MOJOK.CO – Asrama itu berdiri di atas lahan pemakaman tua. Lahan pemakaman yang menyimpan banyak misteri. Perlahan, misteri itu terbuka.
Jakarta periode 1980an seperti kota yang baru menggeliat dari tidur panjangnya. Pembangunan infrastruktur yang dimulai di era Orde Baru mulai menunjukkan hasilnya. Dan di salah satu sudut kotanya, atas nama pembangunan dan keindahan kota, sebuah lahan pemakaman tua digusur.
Awal mula Mbak Asti menempati asrama
Ini adalah cerita kakakku, seorang perempuan tangguh, namanya Mbak Asti. Setelah menyelesaikan sekolah kejuruan di Purwokerto, dia merantau ke Jakarta. Kota yang menjanjikan sejuta impian indah bagi para pendatang. Apalagi Jakarta waktu itu belum sekejam Jakarta hari ini.
Di Jakarta, Mbak Asti tinggal di rumah Om Unggul, di bilangan Cilandak. Beliau adalah adik bapakku. Meminjam istilah orang Jawa, kakakku ini ngenger di rumah pamannya. Suatu kondisi yang tidak mengenakkan sebenarnya, tapi lazim dilakukan oleh kebanyakan orang pada saat itu.
Beberapa minggu tinggal di rumah Om Unggul, akhirnya Mbak Asti mendapat pekerjaan yang masih dilakoninya hingga hari ini. Sebuah konsistensi dan kesetiaan pada profesi yang sekarang semakin jarang kita jumpai.
Sebenarnya, lokasi tempatnya bekerja tidak terlalu jauh karena sama-sama di Jakarta Selatan. Namun, karena pekerjaan yang menuntutnya siap selama 24 jam, Mbak Asti pindah dari rumah Om Unggul. Kebetulan, tempatnya bekerja menyediakan asrama bagi para karyawannya. Asrama megah yang dibangun di atas lahan pemakaman tua.
Betul, yang jadi masalah adalah bangunan kantor dan asrama tempat dia tinggal dibangun di atas lahan pemakaman tua. Bangunannya terlihat masih baru dan terawat dengan baik walaupun sudah 10 tahun berdiri. Asrama tempat Mbak Asti tinggal lokasinya masih satu area dengan tempatnya bekerja.
Hampir semua penghuninya tidak tahu sejarah berdirinya bangunan itu karena kebanyakan pegawainya berasal dari luar Jakarta. Yang mereka tahu, memang ada lahan pemakaman, jaraknya sekitar 25 meter di belakang asrama, hanya dibatasi oleh sungai dan dinding setinggi tiga meter.
Di dekat dinding itu berdiri kokoh pohon beringin. Jika melihat bentuknya, beringin itu sudah berusia cukup tua. Pohon itu masih berada dalam kawasan asrama. Mungkin karena posisinya yang berada di sudut sehingga pohon itu tidak ditebang karena dianggap tidak mengganggu.
Tempat Mbak Asti bekerja ini semacam asrama pelatihan, milik salah satu kementrian. Asrama itu memiliki area yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan bertingkat. Tiap bangunannya memiliki puluhan kamar yang dipakai untuk para peserta yang mengikuti pelatihan.
Mbak Asti bekerja di dapur sesuai keahliannya memasak. Lokasi asrama karyawan berhadapan dengan letak dapur, hanya dipisahkan oleh jalan selebar tiga meter. Jika sedang banyak pelatihan, pekerjaan di dapur praktis tidak pernah berhenti karena harus menyediakan makan buat para peserta.
Pengalaman aneh Pak Rusdi
Kesibukan di dapur sudah terlihat sejak dini hari. Kewajiban untuk menyiapkan sarapan pagi untuk 300 peserta pelatihan memaksa seluruh karyawan bagian dapur bangun lebih awal.
Jam di dinding masih menunjukkan pukul dua dini hari ketika dengan tergopoh-gopoh Pak Rusdi, satpam kantor yang bergiliran jaga malam itu, masuk ke dapur yang cukup besar itu.
“Mbak tolong, sepertinya ada orang terjatuh dari lantai atas di dekat gedung A,” kata Pak Rusdi panik.
“Hah? Pak Rusdi lihat sendiri? Dia jatuh?” Tanya Mbak Asti yang dapat jadwal piket dapur pagi itu.
“Saya hanya dengar suara berdebum keras sekali, Mbak. Saat saya kembali ke pos untuk ambil senter, dia sudah di bawah, terlentang,” lanjut Pak Rusdi lagi.
Mbak Asti segera memerintahkan dua orang anak buahnya yang laki-laki untuk membantu Pak Rusdi menolong korban yang terjatuh. Gedung A memiliki delapan lantai, letaknya di dekat pintu masuk kawasan itu. Posisinya agak jauh dari dapur, sekitar 200 meter.
Saat ketiga orang tadi sampai di lokasi, ternyata mereka tidak menemui apa-apa di sana. Tak urung hal itu menimbulkan perdebatan dengan karyawan dapur.
Pak Rusdi heran. Dia yakin sekali melihat ada orang terjatuh dan bersimbah darah beberapa saat sebelumnya. Menurutnya, dengan kondisi seperti itu, mustahil dia bisa berjalan dan masuk lagi ke kamarnya.
Pak Rusdi menyorotkan senter ke tempat orang jatuh tadi. Bahkan sisa ceceran darah tidak dilihatnya. Karena dianggap mengada-ada, kedua anak buah Mbak Asti itu akhirnya kembali lagi ke dapur. Demikian juga Pak Rusdi, dia kembali ke pos jaga dengan menyimpan banyak pertanyaan.
Mbak Asti sendiri tidak heran dengan peristiwa itu. Sejak kedatangannya ke asrama yang berdiri di bekas lahan pemakaman, alam bawah sadarnya seperti merasakan ada sesuatu yang berbeda dari tempatnya bekerja. Mbak Asti memang sensitif terhadap sesuatu yang orang lain tidak bisa merasakan. Bahkan lebih sensitif ketimbang aku yang sering merasakan hal ganjil ketika naik gunung.
Pak Rusdi baru beberapa bulan bekerja di asrama itu, menggantikan satpam lama yang meninggal karena kecelakaan. Setiap hari, biasanya ada dua orang berjaga dengan waktu bergantian. Satu minggu terakhir ini, Pak Rusdi mendapat giliran jaga malam hari.
Malam berikutnya, kejadian serupa terulang lagi. Pak Rusdi melihat seorang perempuan tengah berjalan-jalan di lantai delapan balkon Gedung A. Rambutnya tergerai dan dia mengenakan kimono merah. Pak Rusdi bertanya-tanya, kenapa ada perempuan di sana karena Gedung A seharusnya diperuntukkan bagi tamu pria.
Pak Rusdi menyorotkan senternya ke arah balkon, dilihatnya perempuan itu sedang berdiri mematung, tubuhnya menghadap ke selatan. Di sana terletak lahan pemakaman, di belakang asrama karyawan.
Penasaran dengan keberadaan perempuan itu, Pak Rusdi bergegas menuju Gedung A. Dia membuka pintu lobi dan langsung menuju lift. Suasana sunyi sekali karena waktu sudah lewat tengah malam. Hanya ada suara binatang malam saja yang terdengar di sekeliling kompleks itu.
Lift berhenti di lantai enam, Pak Rusdi mengira ada yang akan naik. Namun, setelah ditengoknya, tak ada seorang di sana. Di lantai enam, Pak Rusdi sempat meneliti keadaan, selasarnya pun sepi, semua pintu kamar tertutup. Siapa yang menghentikan lift?
Dia kembali ke lift dan memencet angka delapan. Lift berjalan pelan. Sampai di lantai tujuh, lift berhenti lagi, pintunya terbuka, lagi-lagi tak ada orang. Pak Rusdi bahkan sempat kembali berkeliling di lantai tujuh ini. Saat pandangannya mengarah ke selatan, tampak ada cahaya petromaks di area dekat pohon beringin itu berdiri. Siapa yang sedang menggali kuburan di lahan pemakaman itu?
Sesaat kemudian, Pak Rusdi sampai di lantai delapan, disorotkannya senter ke sepanjang balkon. Dia tak menemukan perempuan yang tadi berdiri di ujung balkon.
Apa sudah masuk ke dalam kamar? Tapi aturan di sini sangat ketat. Jangankan bertemu dengan perempuan di kamar, bertemu keluarga saja harus turun ke lobi.
Dari lantai delapan Gedung A, Pak Rusdi menyapukan pandangannya ke seluruh kompleks asrama itu. Dia sorotkan senter ke beberapa sudut yang gelap. Saat menyorotkan senternya ke Gedung C, dia terkejut karena menemui perempuan itu sudah berada di sana.
Gedung C letaknya berseberangan dengan Gedung A. Dipisahkan oleh jalan dan halaman yang biasa dipakai oleh peserta untuk berolahraga. Yang aneh, Gedung C saat itu sedang kosong karena seluruh peserta pelatihan ada di Gedung A. Sementara itu, peserta pelatihan yang perempuan berada di Gedung B.
Niat Pak Rusdi untuk berteriak memanggil perempuan itu diurungkannya. Dia sadar, di dalam kamar, para peserta pelatihan sedang beristirahat.
Bergegas dia turun lagi. Kali ini lift langsung menuju lantai satu. Sekeluarnya dari Gedung A, Pak Rusdi menyorotkan senternya lagi. Perempuan itu masih di sana, kali ini dia melambaikan tangannya ke arah Pak Rusdi.
“Hei! Siapa di situ?” Teriak Pak Rusdi. Kali ini dia sudah tidak peduli akan kesunyian asrama. Pak Rusdi merasa sangat khawatir.
Saat akan menyorotkan senternya lagi, tiba-tiba senter itu mati. Digoncang-goncangkannya senter itu berkali-kali berharap hanya lampunya yang kendor. Tapi tetap saja tidak menyala.
“Astaghfirullahaladzim!”
Tiba-tiba Pak Rusdi berteriak. Dalam remang-remang malam, dia melihat perempuan itu terjun dari lantai delapan Gedung C. Bahkan suara badannya saat jatuh menghantam tanah pun terdengar berdebum. Pak Rusdi berlari menuju tempat itu. Seperti malam sebelumnya, dia tidak menemukan korban di sana.
Instingnya mengarahkan Pak Rusdi ke petromaks yang dia lihat menyala di lahan pemakaman. Entah kenapa, dia merasa harus memeriksanya.
Beranjak dari halaman di depan Gedung C, Pak Rusdi lalu melangkahkan kakinya menuju ke area pohon beringin. Letaknya tidak terlalu jauh dari dapur yang saat itu sedang menyiapkan kebutuhan untuk peserta pelatihan.
“Mas, siapa yang menggali di dekat pohon beringin?” Tanya Pak Rusdi ketika dia sampai di dapur.
“Gimana, Pak? Tidak orang di sana,” jawab salah seorang pegawai dapur.
“Ada. Tadi saya lihat ada orang membawa petromaks seperti sedang menggali di lahan pemakaman,” sahut Pak Rusdi.
Pak Rusdi, disertai beberapa orang dapur menuju ke tempat pohon beringin itu. Tak ada kegiatan di sana termasuk orang yang sedang menggali. Tapi mereka mencium aroma wangi kayu cendana.
Dan saat Pak Rusdi menyorotkan senter, dari balik pohon itu keluar sesosok perempuan sedang menggendong orok. Wajahnya rusak. Tatapan matanya lekat menatap ke arah mereka berdiri.
“Astaghfirullahaladzim!”
Serempak mereka beristighfar, dengan setengah berlari mereka segera beranjak dari tempat itu sambil terus beristighfar.
Hilangnya seorang peserta pelatihan
Sabtu keesokan harinya. Hari itu adalah hari terakhir pelatihan bagi para peserta Manajemen Training. Seluruh tas peserta sudah terkumpul di lobi, sementara para peserta menuju ruang makan untuk sarapan. Setelah itu, mereka akan berkumpul sejenak di ruang pertemuan untuk mendengarkan pidato penutupan acara.
“Lho, dari tadi Pak Hendro tidak terlihat. Jangan-jangan ketiduran,” kata salah seorang peserta.
Pak Hendro adalah salah satu peserta Manajemen Training sebuah perusahaan BUMN yang berasal dari Cirebon. Selama pelatihan, dia menempati kamar di sudut lantai enam Gedung A. Tapi pagi itu, tidak seorang pun dari peserta yang mengetahui keberadaannya. Ketika pintu kamarnya diketuk juga tak kunjung mendapat jawaban dan pintu kamar dalam keadaan terkunci.
Hampir satu hari itu seluruh peserta hari itu mencari keberadan Pak Hendro tapi tidak juga ditemukan. Begitu juga saat ditelepon ke kantor dan rumahnya, tak ada yang tahu ke mana perginya.
Saat kamarnya dibuka dengan kunci cadangan, Pak Hendro tak ada di sana. Anehnya, semua barang milik Pak Hendro masih ada dan kendaraan dinasnya masih terparkir di jalan depan Gedung A.
Hari semakin siang ketika satu demi satu peserta mulai meninggalkan asrama. Perusahaan tempatnya bekerja serta pihak asrama sudah melaporkan hilangnya Pak Hendro kepada kepolisian.
Tidak lama setelah mendapat laporan, kepolisian langsung datang ke asrama. Seluruh karyawan asrama diinterogasi terkait peristiwa itu. Polisi mendapat informasi ciri-ciri Pak Hendro dari salah satu peserta pelatihan.
Dari apa yang disampaikannya, profil Pak Hendro mirip dengan orang yang jatuh dari balkon beberapa malam sebelumnya. Itu diketahui setelah dikonfirmasi dengan keterangan dari Pak Rusdi yang malam itu bertugas jaga.
Lalu, apakah hilangnya Pak Hendro berkaitan dengan kemunculan perempuan di balkon malam itu? Siapa pula perempuan berwajah rusak yang menggendong orok?
Bersambung….
BACA JUGA Gunung Arjuno: Sebuah Pesan Kematian dari Sisi Lain Pulau Jawa (Bagian 3) dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Setiawan
Editor: Yamadipati Seno