan setelah kami selesai makan malam di Ndeluweh Kota Gede.
Sang Ayah yang merasa tidak begitu dekat dengan anak bungsunya merasa aneh lalu bertany, “Adek kok mau duduk sama Ayah terus sih? Di belakang ada siapa emangnya kok takut?”
Kami melanjutkan perjalanan dari lokasi makan malam menuju hotel. Tidak ada yang aneh hingga saya melihat sang anak bungsu mengintip ke belakang dengan mimik muka takut.
Berkali-kali dia seperti itu sampai akhirnya kami tiba di parkiran basement. Rencananya, kami akan lanjut jalan ke Taman Pelangi, tapi mereka meminta kembali ke hotel lebih dulu untuk ganti baju.
Rem tangan saya tarik, kunci pintu sentral dari supir saya buka, pertanda mereka boleh turun setelah mobil terparkir. Tapi sang Ayah diam memperhatikan anaknya yang masih saja ketakutan di pangkuannya.
“Mama dan yang lain turun aja, biar Ayah, Adek, dan mas Irul di sini dulu.”
Tersisa kami bertiga di dalam Avanza Veloz. Sang Ayah lanjut mengajak ngobrol anak yang masih dalam pelukannya. “Adek, itu nggak apa-apa, biarin aja.”
Itu? Itu yang mana dalam hati saya.
“Adek kalau mau liat pelangi (Taman Pelangi maksudnya), harus berani, nanti Adek duduk sama Ayah terus kok, ada Om Irul juga yang kenal Tantenya.”
Tante, Tante yang mana? Saya kenal, kenal siapa?
Perlahan, kedua mata saya mengintip melalui kaca spion tengah, tidak ada siapa-siapa atau bahkan si tante yang dimaksud. Amit-amit.
Sang Ayah meminta saya untuk menunggu di dalam mobil dan tetap menghidupkan mesin mobil dan AC. Duduk sendiri di lima menit pertama masih baik-baik saja. lalu, lima menit berikutnya, mulai terasa lama. Saya mencoba mengalihkan perhatian dengan memutar musik agak keras sambil meilhat mobil yang keluar masuk di sisi kanan saya.
Saat melirik spion kanan Avanza Veloz, samar terlihat seperti ada orang yang duduk di sisi kanan kursi penumpang. Sudut spion luar yang mengarah ke kaca belakang memang sempit, jadi sulit memastikan itu bayangan dari luar atau memang ada sesuatu.
Saya iseng, mencoba memainkan panel pengatur spion dan saya geser kacanya agak ke arah kanan agar kaca belakang semakin jelas. Keisengan saya akhirnya berakibat buruk. Hologram berbentuk perempuan terlihat duduk di kursi belakang supir. Mampus.
Berdiri di luar Avanza Veloz sambil menghisap rokok akhirnya jadi pilihan terbaik. Saya tidak berani melihat mobil itu. Satpam di ujung parkiran memperhatikan dari kejauhan.
mesin mobil masih hidup dan saya tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana nanti saat pulang sendiri menuju garasi. Sekitar 10 menit kemudian, sang Ayah, adik ipar beserta anak sulungnya keluar dan menemui saya.
“Ayok, Mas. Kita jalan. Berempat saja. Adek sama Bundanya nggak jadi ikut.” ucapnya.
Kami langsung tancap gas menuju Monjali. Sepanjang jalan, sang Ayah dengan adik iparnya sibuk mengobrol dengan bahasa Sunda. Tapi dari beberapa kalimat bahasa Sunda bercampur Indonesia, saya mendengar pembahasan soal Tante yang dimaksud tadi.
Si adik ipar berkata kalau memang Tante tadi ikut terus di sini entah dari kapan. Sang Ayah lalu membalas ucapan adiknya dengan meminta Adik iparnya untuk bertanya, “Tanya aja siapa dia, kenapa alasannya?”
Ketakutan saya makin menjadi membayangkan saya akan pulang sendirian nanti. Sang Ayah lalu melihat saya dan berkata.
“Nggak papa, Mas. Saya tahu kalau Mas Irul tidak tahu soal ini. Namanya juga mobil rentalan ya.”
Dia terdiam sejenak. Seperti sedang mendengarkan sesuatu. Mengangguk lalu berkata, “Katanya kamu ketakutan ya, Mas?”
Sedikit tertawa kecil, dia lalu menjelaskan beberapa hal kenapa si Tante menumpang, termasuk soal tidak boleh semua orang tahu tentang alasan dan kejadian yang dialami oleh si Tante. Layaknya manusia, ada beberapa rahasia yang boleh dan tidak didengarkan orang lain.
Sang Ayah hanya berpesan, jangan pernah membuka komunikasi dengan Tante, apalagi sampai menggunakan medium untuk sekadar bertanya. Intinya, setelah Tante meminta maaf karena sudah menakuti si bungsu dan mengagetkan saya lewat kaca spion, dia hanya meminta agar diizinkan untuk sesekali berada di mobil itu. Yang di kemudian hari, sesekali yang dimaksud itu jadi berkali-kali.
Saya dan tamu lalu berpisah sekitar pukul 10 malam setelah membuat janji menjemput mereka pukul tujuh pagi dan akan selesai menggunakan jasa saya pukul tiga sore.
Lagi-lagi, perasaan ketakutan menyelimuti saya sejak keluar dari hotel. Begitu melewati daerah sekitar Pakualaman, rasa ngeri dan sangat tidak nyaman makin menjadi-jadi. Spontan saya membatin, kalau kamu yang membuat rasa tidak nyaman ini, tolong sudahi, saya sedang menyetir dan berusaha mengembalikan kendaraan ini dengan selamat.
Bukan rasa tenang yang saya dapat, malah suara terkekeh dari bagian belakang Avanza Veloz. Tanpa sadar, saya sudah memacu mobil dengan kecepatan tinggi, membuka jendela dan memutar musik cukup keras.
Tapi itu tidak cukup, gambar hologram itu muncul lagi. Kali ini di tengah-tengah antara kursi penumpang depan dan supir, saya melihat ke bawah, mengintip dari antara tangan kiri saya yang sedang memegang setir mobil. Laju mobil terasa lambat padahal jarum speedometer sudah di angka 60 kilometer per jam. Untuk ukuran kecepatan tengah kota, itu sudah masuk kategori siap dihajar warga.
Saya membaca doa sebisa saya. Membagi fokus berkendara sekaligus berusaha meras menghilangkan rasa takut.
Tidak berhasil.
Fokus memperhatikan jalan sepanjang Pakualaman sampai sekitar Amplaz, beberapa kali bayangan tipis seperti hologram berpindah dari tengah kemudian ke kursi penumpang di depan.
Tiba di garasi, jantung saya masih berdegup kencang. Berusaha tenang dan tidak menceritakan apapun kepada Adi. Saya lalu pamit pulang dan berusaha melupakan kejadian tadi.
Tiap kali saya mendapatkan tamu dan harus menggunakan mobil milik Adi, saya meminta untuk memakai unit lain, bukan Avanza Veloz itu. Kadang ada, kadang juga saya akhirnya memaksakan diri untuk menggunakannya.
Lama setelah kejadian itu, saya masih ingat jelas pengalaman itu sampai hari ini dan masih berusaha untuk menghindari menggunakan Avanza Veloz yang ditumpangi Ida.
Hingga akhirnya keberanian saya diuji sekali lagi akhir tahun lalu. Saya menyewa mobil itu untuk acara kantor di Borobudur.
Ida memang tidak muncul, tapi dia ikut mengusir “beberapa perempuan usil” di kamar hotel tempat saya menginap. Kamarnya bagus sekali, ada di pojok bangunan dengan jendela dua sisi yang menghadap ke pepohonan bambu, dan sisi satunya menghadap ke sebuah sungai kecil beraliran deras yang sepertinya biasa digunakan untuk mandi dan mencuci.
Itu tempat permukiman strategis untuk mereka “perempuan-perempuan yang sering tertawa di tengah malam”. Saya sudah menduga malam hari saat tidur pasti akan mendapatkan gangguan.
Benar saja, baru sebentar tertidur, beberapa sosok perempuan sudah berdiri di balkon. Ada yang berusaha masuk ke dalam kamar dan ada yang sudah memperhatikan teman saya, Moddie, yang sedang begadang menonton pertandingan Chelsea melawan Juventus di Liga Champion. Dari arah pintu masuk kamar kami, ada perempuan berdiri memperhatikan ke arah balkon dengan muka kesal seakan mau mengusir sosok-sosok yang berusaha masuk tadi.
Wajahnya kesal dengan kedua tangannya mengepal layaknya perempuan biasa yang marah karena sesuatu. Perlahan saya lihat wajahnya. Itu Noni.
Dia menoleh ke arah saya dan hanya berkata singkat bahwa dia bersama Ida keluar dari mobil mengikuti aktivitas kami selama rapat. Kebetulan, tempat saya memarkir mobil bukan tempat yang aman untuknya. Saya terbangun kaget, melihat Moddie yang juga kaget melihat saya terbangun, sementara sebagian pikiran saya masih bertanya, “Keluar bersama Ida?”
Moddie sempat bertanya ada apa, saya hanya menjawab sekenanya. Saya lalu berniat melanjutkan tidur sambil membelakangi moddie menghadap ke arah pintu kamar tempat Noni tadi berdiri.
Sudah tidak ada apa-apa. Tapi lagi-lagi, mimpi saya malam itu memperlihatkan banyak hal. Termasuk Ida yang sudah duduk di sofa dekat televisi dengan pandangan ksosong menatap ke arah tempat tidur, sementara Noni sedang berdiri di pintu balkon membelakangi kami. Muncul pertanyaan, bagaimana mereka bisa saling kenal? Apakah karena saya sering membawa Avanza Veloz milik Ida?
Kejadian malam itu masih menyisakan banyak pertanyaan, meskipun saya juga nggak terlalu peduli karena saya biarkan itu menjadi urusan mereka. Hingga akhirnya muncul sebuah kejadian yang sempat saya ceritakan di awal mengenai Ida, tentang tawarannya agar beberapa kejadian bersamanya dituliskan di rubrik Malam Jumat.
Ada beberapa hal yang bisa diceritakan dan ada yang tidak bisa. Seperti dia enggan diceritakan mengenai pakaian dan wajahnya yang sampai tulisan ini dibuat masih menyisakan rasa cukup mengerikan. Tapi wajah kurang sedap dipandang itu muncul kalau mood-nya sedang tidak baik. Kalau sedang normal, ya nggak bagus-bagus banget juga, tapi lumayan lah.
Butuh dua hari menyelesaikan tulisan ini dengan perasaan pusing dan merinding yang selalu muncul setiap menulis satu paragraf baru.
Semoga saja ini sudah menenangkan perasaan dua makhluk, sang Redaktur Pelaksana, dan Ida.
Dan siapa tahu, saat kalian membaca ini, Ida juga ikut membaca bersama kalian, mungkin mengintip dari pundak kalian, matanya mengikuti tiap paragraf yang kalian scroll. Semoga kalian tidak membaca ini di dalam mobil… Avanza Veloz.
BACA JUGA Teror 10 Hari di Jawa Timur dan kisah mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno