Banyak hal tidak beres dari Blora, sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang sebenarnya punya banyak potensi tapi justru terkesan tertinggal. Andika Adikrishna Gunarjo (36), tak rela dan tak mau diam saja jika tanah leluhurnya itu jalan di tempat.
***
Andika, sapaan akrabnya, menarik napas panjang sebelum memulai bercerita perihal Blora.
Sudah empat tahun ini—sejak 2020—Andika mengemban tugas politik di Blora. Empat tahun yang membuat hatinya dipenuhi ketidakrelaan.
Ada banyak ketidakberesan di Blora yang seolah-olah tak tersentuh selama bertahun-tahun. Padahal ketidakberesan itu sudah kerap diresahkan oleh warga Blora sendiri. Andika yang kerap turun di masyarakat bawah mendengar sendiri bagaimana warga berkeluh kesah dan nyaris putus asa atas kabupaten di ujung timur Jawa Tengah tersebut.
Ia memang berperawakan sangar: tubuh tinggi besar, berewokan, dan bersuara agak ngebas. Namun, ia mengaku hatinya mudah tersentuh.
Jalan rusak Blora membuka mata Andika Adikrishna
“Pertama, misalnya jalan rusak. Bertahun-tahun itu jadi keresahan warga,” tutur Andika, Jumat (6/9/2024) sore WIB saat kami berbincang di sebuah warung kecil.
Per Mei 2023, dalam data Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Blora, tercatat ada sepanjang 261 km jalan di Blora berstatus rusak berat dan 55 km berstatus rusak ringan dari total 916,1 km jalan kabupaten.
Hingga 2024 ini, sayangnya baru dua jalur yang tersentuh perbaikan. Yakni Randublatung-Getas dan Wulung-Klatak. Melansir dari situs resmi Pemkab Blora, masih tersisa sangat banyak jalan rusak yang belum tersentuh. Antara lain, Jalan Ngawen-Japah-Todanan, Japah-Tunjungan, Japah-Krocok-Gotputuk, Srigading-Karangjong, Bogem-Sumberejo–Ngiyono, dll.
Kampung Samin, hutan jati, sate, hingga pohong
Jalan rusak ternyata hanya satu masalah yang terlihat paling kasat. Karena ternyata masih ada rentetan masalah lain yang menyelimuti Blora. Bagi Andika, kabupaten ini memiliki banyak potensi yang sebenarnya bisa dikembangkan. Sayangnya, selama ini potensi-potensi tersebut tampak belum dimaksimalkan.
“Misalnya, kalau memang Blora mau dijadikan kota wisata, kita kan punya Kampung Samin. Kita bisa berkaca pada Kampung Baduy. Di sana menawarkan wisatawan, ayo main ke Baduy Dalam, nginep, merasakan tinggal bersama orang Baduy, belajar budayanya, merasakan bagaimana hidup menjadi orang Baduy,” beber Andika dengan menggebu.
“Nah, di Blora ada Samin. Harusnya bisa dikonsep seperti itu,” sambungnya.
Selain itu, hutan jati yang membentang dari sudut ke sudut Blora pun menurutnya bisa dimaksimalkan. Misalnya dengan membuat event Jazz in the Forest.
“Itu bisa jadi hal-hal yang hanya ada di Blora, loh. Kuliner-kulinernya juga enak, seperti lontong kapuan atau sate yang khas. Itulah potensi yang bisa memanggil orang untuk wisata ke sini, jadi bandaranya (Bandara Ngloram) nggak sepi lalu lintas,” ujar Andika.
Misalnya lagi, Blora punya potensi pertanian seperti jagung dan pohong. Dua komoditas itu bisa diolah jadi produk lain untuk dijual. Misalnya diolah menjadi bahan bakar.
“Kabupaten ini kan punya migas, sekalian punya produksi bahan bakar dari memproses pohong kan malah cocok untuk membangun grand design sebagai Kota Energi,” gagas Andika.
Kesejahteraan seniman Barongan
Menjalani proses kaderisasi di PDI Perjuangan, Andika Adikrishna mengaku memegang teguh Trisakti Bung Karno. Termasuk poin nomor 3 dari trisakti tersebut: Berkepribadian dalam berkebudayaan.
“Nguri-uri budaya itu jadi tanggungjawab bagi para kader,” tegas Andika.
Ia melihat, Barongan sebagai kesenian khas Blora hanya populer di kalangan warga setempat sendiri. Padahal, menurutnya, Barongan bisa lebih dari itu: bisa menjadi sangat ikonik seperti Reog Ponorogo.
Maka, perlu ada upaya serius untuk membuat Barongan bisa lebih dari itu. Hal ini pun tentu akan berdampak pada kesejahteraan hidup para seniman Barongan.
“Jadi orang Blora akhirnya bener-bener bangga punya Barongan. Bangga punya Samin.” Andika mengambil jeda beberapa jenak sebelum melanjutkan cerita. Karena ia akan memasuki bagian masalah yang membuat nuraninya terguncang.
Jalan beranjak dari kemiskinan
Empat tahun di Blora, Andika Adikrishna mengaku sudah beberapa kali melihat sendiri banyak anak-anak di Blora putus sekolah. Itu menimbulkan rasa tak rela dalam hatinya. Faktornya beragam. Mulai dari ekonomi hingga sulitnya akses sekolah.
Padahal, bagi Andika, sekolah—apalagi sampai ke jenjang perguruan tinggi—menjadi salah satu faktor yang bisa mengentaskan seseorang dari jurang kemiskinan. Itu pun sudah Andika rasakan sendiri.
Di masa SMP-SMA, Andika sempat merasakan kondisi keuangan keluarganya yang tak begitu stabil. Sebagai gambaran, di masa SMP, ia pernah di fase tak mau jika teman-teman sekolahnya main ke rumahnya. Alasannya, di rumahnya tak ada makanan enak yang bisa disuguhkan.
“Aku kalau main di rumah temenku, suguhannya nasi ayam. Sementara dulu aku di rumah aja sering tahan lapar. Aku pernah buat nahan lapar itu makan mie kremes tapi kurebus. Padahal harusnya dikremes aja itu,” papar Andika dengan tawa getir mengingat momen-momen sulit itu.
Saat itu, jangankan untuk uang jajan, untuk makan sehari-hari saja harus berhemat. Ibu Andika memang berprofesi sebagai dosen. Akan tetapi, gaji yang sang ibu peroleh saat itu tak lebih dari Rp500 ribu. Begitu juga dengan kondisi keuangan sang ayah yang tak lancar-lancar amat.
Saat mendapat kesempatan kuliah S1 di Institut Teknologi Bandung (ITB) (2006-2011) pun kondisi Andika jauh di bawah beberapa temannya. Andika masuk golongan ekonomi kelas menengah bawah, sehingga mendapat UKT Rp2 juta persemester. Sementara rata-rata temannya di angka Rp5 jutaan.
Begitulah sampai akhirnya tekad dan keberuntungan membawanya bisa lanjut S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) (2016-2018), setelah lima tahun sebelumnya kerja terlebih dulu. Saat kuliah S2 di UGM itu juga ia mendapat kesempatan pertukaran mahasiswa di Erasmus University, Rotterdam, Belanda.
Tak rela anak-anak Blora putus sekolah
Lulus dari UGM pada 2018, Andika sempat bekerja di beberapa perusahaan besar. Ia juga pernah menduduki posisi-posisi sentral di perusahaan tempatnya bekerja: Senior Manager, Chief Commercial Officer, hingga CEO.
Itulah yang ia maksud, pendidikan (sekolah) bisa menjadi jalan untuk mengentaskan seseorang dari kemiskinan.
“Nah, tapi bagaimana mau melompat (dari kemiskinan) lewat pendidikan kalau sekolahnya saja jauh. Sekolahnya tidak terfasilitasi dengan baik,” keluh Andika Adikrishna dengan mengernyitkan dahi.
“Tapi bagaimana terfasilitasi dengan baik juga kalau fokus anggaran bukan untuk sekolah,” imbuhnya. Ah, ia justru melihat anak-anak di Blora putus sekolah. Ia tak bisa rela begitu saja dengan kondisi itu.
Andika Adikrishna Tak rela banyak pengangguran
“Aku sering bersinggungan dengan pemuda Blora, wong cilik yang nggak kerja. Orang asli Blora tapi sulit cari kerja di kotanya sendiri. Harus cari kerja di kabupaten lain yang misalnya buka pabrik baru. Itu bikin sedih.” Hembusan napas berat menyertai saat Andika mengucapkan kalimat tersebut.
Bagi Andika, harusnya orang Blora terserap di Blora sendiri. Faktanya, tidak ada yang menjanjikan di kabupaten ini.
Oleh karena itu, seperti yang sudah disinggung di awal tulisan, perlu optimalisasi potensi Blora agar menarik investor untuk datang. Dengan begitu, tenaga kerja di kabupaten ini akan terserap maksimal, tidak ada lagi pengangguran.
Pesan bapak dan ikatan pada tanah leluhur
Andika Adikrishna punya alasan kenapa sebegitu sentimentil saat membicarakan Blora. Sebab, ia punya ikatan batin dengan kabupaten berembel-embel Mustika itu. Leluhurnya berasal dari sini.
Andika memang lahir di Yogyakarta. Di sana ia menghabiskan sebagian banyak masa hidupnya, selain kemudian tinggal di Salatiga, Jawa Tengah. Namun, sang ayah, jika ditarik sampai delapan keturunan, ternyata punya garis keturunan dengan Raden Mas Said (Mangkunegara 1).
Mangkunegara 1 ditahbiskan sebagai Pangeran Sambernyawa dalam perang gerilya melawan VOC dan Pakubuwana III persinya di Japah, Blora. Orang-orang Japah itu pula yang kemudian bergabung menjadi pasukan Mangkunegara 1. Salah satu paman Andika juga ada yang menikah dengan orang asli Cepu, Blora.
“Sejak bertugas 2020 sampai sekarang, aku pun merenungi hal ini. Jangan-janga memang sudah jadi takdir dan garis hidupku untuk mengabdikan diriku pada Blora,” tutur Andika.
Andika bertekad membereskan hal-hal yang belum beres dari tanah leluhurnya (seperti yang sudah ia paparkan di atas). Salah satu langkah yang ia ambil adalah dengan mengambil posisi sebagai Calon Wakil Bupati.
Bersama Abu Nafi, ia akan maju di Pilbup Blora 2024. Ia, sekali lagi menekankan, tak rela tanah leluhurnya—terutama warga yang tinggal di dalamnya—bertahun-tahun hidup dalam masalah yang menyulitkan hajat hidup mereka dan terkesan terabaikan.
“Bapak berpesan, ada pepatah Jawa berbunyi “Pepadhang iku wiwitane seka wetan (Cahaya itu tumbuh dari timur),” kata Andika.
“Nah, Blora itu kan ada di ujung timur Jateng. Harapan bapak, kinerjaku di timur (Blora) nanti bener-benar jadi pepadhang (cahaya penerang). Bukan hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tapi juga untuk masyarakat luas,” tutupnya.
Andika, bahkan memiliki keyakinan akan mati dan dikuburkan di tanah leluhurnya itu. Oleh karenanya, dalam hidupnya, ia akan memberikan pengabdian sebaik-baiknya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA: 7 Dosa Bupati Blora yang Sulit Dimaafkan Warga
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.