Mereka yang kucing-kucingan dengan petugas
Para pedagang asongan tak bisa tenang berjualan. Sebab, tertera jelas papan informasi larangan berjualan di sepanjang trotoar depan Stasiun Tugu.
Saat berbincang, Ikhwan izin melenggang pergi untuk membantu penjual sate asongan yang hendak pulang setelah berjualan sejak pagi. Beruntung, menurut Ikhwan, petugas ketertiban dari Stasiun Tugu tidak keras dalam menertibkan.
“Ya mereka persuasifnya bagus. Kalau mereka mau menata bicara baik-baik, lalu kami pergi dulu,” tuturnya.
Hal itu juga dibenarkan oleh seorang tukang becak bernama Tumijo (61). Para tukang becak cenderung aman dari penataan. Asal parkirnya tertib dan tidak mengganggu jalan.
“Kalau asongan ini memang biasanya disuruh pergi kalau ada petugas atau Satpol PP,” katanya.
Sebagai tukang becak yang sudah tergerus zaman dan kemajuan teknologi, Tumijo mengaku hanya pasrah dan tidak berharap banyak. Sehari, lelaki asal Bantul ini umumnya hanya mendapat satu atau dua penumpang saja. Meski mangkal di titik ramai wisatawan.
“Satu ya syukur, walaupun kadang cuma cukup untuk nutup bensin,” curhatnya.
Tumijo sudah sejak tahun 1980-an menjadi tukang becak. Dulu sering mangkal di pintu utara Stasiun Tugu yang mulanya jadi gerbang utama sebelum berpindah ke selatan.
Selanjutnya ia tiba-tiba tertawa mengenang sebuah pengalaman pahit. Pada suatu malam ia pernah kehilangan becaknya. Saat itu ia sedang mengadang penumpang di dekat pintu masuk Stasiun Tugu. Saat kembali ke tempatnya mangkal, tahu-tahu becaknya sudah tidak ada.
“Padahal dulu becak nyewa. Saya jual kambing untuk ganti rugi,” tuturnya.
Kini, di tengah ketidakpastian pendapatan dari menarik becak, Tumijo sesekali bekerja sebagai buruh bangunan. Apa saja ia lakukan demi mendapat nafkah. Tumijo menggambarkan tatag, tutug, teteg, dalam menjalani hidup.
Kisah terpinggirkan lain di dekat pusat perayaan ulang tahun Jogja
Hiruk pikuk perayaan ulang tahun Jogja, tidak selalu membawa bahagia kepada warganya. Tak jauh dari pusat perayaan di Tugu Pal Putih, deretan lapak penjual gudeg di Kebondalem tampak sudah rata dengan tanah.
Beberapa waktu lalu, saya sempat mewawancarai Sudiyem (60) dan Dwi (40). Ibu dan anak yang mengelola Gudeg Yu Yem di Kebondalem. Saat kami berbincang, Selasa (19/9/2023) lalu, lapak mereka masih berdiri meski sudah tidak teraliri listrik.
Sudiyem merupakan warga asli Jogoyudan, Jogja. Ia berjualan di tempat itu sejak tahun 80-an. Meneruskan dagangan mertuanya.
Saat itu ia mengaku hanya bisa pasrah. Pada April lalu ia mendapat kabar bahwa lapaknya akan mengalami pembongkaran. Sudah harus kosong maksimal pada Desember 2023 mendatang.
Rencananya, mereka akan pindah masuk sekitar 100 meter ke dalam gang. Namun, belum jelas nanti gambaran lokasi ini nantinya akan menjadi seperti apa.
“Katanya mau untuk parkiran wisata atau untuk taman. Masih simpang siur,” kata Sudiyem tentang rencana pembangunan di Kebondalem.
Namun, saat saya melewati jalan itu tepat di hari ulang tahun Jogja, tampak lapak Sudiyem sudah tidak ada lagi. Ia sudah tak bisa lagi menanti limpahan rezeki dari wisatawan yang bakal memadati Tugu Pal Putih pada perayaan malam nanti.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Nestapa Tukang Becak di Sumbu Filosofi Jogja, Bertahan Hidup Tanpa Penumpang Berhari-hari
Cek berita dan artikel lainnya di Google News