Seorang perempuan yang hidup dari Terminal Jombor sejak usia 11 tahun
Setelah mengisi perut, saya ingin bertemu dengan pengasong makanan ringan seperti arem-arem dan gorengan yang tadi sempat saya lihat. Namun, setelah mengelilingi ruang tunggu penumpang, batang hidung mereka tak tampak lagi.
Di saat itulah, saya melihat seorang perempuan membawa ukulele sedang berjalan menuju bus Sumber Waras yang sedang menunggu penumpang. Dari kejauhan ia tampak mulai memainkan gitar kecil tersebut di muka pintu masuk bus.
Rampung membawakan satu lagu, pengamen itu melenggang masuk berharap ada satu dua penumpang yang berbagi uang kecil. Bus berukuran sedang itu terisi tak sampai sepuluh penumpang sehingga hanya sekitar satu menit pengamen berjilbab hitam itu sudah keluar kembali.
Saya mencoba mencegatnya saat ia hendak melintas di ruang tunggu. Ia sempat kaget dan curiga. Raut khawatir terlihat di wajahnya.
“Wah takut aku Mas,” ujarnya. Ia mengira saya kepanjangan tangan dari Satpol PP yang hendak menjaring sasaran razia.
Beruntung, usai menjelaskan sejenak niat saya untuk mendengar cerita, perempuan ini berkenan untuk berbincang. Sebut saja namanya Siti* (31), ia mengaku tak ingin nama aslinya termuat di tulisan.
Terminal Jombor dalam hidup Siti adalah tempat yang begitu penting dan penuh makna. Sepertiga hidup ia habiskan dengan mencari rezeki di tempat ini.
“Terminal Jombor udah jadi tempatku mencari makan sejak usia sebelas tahun,” kenangnya.
Perempuan asal Pingit, Jogja ini terpaksa harus hidup di jalan sejak belia lantaran permasalahan yang kedua orangtuanya alami. Kondisi itu terjadi karena bapak dan ibunya bercerai. Keduanya sama-sama berasal dari latar belakang ekonomi tidak mampu.
“Jadi ya aku harus cari makan sendiri,” ucapnya.
Keras kehidupan terminal
Siti tak lulus SD. Sehingga ia pun tak punya banyak pilihan lain untuk bekerja. Mengamen dari jam delapan pagi sampai tiga sore ia pertahankan sebagai salah satu sumber pemasukan bagi dua buah hati yang ia miliki saat ini. Namun, sepulang bekerja ia kadang mengerjakan pesanan jahitan di rumah kontrakannya yang terletak di Turi, Sleman.
“Kalau cuma ngamen ya nggak cukup. Sehari paling dapat 30 ribu,” ujarnya.
Selain mengamen, Siti juga sesekali membantu mengurus kebersihan di area Terminal Jombor Jogja. Menyapu dan mengepel beberapa ruangan.
Bertahun-tahun hidup di terminal membuatnya kuat. Ia tak memungkiri bahwa ada banyak hal yang awalnya membuat hati tak nyaman.
“Kadang ada yang saru. Instingnya nakal. Maklum kan isinya laki-laki, orang jalanan, jadi omongannya suka ceplas-ceplos,” ujarnya.
Namun, demi bertahan, ia mencoba menyesuaikan diri dengan beragam watak orang yang ia temui di kawasannya mencari nafkah. Siti sudah tahu caranya menjaga diri di lingkungan yang didominasi para lelaki.
Kejujuran adalah kunci bertahan
Baginya, salah satu kunci bertahan di kehidupan terminal adalah berlaku jujur dan tidak banyak tingkah. Ia mencoba untuk bergaul dengan sebanyak mungkin orang untuk mendapat kepercayaan.
“Pokoknya jujur. Aku begini ini nggak ngemis. Nggak maksa kalau ngamen. Kalau ada barang ketinggal di bus pun aku cari pemiliknya,” paparnya.
“Jujur itu jadi tenang hatinya. Bagaimana pun ini tempat kerjaku, kalau aku nggak bener nggak bisa awet di sini,” imbuhnya.
Terkadang, Siti mengaku sedih kalau saat mengamen ada yang merekamnya tanpa izin. Ia sebetulnya tak keberatan secara personal. Namun, ia khawatir jika video itu terunggah ke media sosial.
Hal itu lantaran anak pertamanya kini duduk di bangku SMP. Sebenarnya sang anak tahu bahwa sang ibu berprofesi sebagai pengamen. Namun, anggapan orang di lingkungan anaknya tak bisa Siti kontrol.
“Aku kasihan sama anakku kalau teman-temannya tahu. Pernah ada yang ngerekam terus upload ke YouTube,” curhatnya.
Siti mengaku ingin berhenti mengamen setelah bisa menyekolahkan anaknya sampai lulus SMA. Dulu cukup banyak pengamen di Terminal Jombor. Namun, saat ini, menurut Siti, tinggal ia dan satu temannya yang masih bertahan.
“Lainnya sudah tua, pada berkeluarga terus berhenti,” ucapnya.
Di tengah perbincangan, sebuah bus kembali datang. Siti harus segera menghampiri untuk memainkan lagu dengan ukulele miliknya.
Saat hendak beranjak, saya mengulungkan sedikit uang dengan maksud mengganti sedikit waktunya yang teralihkan dari mengamen. Namun Siti hanya menggeleng dan tersenyum, lalu berujar, “Nggak usah. Tadi Masnya sudah jujur menyampaikan maksud untuk ngobrol. Di terminal, semua harus saling bantu.”
Kalimat yang membuat saya terhenyak dan menatap matanya. Ia membalasnya dengan senyum, mengajak salaman, lalu melenggang pergi.
Penulis : Hammam Izzuddin
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Cerita Sedih dari Orang-orang di Terminal Bungurasih, Gerbang Utamanya Surabaya
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News