Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Gangguan Jiwa Itu Bukan Cuma Gila, Tak Perlu Menolak ODGJ Dikasih Hak Pilih

Lya Fahmi oleh Lya Fahmi
7 Desember 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Jika kamu tahunya gangguan jiwa itu cuma gila. Nggak heran, kalau langsung protes dan menolak ketika ODGJ dikasih Hak Pilih.

Beberapa hari ini saya mengamati komentar-komentar netizen tentang aturan KPU yang memberikan hak pilih pada orang-orang dengan gangguan jiwa. Aturan ini membuat netizen terbelah dalam komposisi yang tidak imbang, banyak yang pro, tapi lebih banyak lagi yang kontra. Setidaknya ada dua narasi yang terus menerus didengungkan oleh kelompok kontra. Pertama, kecurigaan bahwa aturan ini hanyalah akal-akalan petahana untuk mendulang suara. Kedua, gagal paham apa perlunya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dikasih hak pilih.

“Becanda nih KPU ngasih hak pilih ke ‘orang gila.’ Ngawur banget! Udah tau ‘gila’ kok dikasih hak pilih. Segitunya petahana mau kembali berkuasa, sampai ‘orang gila’ aja boleh milih.”

Begitulah komentar-komentar kontra yang biasanya saya baca.

Tapi, tahukah Anda, Pakbapak dan Buibu yang menolak aturan ini? Ngomong-ngomong, ini bukan sebuah kecerobohan KPU yang membuat aturan. Atau ada kemungkinan niat busuk petahana untuk mendulang suara. Masalah yang sebetulnya adalah pakbapak dan buibu tahunya: yang namanya gangguan jiwa itu, ya cuma gila.

Karena tahunya cuma gila, maka asosiasinya langsung ke penderita gangguan jiwa berat yang terlantar dan menggelandang di jalanan. Padahal, gangguan jiwa tidak cuma sebatas itu, dan ada sangat banyak macamnya.

Jika pakbapak dan buibu suka nyakar-nyakar pasangan dan senang ditabok-tabok sama pasangan saat berhubungan badan, itu juga termasuk gangguan jiwa, lho.

Penggunaan istilah ‘gila’ ini biasanya memang ditujukan pada orang-orang dengan gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Nah, gejala-gejala umum yang dialami oleh penderita skizofrenia biasanya meliputi delusi, halusinasi, dan hilangnya kontak dengan realitas. Dengan ‘kerusakan’ separah ini memang wajar kalau khalayak ramai mempertanyakan aturan KPU.

Namun yang jarang diketahui oleh banyak orang adalah gangguan skizofrenia ini bersifat episodik, bukan menetap. Karena gangguannya bersifat episodik, maka penyintas skizofrenia tak selalu berada dalam kondisi yang disebut “gila” itu. Ada waktu-waktu di mana mereka sadar dan tak ada bedanya dengan kita-kita yang ngakunya sehat jiwa ini. Semakin gangguannya dapat tertangani dengan baik, plus mendapat dukungan yang positif dari lingkungan sekitar, maka semakin minimal gejala-gejala skizofrenia itu muncul.

Sayangnya, stigma yang berkembang di masyarakat, penyintas skizofrenia ini seolah-olah: sekali sakit jiwa, selamanya sakit jiwa.

Selain percaya bahwa orang dengan gangguan jiwa itu terus menerus terganggu kesadarannya, sepertinya banyak juga dari pakbapak dan buibu yang memandang orang dengan gangguan jiwa adalah orang yang tidak bisa apa-apa. Saking nggak ada yang bisa diharapkan dari orang dengan gangguan jiwa, sampai-sampai salat yang jadi tiang agama pun tidak diwajibkan atas mereka. Tak jarang saya menemukan komentar seperti ini,

“Dalam ajaran agama saja ‘orang gila’ itu dibebaskan dari kewajiban menunaikan salat, lah ini kok malah dipercaya memilih pemimpin? Nalarnya itu gimana?”

Dalam pikiran orang-orang yang berkomentar seperti ini, mereka mengira orang dengan gangguan jiwa tidak mampu menunaikan ibadah salat dan selamanya tak dikenai kewajiban menunaikan salat. Namun ada satu fakta yang jarang diketahui oleh Maha Benar Netizen Dengan Segala Eyelan-nya, satu fakta yang juga baru saya ketahui ketika praktik kerja profesi psikolog di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat, Jawa Timur.

Faktanya adalah setiap azan berkumandang—yang menandakan datangnya waktu salat, beberapa pasien di bangsal tempat saya bertugas segera beranjak berwudhu dan melakukan salat berjamaah!

Iklan

Sungguh ini pemandangan yang mengkoreksi pemikiran saya sebelumnya bahwa orang dengan gangguan jiwa tidak menunaikan salat. Terlepas dari diterima atau tidaknya ibadah salat yang mereka lakukan, tapi dalam kondisi kejiwaan yang stabil dan terkendali, pasien-pasien itu memahami kapan datangnya waktu salat, menyadari kewajibannya untuk menunaikan salat, dan mampu menunaikannya.

Saya pikir, gugurnya kewajiban salat bagi orang dengan gangguan jiwa ini tidak berlaku permanen seumur hidup mereka. Namun hanya berlaku ketika gejala-gejala gangguan jiwa yang mereka alami sedang “on.” Dengan pengalaman ini, bagi saya, masuk akal jika ODGJ dikasih hak pilih oleh KPU dengan syarat surat dari dokter yang menerangkan kondisi kejiwaan mereka.

Alih-alih nyinyir dan curiga, kita sebaiknya mengapresiasi langkah KPU yang memberikan peluang kepada ODGJ untuk menggunakan hak pilihnya. Pakbapak dan buibu boleh membayangkan orang dengan gangguan jiwa itu adalah orang yang sudah terbuang dan berakhir hidupnya. Tapi percayalah, bahwa di luar sana ada banyak penyintas skizofrenia yang berjuang tak kenal lelah untuk merawat diri dan mempertahankan kualitas hidupnya. Sebagian dari mereka menjalani hidup yang tak berbeda dari kita, berkeluarga dan bekerja dengan segala keterbatasannya. Bagi saya, mereka masih warga negara yang harus dijamin hak-haknya, termasuk hak pilih saat pemilu nanti.

Stigma memang membuat kita mempercayai asumsi-asumsi yang salah mengenai orang dengan gangguan jiwa. Kita seolah menjadi yang paling tahu tentang apa yang baik buat mereka, padahal didekati mereka saja kita lari ketakutan—hayo ngaku!

Sebenarnya, jangankan untuk salat dan menggunakan hak pilih, orang dengan gangguan jiwa bisa memenangkan hadiah Nobel saja ada! Hah? Siapa “orang gila” yang bisa memenangkan hadiah Nobel? Halah, nggak usah sok katrok kayak yang nggak pernah nonton film bagus gitu toh~

Gangguan jiwa berat seperti skizofrenia saja nggak seburuk yang pakbapak dan buibu pikirkan. Apalagi gangguan-gangguan yang lebih ringan seperti depresi, kecemasan, obsesif-kompulsif, dll. Yang saya yakin di antara pakbapak dan buibu ada juga yang mengalaminya, tapi nggak ngerasa aja karena gejalanya nggak ‘terlalu mencolok’, jadi nggak tahu kalau perilaku tersebut masuk dalam gangguan kejiwaan.

Nah, sekarang masih aja ngotot menolak ODGJ dikasih hak pilih? Please atuh lah, kita ini nggak kehilangan hak sebagai warga negara hanya karena mengalami gangguan jiwa, kok.

Terakhir diperbarui pada 7 Desember 2018 oleh

Tags: kpuODGJ dikasih hak pilihPemilu 2019skizofrenia
Lya Fahmi

Lya Fahmi

Psikolog, tinggal di Yogyakarta.

Artikel Terkait

kpps bantul.MOJOK.CO
Ragam

Curhat Petugas KPPS Bantul, Gaji Sehari Lumayan tapi Hadapi Saksi Galak dan Tekanan di TPS Lebih Menantang  

11 Februari 2024
Rantis Maung, Spesifikasi Tunggangan Prabowo Gibran ke KPU (foto kompas.com:Nirmala Maulana A)
Politik

Rantis Maung Mengantar Prabowo dan Gibran ke KPU, Ini Spesifikasi Kendaraan Buatan Pindad Itu

25 Oktober 2023
Partai Baru Tidak Bisa Ikut Menyumbang Dana Kampanye MOJOK.CO
Kotak Suara

KPU Ingatkan Partai Baru Tidak Bisa Ikut Menyumbang Dana Kampanye Capres dan Cawapres

13 Oktober 2023
bacaleg mojok.co
Kotak Suara

Masa Perbaikan Berakhir, Ada Parpol yang Ganti Bakal Caleg

13 Juli 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.