Mitosnya sebelum sebuah peti mati laku terjual, penjualnya akan mendapatkan tanda terlebih dulu. Benarkah?
***
Di sebuah kampung, tepatnya Dusun Kemukus, Desa Tanjung Harjo, Kapanewon Nanggulan, Kulon Progo seorang buruh bangunan memilih banting setir membuka usaha jualan peti mati. Namanya Tumiyo (49), sudah dua setengah tahun ini ia banting setir buka usaha yang tak semua orang mau melakukannya.
Penjual peti mati yang ingin belajar digital marketing
Selasa 8 Agustus 2023 malam saya bersama mahasiswa Rekognisi Pembelajaran Lampau Jurusan Ilmu Komunikasi UNY berkunjung ke rumahnya. Malam itu sebenarnya rombongan mahasiswa itu hanya ingin berkenalan dan penasaran, mengapa seorang penjual peti mati ingin belajar digital marketing.
“Sekarang kan jamannya digital, orang bisa jualan dari mana saja. Saya ingin orang lebih tahu tentang usaha saya. Meski harus belajar lagi, nggak papa, saya mau,” katanya meyakinkan kami.
Setelah kami ngobrol banyak, ada salah seorang kawan yang menanyakan hal yang sebenarnya kami semua penasaran. Benarkah ada tanda-tanda ketika sebuah peti mati sebelum laku terjual?
“Ada…selama ini pasti ada tanda-tandanya,” kata Tumiyo tertawa. Pertanyaan yang oleh sebagian dari kami mungkin sesali karena bukan waktu yang tepat. Pertama, kami baru bertemu sekali dengan Pak Tumiyo. Pertemuan malam itu sendiri lebih direncanakan sebagai kulonuwun dan perkenalan.
Kedua, situasinya saat itu malam hari dan sebagian besar dari kami harus menempuh perjalanan sekitar 45 menit dari Kota Jogja. Jadi terbayang imajinasi kami pasti akan kemana-mana setelah mendengar cerita dari Tumiyo yang di luar nalar.
Sebelum Tumiyo menjelaskan tentang tanda-tanda gaib atau di luar nalar, sebaiknya saya perlu cerita dulu tentang sosoknya.
Buruh bangunan yang banting setir jadi penjual peti mati
Tumiyo sudah puluhan tahun bekerja sebagai kuli bangunan. Hidup seorang anak dan istrinya yang kini sudah almarhum bergantung dari keuletannya mengolah kayu, batu, semen, dan pasir. Pekerjaan yang membuatnya kadang harus berhari-hari tidak bersama keluarga.
Sampai kemudian ia mendapat pekerjaan untuk merenovasi rumah seorang pengusaha peti mati di Kota Yogyakarta. Pengusaha ini tergolong penjual peti mati besar dengan pasar kalangan menengah atas.
Saat bekerja merenovasi rumah itu, pandemi menghantam. Tentu saja, salah satu usaha yang ‘diuntungkan’ saat itu adalah jualan peti mati. Bahkan ada situasi, orang-orang kesulitan untuk mencari peti mati karena banyaknya permintaan.
Pemilik rumah memberikan tawaran untuk belajar membuat peti mati kepada tiga tukang di rumahnya. Namun, hanya Tumiyo yang mau mengambil tawaran pemilik rumah. Singkat cerita, pemilik rumah kemudian memberikan ilmu membuat peti mati. Bukan hanya memberi ilmu, Tumiyo juga mendapat bantuan bahan dan modal.
“Saat itu saya mikir, saya sudah capek jadi buruh bangunan, kepanasan, kehujanan. Sementara, meski usaha jualan peti mati itu nggak biasa, tapi bisa dikerjakan di rumah. Dan saya lihat saingannya masih bisa dihitung,” kata Tumiyo.
Pengusaha itu memberikan keterampilan pembuatan peti mati ke Tumiyo bukan agar laki-laki tersebut jadi pegawainya. Namun, agar Tumiyo membuka usaha pembuatan peti mati. Pengusaha itu bahkan di awal menyediakan dan mengantar mengantar bahan hingga rumah Tumiyo. Ia yang sama sekali nol pengetahuan tentang peti mati ‘dipaksa’ belajar untuk menjadi seorang pembuat dan penjual peti mati.
“Saya itu dalam posisi belum paham betul pekerjaan pembuatan peti mati. Saya bahkan nggak tahu belanja bahan-bahannya seperti kain, busa, paku kecil itu di mana. Yang penting saya punya semangat,” tegasnya.
Seiring waktu, pengusaha itu makin totalitas untuk memberi tahu semua A-Z bisnis peti mati. Bahkan, Tumiyo diberitahu tempat-tempat biasa pengusaha itu belanja bahan-bahan yang dibutuhkan.
Usaha yang jelas ada pasarnya
Saat pandemi sedang puncak-puncaknya dan kebutuhan peti mati sangat banyak, Tumiyo tidak kesulitan untuk memasarkannya. Ia menjadi mitra dari pengusaha peti mati yang mengajarinya. “Saya kemudian juga belajar untuk mencari pasar sendiri. Selain jadi langganan RSUD Wates saya juga jadi mitra tempat-tempat usaha jualan peti mati di daerah Kota Yogyakarta dan Bantul.
Bagi Tumiyo, meski nggak biasa, menurutnya usaha peti mati itu pasarnya jelas. Selama ada orang meninggal pasti ada orang yang membutuhkan. Namun, ia tidak menutup mata ada orang-orang yang menganggap usaha jualan peti mati seolah-olah berdoa agar orang mati.
“Padahal tidak seperti itu, orang kan pasti akan mati, pasti ada orang yang akan membutuhkan,” kata Tumiyo.
Tumiyo juga bersyukur, usahanya itu bisa bermanfaat bagi tetangga-tetangganya. Peti mati yang ia buat, bukan sekadar kotak kayu, tapi juga komplit dengan hiasannya. Karenanya, ia dibantu tetangga-tetangganya, terutama ibu-ibu.
“Kalau urusan menghias, ibu-ibu kan teliti. Awalnya mereka juga takut, tapi kan ada duitnya, bisa untuk penghasilan tambahan keluarga,” kata Tumiyo tertawa. Dalam sebulan, rata-rata Tumiyo bisa menjual sekitar 25 peti mati ke mitra dan rumah sakit.
Baca halaman selanjutnya…
Cerita-cerita di luar nalar dari Tumiyo, sang penjual peti mati