MOJOK.CO – Makhluk hitam itu mengelilingi tempat kami tidur. Dia bergerak perlahan. Konon, orang yang dikelilingi sosok itu akan tak sadarkan diri selama dua minggu. Sebuah cerita horor KKN lainnya.
Ada tradisi khusus selama saya KKN di daerah Lombok Utara, mendekati Gunung Rinjani. Tradisi ini mewajibkan selalu ada warga lokal mendampingi kegiatan KKN. Semua kegiatan, tanpa kecuali.
Mau soal birokrasi desa sampai senam pagi untuk anak SD. Mereka berkata, harus ada satu pemuda atau pemudi desa yang mendampingi. Mereka berjanji tidak akan mengganggu, hanya melihat dari jauh. Jika diizinkan, mereka tidak keberatan membantu kegiatan KKN.
Entah apa maksudnya. Kami pun hanya mengikuti anjuran tersebut. Ketimbang kami mengalami juga cerita horor KKN yang pernah viral beberapa bulan yang lalu. Kan, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Kami tidak ingin melanggar tradisi. Terlebih, kata warga sini, kekuatan mistis paling besar se-Lombok ada di desa kami KKN.
Cerita horor KKN ini sudah kami alami setiap malam sejak menginjakkan kaki di desa ini. kami sering mendengar suara jangkar menghujam lautan. Padahal, jarak kami ke puncak Rinjani lebih dekat ketimbang ke pantai. Sesekali kami juga mendengar desiran ombak. Ketika kami bercerita kepada warga desa, katanya itu pertanda bahwa kedatangan kami direstui.
Masih banyak cerita horor KKN kami yang bikin merinding setengah mati. Salah satunya berkat cerita horor KKN dari pemuda desa yang baru saja menyelesaikan studi di Malang. Dia bercerita:
Di jalan berkelok tepat di bawah posko kami, ada sosok makhluk hitam. Kadang hanya duduk dan melihat orang yang melintas. Katanya, makhluk hitam itu punya bentuk tubuh seperti manusia biasa. Bedanya, kulitnya hitam legam dan berambut panjang ke depan.
Dan, beginilah awal cerita horor KKN kami….
Awalnya kami mondar-mandir di kelokan itu dengan perasaan biasa saja, baik siang maupun malam. Kini, setelah mendengar cerita tersebut, kami setidaknya harus berempat ketika melewati jalan berkelok itu.
Saat itu, kami bukan hanya takut dengan makhluk halus. Kami juga takut kalau makhluk hitam itu adalah manusia yang bermaksud jahat. Ditambah lagi desa ini adalah tempat paling horor. Tidak menutup kemungkinan bahwa lokasi ini adalah tujuan untuk mencari ilmu atau wangsit. Tapi kami tidak tahu persisnya karena sungkan untuk bertanya.
Singkat cerita, kami melewati malam demi malam yang kebetulan biasa saja. Tidak terjadi hal-hal aneh selain badai gunung yang membuat kami kedinginan. Seiring cerita demi cerita yang bertambah tiap harinya justru mengakrabkan kami dengan warga desa.
Kami sering tidur di “berugak sekenem” di tengah desa adat yang menghadap langsung ke hutan adat. Berugak adalah semacam cakruk khas NTB. Di sini, di dalam desa adat, perkataan harus sangat dijaga. Sayangnya, mulut kami terlalu licin untuk dikontrol.
“Asuuuuu!” Pekik Dono, salah satu teman saya ketika kalah main kiu kiu, sejenis permainan kartu.
“Shhh!” Kompak kami mengingatkan Dono untuk jaga omongan.
“Santai, penghuni sini nggak paham misuh orang Jogja,” timpalnya dengan tenang. Dan pisuhan demi pisuhan berlanjut setelahnya. Pada momen ini, cerita horor KKN yang sering kami dengar mulai terbayang.
Kami hanya bisa menarik nafas, agak ketakutan juga. Setelah itu, kami memutuskan tidur di berugak. Kami mengurungkan niat kembali ke posko karena anjing hutan sudah mulai turun. Kabut juga sangat menganggu pandangan jika balik ke posko. Dan…ya, kelokan itu sangat kami hindari, jika dirasa tidak penting-penting amat untuk dilalui.
Tidur kami pulas, meski tubuh kami meronta karena dingin. Ketika terbangun di tengah malam dan melihat keadaan sekitar, anjing-anjing hutan melolong memekakkan telinga. Kabut makin tebal, menyelimuti.
Tiba-tiba, ada tangan yang sangat dingin menyentuh pundak saya. Tangan itu sesaat seperti memijat saya, basah, dan sedikit kapalan. Jika ini hantu, apa iya tangannya begitu kasar seperti kuli.
Setelah susah payah mengumpulkan keberanian, saya menengok ke belakang. Ternyata Dono. Sarung melilit lehernya. Dia celingak-celinguk melihat sekitar.
“Opo?” Kata saya dengan sedikit gemetar.
“Temenin. Beser. Kebelet boker juga.” Ini dia, masalah cerita horor KKN biasanya dimulai dari kejadian seperti ini.
Kami bergegas melewati rumah adat demi rumah adat. Jika di posko, kami bisa kencing di mana pun kami suka. Banyaknya reruntuhan pasca-gempa Lombok memudahkan akses kami untuk kencing, tapi tidak untuk boker. Sedang di dalam desa adat, rumah-rumah adat yang kokoh meski diguncang gempa, tentunya kami tidak enak hati untuk numpang boker.
“Sini aja,” kata saya, menunjuk pagar pembatas antara desa adat dan persawahan. “Arahin kencingnya ke sawah. Bokernya ditahan dulu.”
“Temenin, lho,” kata Dono. Ia bergegas kencing. Bunyi gemericik air kencingnya menghantam bebatuan. “Dari tadi aku itu mau kencing, tapi nggak nemu-nemu gerbangnya. Seolah aku diputar-putar di sekitar rumah adat di dalam,” kata Dono nggak jelas yang sukses membuat saya merinding setengah mati.
Kami bergegas menuju berugak tempat saya dan teman-teman lainnya tidur. Benar saja, lima belas menit kami berjalan, rasanya tidak habis-habis rumah adat yang kami temui. Ada sekitar puluhan. Padahal waktu berangkat kencing, kami hanya melewati beberapa rumah adat berukuran kecil.
Rintik hujan dan kabut menambah susah pergerakan kami. Dono hanya diam dan mengikuti dari belakang. Saya paham, Dono juga merasakan keanehan yang sama. Ketika sudah lelah berjalan, kami menemukan berugak yang kami. Berugak dengan satu petromak dan teman-teman kami sedang terlelap. “Ketemu, Don,” kata saya.
“Bis, Bisma…” kata Dono memanggil-manggil nama saya. Ia menarik kerah saya dengan pelan. “Aku lemes,” kata Dono.
Saya melihat ke belakang, Dono hanya diam mematung melihat ke atas. Lebih tepatnya ke atas berugak yang sedang ditiduri teman-teman saya. Matanya nampak dalam, mulutnya sedikit terbuka.
Tanpa tedeng aling-aling, saya pun turut serta menyusuri ke mana arah mata Dono. Dan…sosok makhluk hitam menyerupai tubuh manusia sedang melambaikan tangannya kepada kami. Jangan tanya ekspresinya bagaimana karena rambutnya hitam panjang menjuntai ke depan. Persis seperti apa yang digambarkan oleh pemuda desa.
Jangan pergi ke mana pun tanpa mengajak pemuda atau pemudi desa. Tiba-tiba saya teringat perintah itu. Jujur, saya langsung ngompol dan tidak berani berteriak karena warga desa adat sedang terlelap. Lambat laun, bayangan itu menghilang seiring kabut yang makin tebal. Kami menjauh dari berugak. Takutnya, makluk hitam itu turun dan mengejar kami.
Ah, benar saja, ternyata makhluk hitam itu turun dan mengelilingi berugak yang masih ditiduri kawan-kawan kami. Dono membaca ayat suci. Padahal, ketika pertama kali bertemu, ia mengaku seorang agnostik.
Makhluk hitam itu berjalan perlahan mengelilingi berugak. Ia terlihat menunduk. Kami hanya melihat. Tidak punya kekuatan untuk membangunkan teman-teman kami. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan makhluk hitam itu?
Bentuknya memang manusia. Setelah nampaknya puas mengelilingi berugak, makhluk hitam itu tiba-tiba menghilang. Saya dan Dono sepakat untuk merahasiakan kejadian ini karena tidak ingin membuat kegaduhan.
Esoknya, salah satu pemuda bercerita. Burung gagak mengelilingi berugak yang kami tiduri semalam. Katanya, ini sama dengan KKN tujuh tahun lalu. Ketika ada mahasiswa yang ngeyel berkegiatan tanpa ditemani oleh pemuda dan pemudi desa. Katanya, “Mereka melihat sosok makhluk hitam itu. Salah satu mahasiswa berkata, sosok makhluk hitam itu mengelilingi tempat di mana kami sedang terlelap.”
Sangat mirip dengan cerita horor KKN yang saya dan Dono alami. Mata kami saling beradu. Pemuda desa itu melanjutkan, “Tujuh tahun lalu, setelah salah satu mahasiswa melihat sosok makhuk hitam itu mengeliling berugak, konon pada hari ke-13 saat KKN, salah satu orang yang dikelilingi makhluk hitam itu akan hilang kesadaran selama dua pekan.”
Dan sialnya, kami mengalami kejadian itu pada malam ke-12 dan tepat nanti malam adalah malam ke-13….
BACA JUGA Ringkasan Cerita ‘KKN di Desa Penari’ buat Para Pemalas dan Penakut atau tulisan terror makhluk halus lain di rubrik MALAM JUMAT.