Stasiun Tugu Jogja menjadi saksi kisah warga yang terpinggirkan. Keramaian dari perayaan ulang tahun Kota Jogja ke-267 melecut mereka untuk bekerja keras.
***
Kota Jogja penuh dengan semarak pesta pada perayaan ulang tahun yang ke-267. Sabtu (7/10/2023) pagi, ketika berkendara dari arah Jalan Sudirman ke selatan menuju Jalan Margo Utomo, panggung-panggung sudah tertata perhelatan akbar malam nanti.
Tugu Pal Putih dikelilingi lampu sorot dari empat arah mata angin. Keramaian terlihat di segala penjuru. Hiruk pikuk itu terasa sampai ke selatan ketika saya sampai di parkiran Stasiun Tugu. Perayaan ulang tahun ini tampak bukan hanya menjadi magnet bagi warga Jogja, namun juga wisatawan.
Pintu masuk Stasiun Tugu padat oleh mereka yang datang dan pergi. Namun, itu menjadi berkah tersendiri bagi sosok yang setia berdiri di tepi gerbang. Ikhwan Setio (64) namanya, seorang penjual air mineral.
Lelaki asli Kauman ini sudah hampir empat tahun menjadi pedagang asongan. Pekerjaan ini ia lakoni setelah mengalami PHK pada awal pandemi. Dulu ia bekerja sebagai petugas kebersihan lewat perusahaan outsourcing di sebuah rumah sakit besar Jogja.
“Dulu kena PHK. Nggak dapat pesangon. Kudu langsung kerja lagi,” keluhnya.
Ikhwan menggambarkan semangat perayaan ulang tahun Jogja yang mengangkat tema “Tatag, Tutug, Teteg”. Tatag bermakna membangun mentalitas seseorang yang bagus dan menjadi bekal untuk menjalani tantangan. Teteg berarti membentuk ketahanan dan konsisten, ketika mendapatkan respons, kritik maupun halangan dari luar. Tutug berarti tuntas dalam menjalankan tanggung jawab.
Di usianya yang sudah tidak lagi muda, ia tetap tatag menjalani kehidupan yang berat. Ia masih ingin bekerja untuk menghidupi diri dan keluarga meski anak-anaknya pun sudah dewasa.
Lelaki ini punya tiga anak dan enam cucu. Anaknya yang merantau ke luar kota, sesekali memberi bantuan untuk hidup Ikhwan dan istri. Namun, lelaki ini memilih tidak berpangku tangan.
“Harus bergerak saya ini. Kalau nggak stres di rumah,” kelakarnya.
Stasiun Tugu: saksi masyarakat yang terpinggirkan di ulang tahun Jogja
Dulu, Ikhwan sempat mendapat tawaran dari kerabatnya untuk ikut berjualan di sebuah lapak lantai atas Teras Malioboro 1. Tawaran yang menggiurkan. Namun, ia mendengar kabar kalau di lantai atas kondisinya begitu sepi.
“Di sana itu yang hidup kan cuma lantai dasar. Akhirnya saya milih ngasong saja,” katanya.
Cuaca panas Jogja menjadi berkah tersendiri. Sebab, banyak orang yang akhirnya membutuhkan air untuk pelepas dahaga yang mudah muncul di kala terik. Terlihat satu dua wisatawan yang hendak masuk, mampir untuk membeli dagangan Ikhwan.
“Monggo silakan, Rp5 ribu saja,” kata Ikhwan menyambut mereka.
Ikhwan melihat, Jogja saat ini sudah berbeda dengan yang ia kenal saat muda. Pembangunan semakin masif. Sementara masyarakat kecil sepertinya tidak mendapat banyak ruang untuk Sejahtera.
“Usia Jogja sudah tidak lagi muda. Lebih dari 200 tahun ya? Harapannya ya pemimpinnya lebih melindungi dan mengayomi masyarakat kecil,” harapnya.
Selanjutnya, Jogja bagi Ikhwan memang semakin elok dan indah pembangunannya. Namun, ia hanya bisa menikmatinya lewat pandangan mata. Secara dampak, ia mengaku tak merasakan manfaat dari perubahan-perubahan di sekitar kawasan Sumbu Filosofi yang belakangan banyak direvitalisasi.
“Tidak menyentuh masyarakat. Malah menggusur,” ujarnya sembari melayani pembeli yang baru keluar dari Stasiun Tugu.
Ikhwan mengaku punya kerabat yang belum lama ini menjadi korban penggusuran di daerah Kebondalem, Jogoyudan, Kota Yogyakarta. Kebondalem adalah satu lokasi strategis di dekat Tugu Pal Putih yang mengalami penataan.
Baca halaman selanjutnya…
Mereka yang kucing-kucingan dengan petugas