Sertifikat seminar dianggap salah satu syarat kelulusan mahasiswa yang tak ada faedahnya. Syarat tersebut mempersulit mahasiswa dalam menyiapkan kelulusan, dan tak berpengaruh banyak dalam kehidupan.
***
Ikhsan (22), mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Surabaya, dengan mantap bilang kalau sertifikat seminar adalah salah satu syarat kelulusan paling aneh baginya. Selain tidak memberi keuntungan nanti pada saat mencari kerja, syarat ini bikin seminar tak menarik karena ilmunya, tapi sertifikatnya.
“Aku merasa ini nggak penting-penting amat. Soalnya kebutuhannya cuma buat pendamping ijazah aja, Mas. Nggak bisa jadi bukti kompetensi juga. Jadi, ya buat apa diwajibkan? Seakan-akan biar mahasiswa dipaksa biar kelihatan aktif tok.”
Ikhsan menjelaskan sertifikat seminar itu nanti dikonversi jadi poin. Per sertifikat, 10 poin. Yang dibutuhkan sebagai syarat kelulusan adalah 450 poin. Jadinya butuh 45 sertifikat, atau bisa dibilang mahasiswa diminta minimal ikut seminar sebanyak 45 kali selama 4 tahun kuliahnya. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit. Jika memang kampus mengadakan banyak seminar dan gratis, tentu ini mudah dicapai. Tapi kalau tidak, dan andai separuhnya berbayar, tentu memberatkan mahasiswa.
Gara-gara ini, Ikhsan menyoroti orang-orang jadi ngasal dalam ngambil seminar. Seminar apa pun diikuti, yang penting kuota terpenuhi. Bahkan ada yang terang-terangan jadi pemburu sertifikat gratisan.
“Jadi ada sertif dari India, Pakistan, aneh-aneh pokoke,” ungkap Ikhsan.
Ikhsan menduga, kewajiban sertifikat seminar ini muncul agar mahasiswa mengikuti seminar semasa kuliah dan dapat ilmu di luar kelas. Niatnya bagus, tapi ketika diwajibkan, orang-orang jadi mengusahakan untuk cari sertifikatnya, bukan ilmunya. Tujuan asli jadi hilang dan berubah esensi.
“Nggak tahu, ya, Mas. Mungkin biar mahasiswanya kalau lulus minimal nggak kelihatan kosong banget. Jadi, bukti sertifikat seminar itu buat semacam bukti kalau mahasiswanya aktif selama kuliah.”
Toh, menurut Ikhsan, hal ini belum tentu membantunya jadi lebih mudah untuk mencari kerja.
Sertifikat seminar itu nggak perlu
Fani (22, bukan nama sebenarnya), mahasiswa asal Surabaya, menyarankan tak perlu ada syarat menyertakan sertifikat seminar sebagai syarat. Syaratnya udah banyak dan susah, menambahkan hal ini hanya akan mempersulit, pun seminar, baginya nggak berguna.
“Soalnya kan kita juga ikut seminar ujungnya ditinggal tidur. Wong kita cuma butuh sertifikatnya aja. Nggak nambah ilmu juga. Ya, mungkin nambah ilmu buat yang dengerin, tapi kan aku sendiri nggak dengerin, yang penting dapet sertifikatnya aja.”
Fani sendiri juta tak tahu fungsi seminar ini buat apa. Baginya, cari ilmu itu kebutuhan. Jika nggak butuh, nggak akan nyari juga sekalipun disuruh. Maka dari itu, sertifikat ini malah jadi syarat yang memberatkan dan nggak memberikan manfaat.
“Kalau fungsinya sendiri aku nggak ngerti, ya. Mungkin biar mahasiswanya bisa belajar di luar kuliah. Tapi, kalau emang niatnya kayak gitu, metode ini jelas nggak efektif karena tujuan mahasiswa ikut seminar bukan buat belajar, tapi buat nyari sertif.”
Fani berkata, kalau bisa jangan mempersulit mahasiswa buat lulus. Soalnya syarat buat lulus itu udah banyak dan ribet. Mosok harus nyari sertifikat lagi, itu juga nggak penting-penting amat.
Kampus harusnya turun tangan
Ikhsan berkata bahwa kalau memang agar mahasiswa tidak kosong saat lulus nanti, yang harusnya dilakukan bukan mewajibkan sertifikat. Sepakat dengan Fani, dia menganggap orang-orang tak melihat seminar sebagai hal yang membantu, tapi justru bikin mahasiswa terbebani. Kampus harusnya juga tak lepas tangan. Kampus lah yang harusnya menyediakan pelatihan, bukan melepas mahasiswanya begitu saja untuk mencari ilmu, dan menjadikan sertifikat seminar sebagai syarat kelulusan.
“Buat kampus, daripada mewajibkan sesuatu yang kurang manfaat kayak gini, mending bikin pelatihan atau apa gitu yang emang bener-bener mengasah skill dan pengetahuan mahasiswa soal dunia kerja.”
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
BACA JUGA Tipe-tipe Orang Saat Ikut Seminar
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.