Pegiat seni dari kelompok kebudayaan Wayang Limbah Ki Samidjan, Kus Sri Antoro, ingin melanjutkan visi ayahnya, yakni mengangkat isu soal kemanusiaan lewat seni. Meskipun tak pernah belajar mendalang secara khusus, tapi pemuda asal Gunungkidul itu punya keinginan kuat untuk menyuarakan isu tersebut dari kelompok minoritas.
***
Di tengah suara deburan ombak Pantai Parangkusumo, saya mendengarkan Kus Sri Antoro mendongeng. Saya bertemu Kus, sapaan akrabnya, di acara Pentas Dongeng Wayang Bocah Difabel di Gardu Action, Parangtritis, Minggu (29/12/2024).
Kus sudah tiba sejak pukul 13.00 WIB, tiga jam sebelum pertunjukkannya dimulai. Dia menyiapkan alat peraga, pengeras suara, serta kamera handphone untuk merekam pertunjukkannya.
Itu adalah pengalaman pertama Kus mendongeng di hadapan anak-anak binaan Gardu Action dengan mengangkat isu disabilitas. Gardu Action adalah komunitas anak muda yang peduli terhadap isu lingkungan di sekitar Pantai Parangkusumo dan Parangtritis, Jogja.
Mojok pernah menulis kegiatan tersebut lewat artikel Di Balik Kisah Yani, Difabel Buta yang Bermain Petak Umpet Bersama Temannya yang Tuli dan Tidak Punya Kaki.
Kus sendiri menggeluti dunia seni sejak kecil, tapi dia mengaku baru-baru ini belajar mendongeng. Kus yang sering ikut ayahnya mendalang, ingin mengangkat isu disabilitas. Inspirasinya berangkat dari seorang tetangga yang merupakan difabel tunanetra.
Kus Sri Antoro mengikuti jejak pendiri Wayang Limbah Ki Samidjan
Kus Sri Antoro mengaku bukan seorang seniman, tapi dia menyukai seni rupa maupun seni pertunjukan. Kecintaannya terhadap seni diturunkan dari ayahnya. Sejak kecil, dia melihat ayahnya, Samidjan, berkutat dengan wayang.
“Saya lulus Jurusan Pertanian tapi pernah mendalang 3 sampai 4 kali. Saya ikut bapak dari sekitar tahun 2000-an,” ucap pemuda asal Gunungkidul itu.
“Kalau kegiatan saya di Jogja, bantu bapak sebetulnya. Jadi bapak itu seniman Wayang Limbah Ki Samidjan,” ucapnya.
Kelompok itu didirikan oleh Samidjan tahun 2002. Tujuannya sebagai wadah sosial budaya dan ekonomi kreatif bagi pegiat seni. Lebih dari itu, mereka punya misi untuk mengangkat isu soal kemanusiaan, keberadaan, keadilan sosio-ekologis, kesatuan berbangsa-negara, dan kesejahteraan umum.
Dalam falsafah Jawa, mereka ingin memayu hayuning bawana, artinya masyarakat dapat bertindak dan hidup berdampingan dengan alam. Oleh karena itu, wayang yang dihasilkan terbuat dari plastik atau barang bekas lainnya.
Guna mewujudukan falsafah tersebut, Wayang Limbah Ki Samidjan tak hanya memproduksi wayang tapi juga melakukan pertunjukkan atau pakeliran, membuat komik, animasi, tuturan, termasuk bahasa isyarat, dan sebagainya. Sementara Kus, menjadi pegiat seni di dalamnya.
Mengangkat isu difabel dengan berseni
Melalui Wayang Limbah Ki Samidjan, Kus belajar membuat wayang klasik dan kontemporer dari bahan limbah plastik atau barang bekas lainnya. Pemanfaatan limbah tersebut sesuai dengan misi mereka, yakni melestarikan lingkungan hidup melalui seni pewayangan.
Kus sendiri lebih mendalami wayang kontemporer. Sejak kecil dia juga sudah jago menggambar. Oleh karena itu, wayang dia hasilkan tidak terlalu klasik. Contohnya, saat Kus mencoba mendongeng di Sanggar Belajar Gardu Action. Dia lebih banyak menggunakan alat peraga yang dia gambar sendiri.
“Karena menurut saya, wayang kontemporer lebih bisa memberikan ruang menjawab persoalan sekarang dibandingkan dengan wayang klasik,” ujarnya.
Dongeng Kus berjudul “Jelungan” adalah salah satu karyanya untuk mengangkat isu sosial, yakni hak penyandang disabilitas. Dia berharap cerita tersebut dapat menumbuhkan rasa empati kepada masyarakat, sekaligus negara yang memberikan pelayanan publik, serta pelaku bisnis, agar tercipta ekosistem yang inklusif.
“Kami membuat wayang untuk mempromosikan inklusi sosial, dan juga mendorong teman-teman disabilitas, utamanya yang usia anak-anak, remaja, itu bisa muncul kepercayaan diri,” ucapnya.
Menurut Kus, masih banyak pelayanan publik yang menurutnya belum ramah difabel. Misalnya saja lapangan kerja yang minim, fasilitas umum yang kurang aksesibilitas, dan perlakuan orang lain terhadap mereka.
“Mereka belum memperoleh kesempatan yang sama dengan warga negara yang non-disabilitas,” ujar Kus.
Kus Sri Antoro terinspirasi dari difabel tunanetra
Kus paham, untuk mengangkat isu disabilitas dia tidak bisa berjibaku sendirian. Sebelumnya dia sudah melakukan riset dan menjumpai banyak masalah. Oleh karena itu, Wayang Limbah Ki Samidjan bekerja sama dengan komunitas Jogja Disability Art.
Inspirasi Kus untuk mengangkat isu disabilitas berangkat dari tetangganya sendiri yang seorang tunanetra. Tetangga itu bernama Nanang Haryanto yang kini merupakan pelopor seni raba untuk penyintas tunanetra.
Di mana, umumnya, sebuah karya seni rupa yang terpajang tidak boleh disentuh. Padahal, kata Kus, keindahan karya seni tidak akan luntur meskipun disentuh atau diraba.
“Nah, karena dia kemudian tidak ada pengalaman visual, maka dia melukis itu mengandalkan pendengaran, mengandalkan penciuman, perabaan, dan pengecapan,” ucap pemuda asal Gunungkidul itu.
Mulanya, Nanang adalah seorang tukang pijat keliling. Bencana Covid-19 yang melanda di tahun 2022 membuat penghasilannya berkurang. Pandemi itu mengharuskan masyarakat untuk jaga jarak.
“Sehingga kegiatan seni rupa menjadi alternatif penghidupan dan juga terapi, dalam arti melepaskan kelelahan jiwa karena tekanan hidup,” ujarnya.
Kisah Nanang itu yang mendorong Kus mencari cara untuk teman-teman tunanetra menerapkan seni. Salah satunya dengan mendidik mereka memilih warna sendiri tanpa bantuan orang lain.
Suarakan isu transgender lewat wayang limbah
Selain mengangkat isu disabilitas, Kus bersama komunitasnya juga pernah menyuarakan isu transgender. Tahun 2020 lalu, dia dan ayahnya pernah memainkan wayang dalam pentas sederhana di Pondok Pesantren Waria, Al Fatah Kotagede, Yogyakarta.
Kus dan Samidjan menampilkan kisah transgender bernama Bambang Priawan. Dalam pertunjukkan tersebut, Bambang tidak memiliki KTP karena kesulitan membuatnya. Masalah tidak punya KTP itu bisa berbuntut panjang.
“Mereka tidak bisa melamar kerja, tidak bisa buka rekening, tidak punya BPJS, tidak bisa vaksinasi, tidak bisa menyuarakan hak politiknya, bahkan memilih saja tidak bisa, apalagi dipilih,” ucapnya.
Hingga kini, sosok Samidjan adalah inspirasi Kus untuk menghasilkan karya. Ayahnya bahkan pernah mendapat penghargaan Kalpataru kategori perintis lingkungan dari pemerintah Kota Yogyakarta tahun 2018.
“Jadi saya nggak ada belajar mendalang, nggak pernah. Tapi karena ada komitmen, ingin menyuarakan isu ini, kemudian ada waktu, ada kesempatan, ada fasilitas, ya dimulai dari diri kita,” ucap Kus.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Memahami Tugas Kurator Seni yang Sekonyong-konyong Bisa “Memberedel” Pameran atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan