MOJOK.CO – Doa Rosario yang kami dan Suster Bernadine daraskan membantu arwah itu kembali ke permukiman jenazah di Kete Kesu, Tana Toraja.
Menjelang tengah malam, rumah retret di pinggiran kota Makale, Tana Toraja yang semula sunyi senyap, tiba-tiba meledak riuh. Suara jejeritan anak perempuan terdengar. Mereka minta tolong. Saya yang tidur di kamar lantai bawah mencari tahu apa yang terjadi di lantai dua. Oh, katanya, ada anak kesurupan.
Ketika saya ke lantai dua, teman-temannya sudah menggotong Florentina yang meronta-ronta, ke aula, tempat saya memberikan pelatihan jurnalistik selama 3 hari untuk sekitar 40 remaja. Mereka datang dari sejumlah paroki di Keuskupan Agung Makassar, terutama yang berasal dari Tana Toraja.
Pelatihan dilakukan di sebuah rumah retret di pinggiran kota Makale, Tana Toraja. Lokasinya agak jauh dari tempat permukiman penduduk. Selain bangunan terdiri dari aula dan kamar-kamar dua lantai untuk peserta retret, ada pula susteran yang agak terpisah. Di bagian depan ada kapel dan kantor.
Beberapa temannya sudah mengerubuti Florentina. Ada yang memegangi tangan dan kaki, ada pula yang merangkul badannya. Mereka bilang anak itu meronta-ronta dengan tenaga sangat kuat. Dia mau keluar meloncat lewat jendela. Untung dia tidak bisa membuka kunci jendela.
Kami hanya bisa memegani Florentina kuat-kuat. Ada yang menyarankan kami untuk berdoa. Namun, doa apa yang manjur untuk mengobati kesurupan? Doa Bapa Kami? Doa Rosario?
Ketika hendak mendaraskan Doa Rosario, dari mulut Florentina keluar kata-kata yang saya tak tahu artinya. Kata teman-temannya, kata itu berarti “Saya mau pulang.”
Dia terus meronta. Dari mulutnya keluar kata-kata “Saya mau pulang” dalam bahasa setempat. Setahu saya, Florentina bukan peserta dari Makale. Dia utusan kaum muda katolik Rantepao. Kata temannya, dia tidak bertutur bahasa seperti orang Toraja di Makale.
Sesaat kemudian, datang Suster Bernadine yang mengelola rumah retret itu. Suster, walaupun bukan asal Toraja, tapi sudah lama bertugas di daerah itu. Dia mengerti bahasa yang diucapkan anak yang kesurupan itu.
Tidak lama kemudian, Suster Bernadine datang. Dia langsung berlutut di samping Florentina dan bertanya, “Mau pulang kemana?”
Florentina tidak menyebut tempat, tapi menunjuk jendela yang mengarah ke selatan. Suster Bernadine bilang kalau nanti akan diantar pulang sama teman-teman lewat Doa Rosario. Raut muka Florentina menunjukkan rasa kaget dan marah tapi Suster Bernadine tak menggubrisnya.
Setelah itu, Suster Bernadine melepaskan pegangannya dan menanyai beberapa anak. Florentina pernah ke mana saja selama ikut pelatihan. Ada yang menceritakan bahwa siangnya, mereka mengunjungi Kete Kesu, objek wisata tempat pemakaman purbakala di Tana Toraja. Mereka ke lokasi itu untuk membuat laporan jurnalistik sebagai tugas dari pelatihan.
Mereka menceritakan kembali kronologi ketika berada di Kete Kesu, Tana Toraja. Ceritanya begini:
Menjelang sore, ketika mulai gerimis, teman-temannya mengajaknya turun dan pulang ke rumah retret. Namun, Florentina justru naik ke atas. Di sana memang masih ada banyak tulang dan tengkorak yang dijajar di cerukan batu karang tebing yang menghadap lembah .
Kata mereka, Florentina bersemangat sekali melihat tempat tulang dan tengkorak itu disimpan sampai ke ujung paling atas. Teman-temannya ada yang ketakutan. Ada yag merasa merinding melihat tengkorak dan tulang manusia berserakan. Lain halnya Florentina. Ada yang memperhatikan dari bawah bahwa dia juga memegang-megang tengkorak. Cukup lama Florentina mengadakan reportase di tempat pemakaman itu. Teman-temannya menunggunya di bawah sambil melihat-lihat barang di toko suvenir.
Sebelum Maghrib, Florentina sudah sampai bawah. Dengan bangga dia cerita bahwa di atas banyak tulang dan tengkorak. “Saya punya banyak foto,” kata Florentina. Di perjalanan pulang, tak ada tanda-tanda aneh.
Sampai di kamar, dia langsung mengambil laptop dan membuat tulisan, tanpa mandi atau ganti pakaian. Tugasnya adalah membuat feature wisata. Dia memilih mengunjungi Kete Kesu sebagai destinasi wisata yang cukup terkenal di Tana Toraja.
Kete Kesu adalah nama sebuah kampung di mana kuburan purbakala berada. Di sana, ada tempat menyimpan jenasah yang masih utuh dengan pakaian lengkap. Tapi banyak pula tulang dan tengkorak yang dijajar di ceruk karang tebing yang tinggi. Pengunjung bisa melihat dari dekat lewat tangga di pinggang tebing itu.
Di bagian bawah ada beberapa rumah yang kelihatan mewah. Di dalam rumah itu disimpan jenasah orang kaya atau terpandang semasa hidupnya. Jenasah masih utuh, lengkap dengan pakaiannya. Di bagian atas tebing, ada bebarapa gua untuk menyimpan tulang dan tengkorak. Makin ke atas, tulang dan tengkorak dijajar begitu saja di cerukan karang tebing itu. Lokasinya tidak jauh dari kota Makale.
Setelah mendapat informasi itu, Suster Bernadine menduga Florentina sudah kerasukan dari Kete Kesu. Dia mendekati Florentina yang masih meronta. Suster menanyakan, siapa namanya? Suaranya kurang jelas, tapi saya mendengar seperti menyebut nama Arwa atau Aruwa.
Setelah itu, Suster Bernadine menyapanya dengan nama itu.
“Arwa mau pulang?”
Florentina mengangguk.
“Oke ya, kita antar bersama-sama untuk pulang, ya Arwa. Pulang ke mana?” Tanya Suster Bernadine lagi.
Kembali, Florentina hanya menunjuk jendela. Suster masih sempat bercanda.
“Kalau pulang jangan lewat sana. Itu jendela. Nanti kita bisa jatuh. Kita antar lewat tangga ya, lewat Doa Rosario.” Florentina mengangguk sambil mengedarkan pandangan ke kita semua yang ikut menunggui.
Saya tidak tahu harus berbuat apa. Namun, saya pernah dengar siapa tahu dengan air suci bisa membantu. Ketika saya sampaikan kabar tersebut, Suster Bernadine meminta seorang anak untuk mengambil sir suci di susteran.
Suster masih mencoba mengajak dialog “Arwa” yang merasuki Florentina. Saya terima air suci, dan saya percikkan ke tubuh Florentina. Matanya melotot melihat saya. Dia terus mengawasi gerak-gerik saya. Dia juga meronta kuat-kuat seolah mau melepaskan diri dari pegangan teman-temannya. Dia berteriak keras sekali:
“Pulang! Pulang! Pulang!”
Suster Bernadine meresponsnya dengan lembut.
“Arwa mau pulang, ya? Ayo kita antar ramai-ramai ya. Kita antar dengan doa Rosario bersama.”
Suster mengajak semua yang di sana untuk mendaraskan doa Rosario. Kami semua bergegas mengambil tasbih sebagai “alat” untuk mendaraskan doa rosario.
Doa Rosario adalah rangkaian doa yang cukup panjang. Ketika sampai di bagian “Aku percaya kepada Allah yang Maha kuasa, pencipta langit dan bumi,” tatapan nanar Florentina mulai jadi lembut. Dia tidak lagi meronta, apalagi melawan.
Ketika doa Rosario yang kami daraskan sampai di bagian tengah, Florentina menangis. Suster berbisik:
“Arwa mau ikut doa Rosario?”
Florentina menggelengkan kepala.
Kami melanjutkan doa Rosario itu setelah berhenti selama beberapa detik ketika melihat reaksi Florentina. Kami berdoa doa Rosario dengan perlahan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 3 pagi.
Salah satu bagian dari doa Rosario adalah berdoa doa Salam Maria 10 kali per bagian. Ketika kami sampai di doa kelima, tubuh Florentina seperti kehilangan bobotnya. Teman-temannya melepaskan pegangan lalu menyandarkan kepala Florentina. Florentina kelihatan tidur pulas.
Suster Bernadine bilang bahwa yang merasuki Florentina sudah pulang. Teman-temannya lega. Mereka masih menunggui Florentina yang tertidur sampai pukul 4 pagi. Teman-temannya menyodorkan air untuk minum. Florentina hanya meneguk dua kali saja. Setelah itu, kami semua kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat.
Saya kembali ke kamar. Para peserta latihan, di hari ketiga memang ditugasakan membuat tulisan berdasarkan liputan lapangan. Topiknya adalah destinasi wisata di sekitar kota Makale, Tana Toraja. Mereka harus mengunggah tulisan sebelum pukul 24.00. Rencananya, pukul 4 pagi, saya bangun untuk memeriksa laporan mereka untuk evaluasi sebelum penutupan pukul 8 pagi.
Begitu membuka laptop, kursor komputer saya lansung menuju nama Florentina. Setelah saya baca, tulisan Florentina memang bagus, lengkap, dan hidup. Dia menulis seperti membuat cerpen. Detail dan sekali-sekali muncul seolah dia mengutip narasumber.
Setelah saya perhatkan, dia seperti mendapat penjelasan dari seorang pemandu wisata yang paham betul tentang pemakaman Kete Kesu di Tana Toraja itu. Ketika menuliskan “penjelasan” pemandu wisata, Florentina tidak lagi menggunakan kata “jenazah”, “tengkorak”, “tulang”, atau “pemakaman”.
Narasinya seolah dia mengunjungi sebuah kampung. Saya kutipkan sedikit:
“Paling bawah ada lima rumah yang indah. Itu adalah tempat tinggal orang kaya atau terpandang. Setelah naik tangga, ada rumah-rumah kecil. Di dalamnya ada beberapa penghuni. Anda lihat mereka memakai pakaian adat Toraja. Mereka orang biasa, tidak kaya dan tidak miskin. Mungkin petani, pedagang, guru, pegawai, dan lain-lain. Makin ke atas, makin banyak. Mereka adalah orang kebanyakan. Ada orang miskin, ada pula orang yang kehidupannya tidak bahagia.”
Florentina, dalam laporannya, menggambarkan ada strata sosial di “kampung” itu. Dia narasikan seolah penghuninya adalah orang yang masih hidup, yang tinggal di rumah-rumah sesuai strata sosialnya.
Memang, di Kete Kesu, orang kaya atau terpandang, jenazahnya disimpan di rumah yang bagus. Warnanya merah dan kuning emas. Rata-rata, mereka masih memakai pakaian adat atau kebesaran. Tiap tahun, jenazahnya dibersihkan dan pakaiannya diganti yang baru.
Di atasnya ada gua-gua. Tiap gua ada pintu teralis besi. Ada jenazah yang masih memakai pakaian, tapi ada pula yang sudah berupa tulang dan tengkorak. Paling atas adalah cerukan karang tebing. Di cerukan itu ada tulang dan tengkorak. Mereka adalah orang kebanyakan.
Selesai membaca tulisan Florentina, saya mendapat kesan bahwa yang merasuki dia adalah seorang pemandu wisata atau bahkan warga setempat. Dia menceritakan seluk beluk “permukiman jenazah” di Kete Kesu, Tana Toraja itu. Padahal, ketika di lokasi wisata itu, teman-temannya melihat bahwa Florentina tidak didampingi seorang pemandu wisata atau warga setempat.
Jadi, siapa narasumber Florentina?
BACA JUGA Menggali Peti Harta Karun Toapekong, Bukan Emas Batangan, yang Kami Dapat Malah Potongan Kepala Manusia dan kisah alam gaib lainnya di rubrik MALAM JUMAT.