Saya sedang menyantap mie ayam bakso yang kuahnya bening itu dengan lahap. Sampai kemudian suara riuh di depan warung itu mengalihkan perhatian saya.
“Bakso sik enak kui, Bakso Jawi! Dagingnya 5 kilo, patine samene,” dari jendela warung tempat saya menyantap mie ayam, saya melihat laki-laki bertubuh gempal yang duduk di atas motor itu mengepalkan tangannya.
Waktu dia menurunkan sedikit maskernya, saya baru ngeh kalau dia Pak Sronto. Dia itu pemilik warung Mie Ayam dan Bakso Pak Sronto yang menunya sedang saya nikmati. Obrolan di depan warung mie ayamnya, di Jalan Letjen Suprapto, Ngampilan tambah ramai, tema obrolan masih soal bakso.
Saya lekas-lekas menghabiskan makanan saya. Dalam hati, gimana ceritanya bakul mie ayam dan bakso malah memuja-muja warung lainnya. Saya ke luar warung, dan menjumpai dua orang yang tengah ngobrol. Satu Pak Sronto, satu lagi namanya mas Andriyanto (45).
“Suwe ra ketok, Mas,” kata Pak Sronto basa-basi ke saya. Pertanyaan yang dia sendiri sebenarnya tahu jawabannya. “Pandemi!,” kata saya. Saya datang ke warungnya, Jumat dua pekan lalu. Awalnya juga cuma muter-muter menghilangkan kejenuhan kerja dari rumah.
Saya menanyakan ke Pak Sronto, soal bakso yang enak menurutnya. Kenapa bukan bakso yang ia buat dan jual di warungnya.
“Lho saya jujur mas, opo anane. Bakso di Jogja yang menurut saya enaaak itu Bakso Jawi dan Bakso Bethesda,” kata Pak Sronto. Ia mengulangi penjelasannya saat saya mencuri dengar tentang takaran resep membuat bakso enak.
“Saya bisa membuat bakso enak seperti mereka. Kemarin saya ulang tahun, saya buat bakso seperti itu, semua pada kaget. Tetangga-tetangga bilang kok nggak dijual di warung. Lah seporsi 20 ribu rupiah, mau beli po?”
Pak Sronto tahu diri, pasarnya bukan orang-orang yang mau membeli bakso yang harga satu porsinya Rp 20 ribu. Bakso yang ia jual menggunakan takaran satu kilogram daging sapi dengan seperempat kilogram tepung. Ia jual dengan harga Rp 12 ribu.
“Bakso enak ki Mas, bentuknya seperti telur, kelihatannya keras, begitu digigit…kressss,” kata Pak Sronto memperagakan gigitan pada bulatan bakso.
Mas Andri mengatakan, saat ia ajak makan istrinya di Bakso Jawi, istrinya bilang kalau bakso itu enak sekali. Begitu bayar istrinya bilang, “Dua porsi sama minum Rp 52 ribu, satu porsi yang isi dua bakso,” kata Andri tergelak. Sebagai penggemar kuliner, ia memuji bakso tersebut memang salah satu yang terenak di Jogja.
Andri merupakan pelanggan lama warung Pak Sronto. Ia ingat, Mie Ayam Pak Sronto berdiri sebelum Malioboro Mall berdiri. Ia ingat harga semangkok mie ayam waktu itu. “Harganya Rp 250, saya ingat,” katanya.
Mal Malioboro yang merupakan mal pertama di Yogya itu berdiri tahun 1993. “Kalau mie saya berdiri sejak 1990,” kata Pak Sronto menegaskan.
Andri mengatakan, mie ayam buatan Pak Sronto menurutnya istimewa karena potongan dagingnya yang nyata adanya. “Maaf ya Mas, di tempat lain itu biasanya ada yang campur balungan, tapi Pak Sronto, real daging. Nggak dicampuri tahu, bener-bener daging. Terus kuahnya itu bening,” kata Andri.
Ada satu hal lagi yang menurut Andri membuat Mie Ayam Pak Sronto tergolong sebagai yang terenak di Jogja. Rasa penasaran itu yang ia tanyakan langsung ke si pembuat. “Menurut saya, keunggulan lainnya minyak crot e beda sama yang lain,” kata Andri. Minyak crot yang dimaksud Andri adalah minyak yang biasanya diberikan juru masak sebelum mie masuk di mangkok. Biasanya minyak tersebut dibuat dari minyak dan campuran bawang putih dan bawang merah.
“Jelas beda, saya ambil minyak yang paling bagus. Kalau orang-orang beli yang 2 literan harga 21 ribu rupiah, saya yang harganya 29 ribu rupiah. Kualitasnya beda,” kata Pak Sronto.
Sedangkan ramuan bawang merah dan bawang putih, Pak Sronto membuat takaran untuk ¼ kilogram bawang putih, ia menggunakan ½ kilogram bawang merah. Mrica yang ia gunakan bukan mrica bubuk, tapi mrica yang ia uleg sehingga rasanya lebih kuat.
Bahan baku mie juga dibuat dengan resep yang dibuat oleh Pak Sronto. Telur yang digunakan untuk membuat mie adalah telur bebek. “Mienya dibuat gepeng dengan tekstur yang lemes. Kuahnya kenapa bening? Karena dibuat dengan dandang yang berbeda untuk membuat mie,” kata Pak Sronto membeberkan rahasia mie buatannya. Di warungnya ia menyediakan berbagai menu mulai Mie Ayam Biasa, Mie Ayam Ceker, Mia Ayam Bakso, Mie Ayam Pangsit, dan Bakso Komplit.
Menurut Sronto, orang-orang Tionghoa mengacungi jempol untuk mie ayam buatannya. Mulai dari tekstur mie hingga kuahnya. “Saya tidak menggunakan minyak babi, ngeneku…kenceng ,” kata Pak Sronto menunjukkan gerakan salat.
Ia menegaskan kalau bahan-bahan yang digunakan memang berkualitas. “Sini mas, tak tunjukkan saos dan kecap yang saya pakai,” kata Pak Sronto mengajak saya mengintip tempatnya masak. Ia menunjukan wadah saos merek Del Monte, saos yang diproduksi perusahaan asal California, Amerika Serikat. Untuk kecap, ia memilih Kecap Bango sebagai andalannya.
Awal mula nama mie ayam Pak Sronto
Sebelum punya usaha mie ayam, Pak Sronto terlebih dulu punya usaha sayuran. Tahun 80-an ia dikenal sebagai juragan sayur yang memasok kebutuhan restoran dan hotel-hotel di Yogyakarta. “Setiap dua hari sekali saya datangkan sayur 4 ton dari Bandung,” katanya.
Tahun 1990, anak sulungnya mulai masuk kuliah. Ia kemudian berpikir untuk menambah pendapatan agar kebutuhan pendidikan 5 anaknya bisa tercukupi.
Mie ayam jadi pilihannya karena takdir dia sebagai orang Wonogiri. “Orang Wonogiri itu kan adate usahanya kalau nggak mie ayam, bakso, ya jamu. Saya pilih mie ayam,” katanya.
Ia banyak bertanya pada salah satu restoran Tionghoa yang jadi langganan membeli sayurnya.
Awal mula berdiri, warungnya belum diberi nama. Lambat laun, orang-orang mulai banyak yang suka dengan mie ayam racikannya. Suatu kali, datanglah rombongan dosen-dosen dari Fakultas Kedokteran UGM.
“Pak, saya dari Fakultas Kedokteran UGM, njenengan saya buatkan spanduk ya. Tapi ditulisi, Warung Mie Ayam Pak Sronto ya, soalnya bapak mirip Sronto,” kata Pak Sronto menirukan dosen FK UGM. Sronto adalah nama tokoh dalam serial Mbangun Desa di TVRI Yogyakarta yang sangat populer di awal tahun 90-an. Dalam serial tersebut, sosok Sronto digambarkan sebagai laki-laki yang nerimo dan pasrah dengan ciri khas kumis tebal.
Kumis tebal itulah yang mengingatkan pelanggannya pada sosok Kang Sronto. Sejak itu, warung mie ayamnya makin dikenal publik di Jogja.
Bukan itu saja, artis-artis seperti Sheila on 7, band nasional seperti RIF juga mampir ke tempatnya.
Ramainya mie ayam, membuat Pak Sronto dan istrinya memutuskan menutup usaha jualan sayur. Awalnya mereka bagi tugas. Pak Sronto pegang usaha mie ayam, sementara istri meneruskan usaha sayur. Namun, atas pertimbangan usaha sayur perputaran uangnya lebih lambat, ia dan istrinya fokus ke mie ayam.
“Berat mas, modal jualan sayur itu besar, harus siap modal 3-4 bulan karena, restoran dan hotel termin bayarnya kan butuh waktu,” kata Pak Sronto.
Ia dan istrinya lantas fokus membangun usaha mie ayamnya. Ia bahkan memiliki cabang Mie Ayam Pak Sronto. Namun, semenjak istrinya meninggal dunia 6 tahun silam, ia mulai fokus di warung utama. Anak-anaknya juga sudah mentas semua dan punya usaha sendiri-sendiri.
Di hari-hari biasa sebelum pandemi, warungnya bisa menjual ratusan porsi. “Sehari rata-rata butuh 40 kilogram tepung, 1 kilogram jadi 12 porsi mangkok mie ayam. Hitung sendiri Mas,” kata Pak Sronto.
Sore itu Pak Sronto dibantu oleh anak ketiganya, Wanto (39). Sebelumnya ia bekerja sebagai di Jakarta sebagai HRD di sebuah perusahaan besar. Beberapa tahun yang lalu ayahnya meminta ia pulang ke Jogja untuk membantunya. “Ya dipikir-pikir, daripada membuat kaya orang lain, kan mending membuat kaya orang tua to Mas,” kata Wanto.
“Dia punya dua outlet toko HP di Gejayan Mas,” kata Pak Sronto bangga. Anak pertamanya jadi pengacara. Dari 5 anak, 3 anak menyelesaikan pendidikan sarjananya. Tiga anak lainnya rata-rata buka usaha, meski itu bukan Mie Ayam. Satu anak ragilnya membuka kafe kopi di samping warung mie ayamnya.
Bangunan warung Mie Ayam Pak Sronto boleh dibilang sangat sederhana. Warung berwarna hijau itu berdiri di bekas rel kereta api yang dulu menghubungkan Jogja-Bantul. “Mau saya bangun, nggak boleh sama pelanggan-pelanggan saya. Begini saja, apa adanya,” kata Pak Sronto. Bahkan saat ia ganti mangkok dengan yang lebih mewah, pelanggangnya protes.
“Lho saya ganti mangkok yang satunya harganya 28 ribu, mereka minta tetap mangkok yang gambar ayam,” katanya geleng-geleng kepala. Ia punya tiga jenis mangkok yang harganya mahal-mahal, ia juga punya dana membangun warungnya biar tampak mewah, tapi baginya konsumen adalah raja. Ia tak mau mengecewakan pelanggannya dengan membangun warungnya lebih bagus yang justru membuat penikmat mie ayamnya sungkan untuk mendekat.
BACA JUGA Jogja itu Terbuat dari Rindu, Angkringan, dan Mie Ayam dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.