Mbah Tukiyo setiap hari keliling dari kampung ke kampung dengan sepeda tuanya untuk menjajakan makanan kecil. Dalam kamus hidupnya, tidak ada cerita sedih, yang ada adalah bagaimana selalu berpikir positif.
***
Kakek renta yang tengah berhenti di pinggir Jalan Godean – Sidoarum membuat saya menghentikan motor pada Selasa pagi, (6/2/2024). Ia tengah berbincang dengan seorang ibu yang kelihatannya sedang membeli dagangannya.
Benar juga, di dalam kontainer plastik yang ia letakan di boncengan sepeda, ada beraneka makanan kecil dan sayur matang, . Sedangkan di dua keranjang samping kini kiri sepeda onthel saya lihat ada buah pepaya dan pisang.
Jualan keliling dengan sepeda onthel sejak 25 tahun lalu
Di kontainer plastik itu saya melihat ada kue apem, kacang rebus, roti bolu, serabi, gatot, ketan bubuk, martabak, sus dan lainnya. Ada juga aneka sayur matang.
Saya lantas membeli kue bolu, kacang rebus, dan sayur bunga pepaya. Cekatan ia mengambil plastik dan memberikannya ke saya. Karena hanya saya yang tertinggal, saya leluasa untuk ngobrol dengannya.
“Tukiyo..” katanya saat saya tanya namanya. Deru kendaraan yang melintas membuat saya kurang mendengar dengan jelas namanya.
“Mukiyo…?” tanya saya memastikan
“Tukiyo…” katanya lantang.
Mbah Tukiyo mengaku berusia 70 tahun. Ia punya satu istri, dua anak, dan dua cucu. “Anak yang pertama cewek, sudah menikah, suaminya satpam, sudah beri dua cucu. Anak kedua sedang magang jadi pengacara di kantor hukum,” katanya ceria.
Mbah Tukiyo sudah 25 tahun jualan makanan kecil dengan sepeda. Ia bahkan masih ingat dagangannya saat awal-awal jualan. “Pertama itu jualan kerupuk, getuk, tiwul, ketan,” kata Mbah Tukiyo.
Mbah Tukiyo, awalnya kerja serabutan dan jadi tukang bangunan
Dulu, saat masih muda atau lulus SMK ia bekerja sebagai kuli bangunan. Ia tidak mau merantau, memiliki bekerja sebagai buruh bangunan.
Bukan hanya buruh bangunan, pekerjaan apapun akan ia kerjakan selama itu halal. Ia sering diminta warga perumahan untuk mengerjakan sesuatu.
“Wah, Pak Tukiyo ini rajin, mau kerja apa saja. Anaknya itu teman anak saya SD, ya Pak,” kata Mbah Supilah. Ia pemilik toko bangunan tempat Mbah Tukiyo berhenti.
Dari obrolan mereka berdua, saya tahu, anak sulung Mbah Tukiyo adalah teman SD anak Mbah Sutinah. Dua anak mereka dulu sama–sama hobi nari. Dan kini, dua teman SD itu juga memberi masing-masing dua cucu pada Mbah Tukiyo dan Mbah Sutinah.
“Jadi umur putri sulung Mbah Tukiyo berapa?,” tanya saya.
“Tiga puluh lima,” kata Mbah Tukiyo mantap. Namun, hal itu langsung dikoreksi oleh Mbah Supilah.
“Yo ora mungkin, kan saumuran karo anakku. Belum sampai 35, Mas, paling 32,” kata Mbah Sutinah. Mbah Tukiyo lantas tertawa menyerah. Ia lupa usia persis anak sulungnya. Kalau anak ragilnya yang magang jadi pengacara, seingatnya usianya 28 tahun.
Berbagi tugas dengan istri tercinta
Saya bertanya, mengapa tidak menggunakan sepeda motor untuk membawa dagangannya. “Kalau pakai sepeda motor kecepetan (terlalu cepat) jadi kalau ada orang beli malah nggak kedengaran,” katanya.
Menurut Mbah Tukiyo, jualan pakai sepeda onthel baginya justru menyenangkan. Ia bisa lebih santai menyusuri jalan.
Area jualannya sebenarnya tidak terlalu luas. Ia menyebut Perumahan Sidoarum dan sekitaran Ambarketawang jadi wilayah jelajahnya.
Mbah Tukiyo juga sudah punya pelanggan loyal yang akan membeli dagangannya. Memang tidak selalu habis, tapi itu sudah Mbah Tukiyo perkirakan. Ia sudah memperhitungkan, mana dagangan yang laris dan akan dibeli pelanggannya.
Ia dan istrinya berbagi tugas. Istrinya akan kulakan bahan jualan di Pasar Gamping sekitar pukul 5 pagi. Sekitar pukul 08.30 barulah Mbah Tukiyo jualan keliling dengan sepeda onthelnya. Ia menggunakan telolet manual untuk memberi tanda pada pelanggannya kalau ia sudah datang.
Sekitar jam 12, ia akan pulang ke rumahnya.
“Istirahat, Mbah?,” tanya saya.
“Ora, ngurus pitik,” katanya tertawa.
Rupanya ia punya peternakan kecil-kecilan. Ayam yang ia pelihara juga bukan ayam sayur, tapi ayam bangkok yang harga jualnya di atas rata-rata ayam kampung.
Mbah Tukiyo yang selalu berpikir positif
Saat Mbah Sutinah pergi, saya kembali ngobrol dengan Mbah Tukiyo. Saya bertanya, ada nggak pengalaman sedih selama lebih dari 25 tahun jualan keliling. Pikir saya, tentu adalah hari-hari dimana dagangan tidak laku atau kehujanan. Mbah Tukiyo sempat terdiam sejenak, seolah-olah sambil berpikir.
“Wah, nggak ada cerita sedih Mas, pengalaman sedih itu ora tak pikir sedih, saya harus berpikir positif !” katanya lantas tertawa. Karakter Mbah Tukiyo ini vibes-nya memang positif. Ia selalu antusias saat bercerita.
Soal berpikir positif jadi salah satu prinsip hidup Mbah Tukiyo. Maka ketika harus kerja serabutan, ia tidak mempedulikan suara-suara orang yang menghinanya. Ia selalu berpikir positif.
Bahkan kerja serabutan seperti yang pernah ia alami, ia pandang dari sisi positifnya. Ketika orang-orang memintanya untuk membersihkan rumah, atau macem-macem, ia maknai berarti masih banyak orang-orang yang percaya padanya.
Dari wajahnya kelihatan sekali kalau Mbah Tukiyo ini senang bercanda. Tipe orang-orang yang segala masalah nggak dipikir berat. Tipe orang yang jarang sakit.
“Kalau sakit pernah, masak nggak pernah sakit,” katanya.
“Tapi ya paling masuk angin,” kata warga Dusun Ngentak, Kelurahan Sidoarum, Kecamatan Godean Kabupaten Sleman ini tertawa terbahak.
Bersyukur dan berpikir positif
Mbah Tukiyo juga bersyukur kedua anaknya tidak mempersoalkan pekerjaannya yang serabutan. Bahkan demi pendidikan anak-anaknya, Mbah Tukiyo akan melakukan kerja apapun asal itu halal.
“Anak saya kalau mau sekolah pasti saya dukung. Saya senang anak saya ada yang sampai perguruan tinggi. Dia mau jadi pengacara, saya dukung semampunya,” katanya antusias.
Masa-masa anaknya sekolah adalah masa berat karena ia dan istrinya ingin anaknya punya pendidikan yang cukup. ”Saya tidak pernah menampik pekerjaan apapun asal bisa saya kerjakan dan halal demi mereka sekolah,” kata Tukiyo.
Mengakhiri obrolan dengan Mbah Tukiyo, ia berpesan agar hidup itu selain bersyukur juga tetap harus berpikir positif. Memandang sesuatu dengan pikiran yang positif tidak akan menjadi beban pikiran yang justru bisa mendatangkan penyakit.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Alasan Mbah Setu, Nenek dari Sedayu yang Suka Memberi Bonus Buat yang Membeli Pecelnya
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News