Biaya sebesar itu tentu akan memberatkan orang-orang yang ekonominya rata dengan tanah. Itu jika lancar, kalau harus molor, misal dosennya kerap revisi atau total halaman yang harus dicetak lebih banyak. Bagi jurusan yang skripsinya model kualitatif, mungkin masih bisa ditekan. Tapi jika metodenya kuantitatif, atau malah dua-duanya, mahasiswanya bakal boncos bayar biaya print.
Biaya print sebenarnya bisa ditekan andai dosen mau (dan bisa) bimbingan dengan soft file saja, tak perlu cetak. Siti mengaku, dia beruntung karena beberapa kali dosennya mau bimbingan dengan soft file alias pake laptop masing-masing. Dito, tak seberuntung Siti.
Tapi, yang jadi mengerikan adalah, jika bimbingan dengan soft file saja biayanya sebesar itu, bagaimana kalau tidak pake soft file?
Harus bentuk budayanya terlebih dahulu
Dito mengatakan, tak semudah itu berharap bimbingan bisa lepas dari skripsi cetak karena budayanya harus dibentuk dulu. Kalau tidak, percuma.
“Menurutku, biaya skripsi harusnya bisa nggak semahal itu. Tapi, kampus harus mendukung budaya kirim berkas online dulu. Selain hemat biaya, ini juga lebih ramah lingkungan. Apalagi, kampus-kampus juga udah menerapkan SDGs. Mosok masih mau boros kertas?”
Dengan fenomena UKT yang makin mahal ini, biaya skripsi yang mahal makin jadi momok. Terlebih untuk yang kekuatan ekonominya tak bagus-bagus amat. Bisa jadi memberatkan, dan ujung-ujungnya kesulitan untuk lulus. Ironinya, orang menganggap ini normal, jadi ketika mau menuntut, agak susah.
“Masalahnya, banyak orang yang terlanjur menganggap skripsian mahal itu normal. Jadi, ya, mereka manut-manut aja mau habis berapa.”
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
BACA JUGA 3 Tradisi Sidang Skripsi Paling Enggak Guna, Sederhana Tapi Bikin Mahasiswa 14 Semester Marah
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.