Menjelang Zuhur, suasana di Cupable Coffee tampak riuh. Bukan hanya karena pengunjung yang memang datang untuk ngopi, tapi juga sekelompok mahasiswa dari beberapa kampus Jogja yang tengah melakukan studi. Kafe difabel di Jalan Kaliurang, Sleman, itu memang kerap jadi jujukan studi bagi mahasiswa terkait isu-isu difabel. Karena memberdayakan barista difabel dan teman-teman difabel lain sebagai karyawan.
“Sejak berdiri 2017, Cupable Coffee niatnya memang agar jadi media yang efektif untuk edukasi isu-isu difabel,” terang Alfita Yossi (34) dari bagian Infokom Pusat Rehabilitasi YAKKUM saat menemani saya ngopi di sana, selepas pertemuan dengan teman-teman Formasi Disabilitas Indonesia, Rabu (20/11/2024).
“Dengan orang ke sini, melihat ada teman difabel bisa kerja, mandiri, itu akan membantu mengikis stereotip pada difabel yang sering kali dianggap tidak bisa apa-apa,” tambahnya.
Mereka berhak berdaya
Cupable Coffee merupakan kafe difabel yang berkolaborasi dengan PRYAKKUM. Lokasinya pun berada persis di sebelah pusat rehabilitasi di Jalan Kaliurang, Sleman, tersebut.
Sekadar diketahui, berdiri sejak 1982 atas inisiasi Colin McLennan dari Selandia Baru, PRYAKKUM memiliki program-program yang terus berkembang seiring zaman.
“Pada tahun-tahun 1980-1990-an, PRYAKKUM bikin sekolah buat difabel dengan menjaring anak-anak difabel di jalanan yang nggak punya akses sekolah karena miskin. Dibawa ke YAKKUM, disekolahin kayak Paket C di sini, gratis,” jelas Yossi.
Setelahnya, para difabel juga mendapat rehabilitasi, baik secara fisik maupun psikis. Agar mereka bisa tetap memanfaatkan segala keterbatasan kondisinya untuk mobilitas sehari-hari.
Setelah secara fisik dan psikis tertangani, PRYAKKUM lantas memberi mereka vocational training sesuai minat masing-masing. Ada barista, membatik, memasak, hingga elektro.
“Sempat ada evaluasi. Karena setelah teman-teman difabel dibekali keterampilan, ternyata penerimaan keluarga dan lingkungan sekitar masih kurang. Masih dianggap tidak mampu. Sehingga, misalnya, daftar kerja bengkel, tidak diterima karena dianggap nggak bisa duluan,” jelas Yossi.
Alhasil, pada tahun 2007, selain masih mengimplementasikan program yang sudah ada, Pusat Rehabilitasi YAKKUM juga mulai banyak terjun ke program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM). Program RBM ini lebih banyak dilakukan langsung di masyarakat sebagai bentuk edukasi terhadap masyarakat tentang difabel yang mandiri dan berdaya.
Sebuah kafe difabel di Sleman
“Yang paling laris memang pelatihan barista. Kalau kami buka pelatihan, karena gratis, yang daftar banyak banget. Jadi harus melalui proses seleksi,” ungkap Yossi.
Hingga 2024 ini, sudah tidak terhitung berapa kali pelatihan barista yang pernah PRYAKKUM buat. Yang jelas, kata Yossi, pelatihan rutin digelar dua kali dalam setahun.
Dalam pelatihan tersebut, teman-teman difabel tidak hanya diajari bagaimana cara mengolah biji kopi menjadi secangkir kopi yang nikmat diminum. Tapi juga belajar hal-hal detil lain, seperti mengenal jenis-jenis kopi hingga belajar bisnisnya seperti menakar harga pasar.
Beberapa alumni pelatihan tersebut akhirnya bekerja di dunia kopi. Ada yang menjadi barista di kafe-kafe, ada pula yang mencoba peruntungan dengan membuka kafe sendiri.
“2017 PRYAKKUM bersama seorang pengusaha, namanya Pak Banu, membuat kafe difabel bernama Cupable Coffee ini. Akhirnya peserta pelatihan ada yang langsung diakomodasi kerja di sini,” beber Yossi.
Dia lalu menunjuk seorang barista yang sedari kami ngopi di kafe difabel Sleman itu tampak sibuk melayani pesanana yang membludak. Sedari awal, di sela-sela obrolan saya dan Yossi, mata saya memang sudah tercuri oleh pria tersebut. Pria penyandang difabel fisik: tidak memiliki kedua tangan, tapi cekatan dan lincah.
Nyaris hilang harapan di usia 17 tahun
Namanya Eko Sugeng (38). Saya akhirnya bisa berbincang dengannya di jam satu siang WIB, saat para karyawan di kafe difabel Sleman itu istirahat. Setelah Yossi meninggalkan saya karena harus mengurus pekerjaan lain, saya lalu terhubung dengan Eko, pria asal Pekalongan, Jawa Tengah.
Eko lahir dengan kondisi fisik utuh. Dia juga tumbuh sebagai remaja yang terampil.
Pada suatu hari di tahun 2002, Eko remaja sedang mencoba membetulkan antena di rumah saudaranya. Musibah tidak ada yang mengira. Saat masih membetulkan, Eko tertimpa kabel dengan tegangan tinggi.
Eko mengalami luka bakar berat. Terutama pada kedua tangannya. Setelah berminggu-minggu dalam perawatan, dokter yang menanganinya menyarankan agar diambil tindakan amputasi pada kedua tangan Eko, untuk menghindari efek-efek jangka panjang yang lebih serius dan membahayakan.
Seperti ada yang menghantam dadanya dengan begitu keras. Menyakitkan. Eko awalnya tentu saja tidak bisa menerima. Tapi itulah kondisi yang harus dia hadapi.
“Banyak ketakutan waktu itu. Takut tidak bisa apa-apa lagi. Takut menyusahkan orang tua. Ya bisa dibilang nyaris kehilangan harapan hidup. Rasanya putus asa,” ungkap Eko dengan sesekali mengelap keringat di dahinya menggunakan lengan atasnya.
Mencari kekuatan hidup di Jogja
Setelah kehilangan dua tangan, hari-hari Eko terasa sangat berat. Dia seperti tak bekutik di hadapan nasib. Sementara di satu sisi dia menyadari satu hal, bahwa kedua orang tuanya samkin menua. Tidak mungkin bisa sepanjang hidup merawat Eko.
Di titik itu, barista di kafe difabel Cupable Coffee Sleman itu memutuskan untuk menuju Jogja: ke PRYAKKUM.
“2004 saya ke PRYAKKUM untuk rehabilitasi. Saya ingin mandiri. Di sini (PRYAKKUM) saya diajari banyak hal, dikasih kesempatan untuk banyak hal,” ungkap Eko.
Eko merasa mendapat kekuatan untuk terus melanjutkan hidup. Apalagi setelah dia diberi kesempatan bekerja sebagai staf resepsionis di PRYAKKUM, jauh sebelum kafe difabel Cupable Coffe Sleman berdiri.
Menjadi barista di kafe difabel Sleman
2017, Cupable Coffee buka di samping kantor PRYAKKUM persis. Di sela-sela pekerjaannya menjadi staf resepsionis, dia kerap menikmati kopi di sana.
Sampai akhirnya, PRYAKKUM mengadakan program pelatihan Barista Inklusi. Saat ditawari untuk ikut, Eko tak menolak. Setelah program pelatihan selesai, Eko kemudian diminta untuk bekerja di sana.
“Untuk sekarang saya bisanya manual brew. Kalau latte belum bisa karena perlu alat bantu yang harus dimodifikasi,” terangnya.
Tahun demi tahun berganti, Eko menjadi teman difabel senior di kafe difabel tersebut. Dulu dia bersama dengan seorang difabel fisik berkursi roda. Namun, temannya itu sudah lama keluar. Sehingga Eko menjadi barista difabel Eko Sugeng paling senior.
Sebagai generasi pertama barista difabel di Cupable Coffee, wajah Eko dan temannya diabadikan dalam wujud lukisan di salah satu sudut kafe.
“Kalau sekarang yang difabel ada dua. Saya dan waiters satu, difabel intelektual. Lainnya non-difabel. Ya biar ngimbangin. Karena kalau tamu lagi banyak, butuh tenaga ekstra,” sambung Eko.
Seperti siang itu. Setelah jam istirahat selesai, langsung ada tamu yang datang. Eko bersiap kembali ke meja pemesanan.
Pelabuhan hati di Jogja
Eko bersyukur, sejak peristiwa nahas merenggut kedua tangannya, kedua orang tuanya mendukungnya untuk ke Jogja. Di Jogja, di PRYAKKUM, Eko merasa memiliki kekuatan hidup yang berkali lipat lebih besar.
“Suasana di Jogja sangat mendukung orang-orang seperti saya berkembang. Ada banyak komunitas difabel juga yang orang-orangnya saling dukung,” terangnya.
Di Jogja pula Eko menemukan pasangan hidup. Mereka akhirnya tinggal di Kalasan, Sleman.
“Sejak saya bisa mandiri berkat ikut pelatihan-pelatihan, saya merasanya pandangan orang ke saya akhirnya nggak iba atau sebelah mata lagi. Lebih ke pandangan salut, kagum,” tutup Eko sembari melepas senyum. Dia lalu kembali sibuk menyeduh kopi untuk pengunjung.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News