MOJOK.CO – Bisikan itu masih menghantui saya. Termasuk ketika mengunjungi simbah di sebuah desa yang mirip di film KKN Desa Penari.
Waktu itu, di awal Desember 2022, saya mendapat pesan singkat dari ibu tentang rencana menengok simbah di ujung tahun. Saya hanya membalas sekenanya saja karena saat itu sedang sangat sibuk dengan pekerjaan.
Setelah semua pekerjaan selesai, saya membaca kembali pesan dari ibu. Ternyata, saya salah tangkap maksud pesan tersebut. Bukan sebatas “menengok”, tapi ibu mengajak liburan di sana. Di rumah simbah yang terletak di perkampungan terpencil di suatu daerah di Pulau Jawa.
Maafkan saya yang tidak diberi izin dari keluarga untuk menuliskan nama daerah tersebut. Sebagai gambaran, desa atau perkampungan di mana simbah tinggal sangat mirip dengan perkampungan di film KKN Desa Penari. Masuk hutan, sesak dengan pepohonan, dan sudah jarang ada penghuni di sana. Jadi, pembaca sudah bisa membayangkan latar tempat kejadian ini.
Simbah dari ibu
Simbah yang saya maksud di sini adalah simbah dari ibu. Sementara itu, simbah yang saya tulis di artikel “Trauma yang Tersimpan di Kota Tangerang” adalah simbah dari sisi ayah. Saya, dan keluarga, biasa memanggilnya nenek. Yah, sebatas untuk membedakan saja.
Untuk mengingatkan pembaca soal teror di Tangerang, silakan baca di sini: “Trauma yang Tersimpan di Kota Tangerang”.
Cerita di rumah simbah, yang rumahnya ada di tengah perkampungan seperti di KKN Desa Penari, dimulai dari sebuah bisikan. Kalau pembaca setia mengikuti beberapa tulisan saya di Mojok, ada beberapa fragmen tentang “bisikan” yang masih mengikuti saya. Dan cerita kali ini, masih mempunyai benang merah dari cerita itu.
Beberapa hari kemudian, ketika saya selesai mandi, ibu mengabari bahwa dia sudah membeli tiket kereta. Namun, karena belum tahu jadwal saya, ibu hanya membeli tiket untuk dirinya dan kakak saya pada tanggal 26 Desember 2022. Saya diminta menyusul di sekitar tanggal itu. Lantaran sudah terlanjur beli, saya mengiyakan saja instruksi dari ibu.
Selain itu, ibu juga mengabari bahwa paman saya, Uncle Jack, bersama anak dan istrinya, akan menyusul. Yah, untungnya, di sekitar tanggal 26 Desember, pekerjaan saya akan sudah selesai dan tidak ada keperluan penting lainnya.
Oiya, masih ingat dengan Uncle Jack, kan? Jika lupa, silakan baca lagi cerita perjalanan saya di Alas Purwo, Banyuwangi. Baca di sini ya: “Ekspedisi Alas Purwo: Penjelajahan Pertama ke Hutan Angker”.
Hari keberangkatan
Hari keberangkatan datang dengan cepat. Saya, yang memang tinggal terpisah dengan ibu dan kaka, naik taksi online menuju stasiun kereta.
Seperti biasa, jalanan Jakarta lumayan macet. Mungkin karena saat itu adalah hari Senin dan masih banyak orang yang berangkat kerja. Alhasil, saya telat sampai di stasiun sekitar 30 menit. Mau tak mau, saya harus membeli tiket kereta lagi.
Sialnya, kursi yang tersedia hanya ada di kelas luxury keberangkatan sore hari. Keluar uang agak banyak bikin saya agak sebal. Apalagi harus menunggu lama. Tapi ya sudah, saya tidak punya pilihan lain. Perjalanan ke perkampungan seperti di film KKN Desa Penari harus ditunda sebentar.
Singkat cerita, setelah melewati kebosanan di stasiun, kereta saya datang. Saya bergegas masuk ke gerbong dan mencari kursi. Yah, meskipun mahal, tapi fasilitas dan pelayanannya oke banget. Jadi, bisa dibilang perjalanan saya jadi lebih nyaman. Kapan lagi bisa naik sleeper train.
Begitu kereta jalan, saya langsung mengabari ibu kalau saya akan sampai malam harinya. Saya juga minta tolong untuk dijemput di stasiun.
Menginap semalam
Beberapa menit kemudian, balasan ibu datang. Katanya, pakdhe tidak bisa menjemput malam ini juga. Katanya, ada tahlilan di desa setelah Maghrib. Iya, tahlilan dengan sedikit orang di sebuah perkampungan yang mirip di film KKN Desa Penari.
Saya jadi agak bingung. Seingat saya, tidak ada kendaraan publik untuk sampai di rumah simbah. Kalau pakai ojek online, pasti mahal banget. Lagian saya tidak ingat secara persis jalan ke rumah simbah. Terakhir ke sana adalah ketika saya masih bocah. Tidak lama, ibu menelepon.
Ibu menyarankan saya untuk menginap semalam di dekat stasiun. Paginya, pakdhe akan menjemput.
“Wes, nduk, kamu cari penginapan dulu ya di dekat stasiun. Nanti pagi baru pakdhe jemput,” ucap Ibu dengan logat Jawa-nya yang kental.
“Emangnya abis tahlilan pakdhe nggak bisa jemput aku?”
“Takut kemaleman nduk. Bahaya. Rumah simbah kan jauh dari mana-mana. Harus lewat hutan juga. Sudah, kamu ikuti kata ibu, ya.”
Yah, kalau sudah begitu, saya tidak punya pilihan, kan. Oleh sebab itu, di sepanjang perjalanan, saya lebih banyak tidur biar nggak banyak pikiran. Apalagi, saat itu, perasaan nggak jenak sudah datang. Kalau perasaan kayak gini datang, biasanya memang akan terjadi “sesuatu”.
Perasaan gelisah dan tidak nyaman
Saya menyempatkan untuk pesan kamar hotel di sela-sela tidur. Entah kenapa, rasa tidak nyaman itu semakin tebal. Mungkin karena mendengar kata “hutan” membuat saya lagi-lagi mengingat kejadian yang tak terjawab di Banten. Apalagi rumah simbah ada di tengah hutan. Sebuah perkampungan yang langsung mengingatkan saya dengan film KKN Desa Penari.
Untuk mengisi waktu dan menenangkan pikiran, saya mau ngemil cokelat saja. Mengingat cokelat bisa bikin hati lebih ringan, makanya saya selalu bawa. Namun, isi tas saya itu memang agak berantakan. Makanya, ketika saya berusaha untuk mengeluarkan bungkus cokelat itu, kunci rumah saya malah terlempar keluar hingga ke kursi sebelah.
Dengan perasaan canggung dan malu, saya beranjak dari kursi. Saya berusaha meraih kunci tersebut hingga gelagat kikuk saya membuat suasana semakin canggung. Saya menunduk-nunduk meminta maaf kepada penumpang di sebelah saya karena sudah membuat kegaduhan. Saya mendapati wanita paruh baya yang cantik dan anggun. Dia tersenyum lembut dan mengatakan bahwa tidak terganggu kok lalu mengambil kunci di dekat kakinya dan memberikannya ke saya.
Ketika hendak meraih kunci dari tangan wanita itu, tiba-tiba saja suara bisikan kembali terdengar. Suara itu cukup membuat saya semakin merasa tidak nyaman. Segera saya mengucapkan terima kasih dan kembali duduk. Saya menarik napas dan berusaha untuk memejamkan mata dalam-dalam, berharap saya tidak lagi ditampakkan sosok yang menyeramkan.
Mas ojol yang curiga
Setibanya di Stasiun X, saya buru-buru menuju gerbang keluar dan memesan ojek online untuk menuju penginapan yang sudah saya pesan. Iya, saya waktu itu memesan penginapan semacam lodge gitu sih. Kondisi yang super dadakan dan kondisi juga sudah malam, yang penting bisa istirahat.
Saya berdiri di luar gerbang stasiun sembari minum sekotak susu cokelat, scrolling media sosial sembari menunggu abang ojolnya datang. Sekitar 10 menit, abang ojol muncul dan mengkonfirmasi nama dan tujuan.
Di perjalanan menuju penginapan, seperti biasa, abang ojol membuka pembicaraan untuk sekadar basa-basi biar tidak terlalu hening.
“Mbak lagi liburan ya di sini?”
“Iya, mas. Saya mau liburan ke rumah simbah saya,” jawab saya
“Emangnya rumah mbahnya di mana? Kok ini tujuannya ke Penginapan S ya?”
“Di Desa B, Mas. Ini ibu saya nyuruh untuk nginep dulu soalnya nanti pagi baru dijemput.” Mungkin ada sekitar 30 detik Mas itu tidak merespons sama sekali.
“Desanya jauh itu, Mbak, dari sini, terpencil pula. Kata orang kayak desa di KKN Desa Penari. Emang asli orang sana Mbak?”
Pertanyaan itu seperti mengandung rasa curiga. Namun, saya tampik perasaan janggal dan menjawab singkat:
“Enggak, saya orang Tangerang.”
Penginapan tua
Suara motor memecahkan keheningan malam Kota Y saat itu. Gemerlap lampu yang berpendar kekuningan di setiap jalan membuat saya bernostalgia. Sekitar 15 menit berlalu, saya tiba di penginapan S.
Saya menganggap penginapan itu tua dan antik. Agak gelap karena lampunya juga tidak terlalu terang, Ya mungkin karena biar dapet kesan klasik dan homey. Saya segera menuju lobi biar bisa cepat istirahat.
Di lobi, musik tradisional Jawa mengalun lembut. Saya menghampiri meja resepsionis dan mengkonfirmasi pesanan kamar. Laki-laki itu tersenyum ramah dan cukup cekatan. Tak lama, dia memberikan kunci kamar dan menunjukkan arah menuju kamar saya.
Mungkin karena malam, penginapan ini sangat sepi. Benar-benar sepi dan malah jadi menakutkan. Ornamen kayu dan perabotan tua nan antik menghiasi penginapan tersebut. Cukup membuat saya teringat rumah Uncle Jack di Jakarta.
Suara decit roda koper saya adalah satu-satunya suara yang terdengar. Sampailah saya di kamar 303. Ketika membuka pintu, entah kenapa saya jadi bergidik. Terpaan hawa yang cukup berbeda dari dalam kamar sesaat membuat saya ragu untuk masuk.
Panik di dalam kamar
Begitu masuk kamar, saya langsung mengeluarkan sabun cuci muka dan handuk. Karena perjalanan cukup melelahkan, saya malas untuk mandi dan lebih memilih cuci muka dan gosok gigi saja. Saya buru-buru menuju kamar mandi dan bersih-bersih.
Selesai itu, saya langsung rebahan di Kasur. Karena saya adalah tipikal orang yang tidak bisa tidur kalau lampu menyala, akhirnya saya matikan lampu dan kamar menjadi gelap. Mungkin, karena di kereta sudah terlalu banyak tidur, mata ini sudah tidak bisa diajak kompromi sama sekali.
Alhasil, jadilah saya main hape. Di sela-sela sedang asyik scrolling Reels di Instagram. Saya mendengar ketukan pintu dari luar. Bunyi ketukan itu pelan. Saya menengok sedikit ke arah pintu tapi kalau itu room service, saya merasa nggak memesan sesuatu dan pastinya setelah mengetuk ada suara orang, dong. Tapi ini benar-benar hanya ketukan pelan.
Panik, panik, panik.
Saya tidak berani menyahut ketukan itu dengan kata “Siapa?” Saya memilih untuk tidak menghiraukan suara itu dan langsung menutup wajah dengan selimut. Saya maksain tidur malam itu.
Dijemput pakdhe
Pagi harinya, saya terbangun sekitar pukul empat pagi karena ibu menelpon untuk membangunkan saya. Ibu bilang kalau pakdhe akan berangkat setelah salat subuh. Setelah itu, saya tidak bisa tidur lagi dan memilih untuk mandi serta siap-siap. Sekitar pukul delapan, pakdhe sudah sampai.
Saya bergegas turun ke lobi dan mendapati pakdhe sedang duduk santai sambil ngopi.
“Assalamualaikum, Pakdhe, gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah, baik. Ini kamu udah semua barangnya?”
“Iya, sudah, Pakdhe.”
Saya bergegas ke resepsionis untuk check out. Di sela itu, saya komplain kejadian semalam di mana ada pekerja hotel yang mengetuk pintu. Resepsionis malah kebingungan karena tadi malam semua pekerja hotel sedang di lobi. Mas yang bertugas itu akhirnya minta maaf karena bingung mau merespons apa. Saya hanya mengangguk dan buru-buru menghampiri pakdhe.
Pakdhe tersenyum dan membantu saya mengangkut koper ke dalam mobil. Mobil pakdhe benar-benar klasik, mobil Mercy Tiger W123 itu terparkir manis di depan lobi. Saya suka banget sih sama mobil modelan old school begini.
“Pakdhe, mau jual mobilnya ke aku nggak? Aku jadi kepengin nih.”
“Pakdhe nggak bakal jual mobil ini. Wong Pakdhe nanti mau wariskan ke sepupu kamu si Lintang,” jawab pakdhe sambil tertawa.
“Yah, Lintang nggak suka model begini, dia kan kepengin mobil kodok.”
“Bisa aja kamu, Nes. Nanti Pakdhe paksain supaya dia suka hahaha.”
Perjalanan menuju desa yang mirip di film KKN Desa Penari
Kami mengobrol banyak sepanjang perjalanan. Pakdhe juga banyak bercerita tentang keluarga simbah. Kami juga sempat mampir untuk makan mengingat saya belum sarapan dan membeli beberapa bekal untuk di perjalanan.
Di tengah-tengah itu, saya baru menyadari bahwa ternyata kami sudah tidak berada di jalan raya lagi. Suasana jadi sepi, pikuk kendaraan mulai berkurang. Pemandangan sekitar hanya pepohonan rimbun menjulang tinggi seakan menusuk langit.
Sepi, tentram, dan nyaman membuat saya jadi mengantuk. Perjalanan dari kota menuju rumah simbah ini memang jauh banget. Pantas saja ibu bersikeras meminta saya untuk menginap dahulu.
“Pakdhe, aku jadi ngerasa kayak lagi di film horor KKN Desa Penari itu ya.”
“Hahaha,” Pakdhe menyahut dengan tawanya, “Kondisinya sama, sih!”
Pakdhe juga sudah sering mendengar anggapan itu. Kalau rumah simbah itu ada di sebuah perkampungan seperti di film KKN Desa Penari.
“Semoga nanti nggak ada yang aneh-aneh ya hahaha,” saya usil saja bilang begitu.
“Hush, mulutnya, lho, Nes.”
“Hehehe, iya Pakdhe.”
Pakdhe melambatkan mobilnya ketika vegetasi hutan makin rapat. Saya masih ingat kalau jalanan menuju rumah simbah cuma bisa dilalui satu mobil. Ketika hampir sampai, saya dikagetkan oleh sosok nenek tua di pinggir jalan.
Nenek itu sedang berjalan memikul kayu bakar. Ketika kami melintas, dia melotot ke arah mobil dan saya spontan beristigfar.
“Astagfirullah, ya Allah kaget.”
“Kamu kenapa, Nes?”
“Nggak papa, Pakdhe. Cuma kaget saja tadi ngeliat nenek-nenek di pinggir jalan.”
“Ibu Sar namanya. Rumahnya memang berada di luar desa. Ya dekat sini, lah.”
Entah kenapa mata saya terus tertuju ke sosok Bu Sar tadi. Saya bisa mendeteksi kalau pandangan Bu Sar itu terus mengekori mobil pakdhe.
Saat itu, jalanan lumayan licin dan cuaca juga sudah mendung. Kami harus melewati tanah merah yang gembur dan licin hingga kami tiba kami di gapura selamat datang. Di sana, saya bisa melihat beberapa orang desa membawa cangkul dan hasil tani.
Tiba di rumah simbah putri
Pakdhe memberhentikan mobil tepat di depan rumah joglo yang cukup besar dengan pekarangan yang luas pula. Ibu datang menyambut kami diikuti kakak saya yang membantu membawa koper dan tas saya.
“Kamu sudah makan, Nduk?” Tanya ibu sembari merangkul pundak, mengajak saya untuk masuk ke rumah.
“Iya, Ibu. Sudah makan tadi sama Pakdhe. Simbah di mana?”
“Di teras belakang.”
Saya langsung berlari ke teras belakang. Di sana saya mendapati wanita tua dengan rambut putihnya disanggul cepol dan baju kutu barunya yang khas. Saya berteriak dan langsung memeluk wanita itu.
Ya, beliau adalah simbah. Kami sudah lama sekali tidak bertemu. Tapi ya ketika itu juga simbah langsung memukul pundak saya sembari marah-marah dengan Bahasa Jawa.
Beliau bilang tidak boleh berteriak di dalam rumah, apalagi perempuan. Saya hanya mengangguk senyum dan memeluk lagi simbah putri. Rumah simbah ini memang cukup besar dan punya banyak kamar. Saya dan ibu berada di satu kamar dan lagi-lagi saya kena omel karena pakaian saya yang terlalu terbuka.
“Haduh, Nduk. Kamu jangan pakai baju terbuka gitu dong. Nanti kena marah lagi loh.”
“Terbuka gimana, Bu, aku cuma pakai celana pendek sama tanktop aja, kan. Di rumah juga biasa begini.”
“Udah-udah diganti sana. Jangan cari masalah di sini.”
Saya berdecak sebal dan malas karena harus mengganti pakaian. Mana di sini agak panas.
Jadilah, malam itu, saya, kakak, pakdhe, dan simbah putri makan bersama. Ibu juga membahas tentang rencana kedatangan Uncle Jack. Selesai makan, saya memilih mencari angin di teras belakang rumah. Malam itu rasanya gerah. Mungkin akan turun hujan.
Teras rumah simbah cukup luas dengan pohon beringin putih besar di ujung kiri. Kalau diingat-ingat, setiap keluarga ibu pasti punya pohon beringin putih di rumahnya. Saya ingat betul dulu ibu sempat menanam pohon, tapi akhirnya ditebang oleh almarhum ayah. Saya nggak pernah tahu alasan ayah.
Sesajen di rumah simbah putri
Tak lama kemudian ibu memanggil saya untuk masuk dan menutup pintu teras belakang. Ketika hendak masuk, saya sempat melihat semacam sesajen di belakang rumah.
Bau sajen yang khas itu pun membuat saya agak sedikit penasaran, tapi juga takut secara bersamaan. Dalam hati saya bertanya, kok bisa-bisanya ada sesajen di belakang rumah. Setahu saya, keluarga ibu sudah lama sekali meninggalkan budaya kejawen. Saya menghampiri sesajen itu dan mengangkat tampahnya.
“Taruh itu, Nes!”
Suara pakdhe mengagetkan saya. Pakdhe segera menghampir dan mengambil sesajen yang saya pegang. Beliau menaruh lagi di tempat semula. Suasana canggung menyelimuti keadaan saat itu. Saya sempat bertanya kenapa ada sesajen di sini. Pakdhe menjelaskan bahwa simbah putri masih melanjutkan tradisi keluarga walau simbah mengklaim hanya sekadar menjaga tradisi semata. Tidak ada intensi seperti dulu.
Ketika semakin larut, benar saja, hujan turun cukup deras secara tiba-tiba. Ketika semua berkumpul di ruang tamu, saya memilih untuk tidur di kamar.
Lagi-lagi, saya tidak bisa langsung tidur. Lelah yang membuat mata ini tak mau terpejam. Makanya, saya hanya bisa sibuk memandangi langit-langit kamar. Rumah ini benar-benar terasa sepi batin saya. Menjelang Magrib, apalagi kalau hujan seperti ini, tidak akan ada aktivitas warga.
Karena bosan, saya membuka jurnal dan mulai menulis lagi. Begitu jurnal saya buka, hawa dingin terasa menusuk tengkuk saya. Rasa tidak nyaman datang tanpa diundang.
Hawa dingin itu juga seperti memaksa saya untuk menengok. Tepat saat itu, suara bisikan yang mulai terasa akrab terdengar lagi. Sumber bisikan itu dari luar kamar. Suara yang pelan, lembut, dan seperti menghipnotis.
Saya memejamkan mata, berusaha menampik “tarikan” itu. Namun, saya hanya manusia biasa. Tanpa daya dan kekuatan….
(BERSAMBUNG)
BACA JUGA 5 Rumah Hantu Paling Seram di Jogja dan kisah mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Agnes Putri Widiasari
Editor: Yamadipati Seno