Hajat tahunan kota bertajuk Nandur Srawung (NS) kembali hadir untuk masyarakat Jogja. Acara ini terselenggara di Taman Budaya Yogyakarta selama 14 hari pada tanggal 14-28 Agustus 2024.
Kali ini, pameran seni di Jogja yang telah menginjak tahun kesebelas penyelenggaraan itu membawa tema “WASIAT: Legacy”. Secara sederhana, tema ini dapat diterjemahkan sebagai usaha mengurai sejarah seni rupa.
Tema ini hadir atas kesadaran pentingnya seniman hari ini menengok karya-karya tempo lalu–termasuk penciptanya dan latar belakang karya itu hadir–guna menjadikannya inspirasi. Karena pun memang, sejarah jadi sesuatu yang berkelindan erat dalam proses kreatif dan proses tumbuh seniman hari ini. Warisan seni rupa masa lalu membentuk dan memengaruhi seniman masa kini dalam berbagai aspek; sosial, budaya, dan artistik.
Hal itu pula yang kali ini coba dipraktikkan para seniman peserta Nandur Srawung #11 (NS XI), yakni mengeksplorasi warisan seni dengan pendekatan yang inovatif dan personal. Upaya-upaya untuk menerjemahkan ulang dan menghidupkan kembali karya-karya masa lalu dalam satu bentuk baru yang dikemas dalam konteks kekinian.
Latar belakang tema ini jadi hal yang ditekankan oleh Sudjud, salah satu tim kurator pameran, dalam pemaparannya di konferensi pers NS XI pada Kamis (15/8/2024).
“Karena memang, kami menganggap sejarah itu amat penting, jangan sampai seniman muda lepas ikatannya dengan sejarah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Soekarno: JASMERAH, jangan sekali-kali lupakan sejarah,” tegasnya.
Lorong pameran terbagi atas kluster-kluster menurut periode sejarahnya
Untuk menjelaskan “sejarah seni rupa” tadi kepada pengunjung, tim kurator yang terdiri atas Arsita Pinandita, Bayu Widodo, Irene Agrivina, Rain Rosidi, dan Sudjud Dartanto, menyiapkan lorong pameran yang telah terbagi dan tersusun menjadi beberapa kluster menurut periode pembabakan.
Kluster itu meliputi; Bangsa Merdeka dan Rayuan Pulau Kelapa (1945-1955); Suara Rakyat dan Gelanggang Warga Dunia (1955-an hingga 1965); Lantunan Lirisisme dan Perayaan Bentuk (1965-1975); Menggali Akar dan Mendobrak Batas (1975-an hingga 1985-an); Pengembara di Dunia Mental dan Mimbar Bebas (1985-an hingga 1995-an); Seni Publik dan Media Baru (1995-an hingga 2005-an); dan Seni Pop dan Kampung Global (2005-2015).
Tentu, tiap periode waktu yang tersegmentasi dalam kluster itu memiliki ciri khas, tokoh, dan semangat zamannya masing-masing. Seperti misal, era 1945-1955 dimana Indonesia menyatakan kemerdekaannya, kesenian-kesenian yang muncul bercorak realisme sosialis dan kerakyatan.
Juga, bagaimana dalam periode 1955-1965 terdapat tarik-menarik antardua aliran. Yakni, dimana semangat kerakyatan tadi, yang didorong dengan kuatnya rezim Soekarno yang nasionalis, bertemu dengan spirit baru: perayaan kebebasan berekspresi yang terbaca sebagai gerakan berkiblat global/barat. Begitu pula, yang terjadi pada tiap periode kesejarahan berikutnya.
Namun, di tengah dinamika perubahan ide dan semangat di tiap zaman itu, ada pula hal-hal yang tertangkap sebagai pola berkesinambungan yang saling memengaruhi. Hal itu, menurut Ira (sapaan Irene), adalah teknologi atau alat. Hal-hal yang bersifat material ini bertahan dalam lingkup waktu yang lama dan digunakan pada lintas periode.
Katakanlah, alat yang digunakan di periode 1950-an, masih sangat mungkin bertahan dan dimanfaatkan di tahun-tahun 2000-an. Seiring waktu, terjadi perbaikan-perbaikan detail pemanfaatan teknologi secara berkala. Yang mana, perbaikan itu nantinya turut membentuk konsep/ide.
“Sisi teknis yang berkesinambungan ini, juga dapat menjadi salah satu hal yang diperhatikan–disamping perjalanan sejarah seni rupa tadi–sebagai pembentuk sebuah kultur peradaban yang berpengaruh ke lingkungan yang lebih luas,” tegas Ira.
Berkeliling menyusuri pameran Nandur Srawung Jogja
Selepas menyimak rangkaian konferensi pers, saya beruntung sebab para wartawan media di Jogja diberi fasilitas untuk melihat pameran. Dengan antusias, saya menyusuri lorong-lorong pameran dengan didampingi para kurator; Sudjud dan Ira. Saya menyimak penjelasan mereka atas latar belakang tiap-tiap karya terpasang.
Karya-karya yang terpajang dalam dinding lorong pameran seni Jogja itu, benar saja, memberi saya pengalaman bergerak melintasi sejarah; yang bermacam, yang terus berubah, juga yang mengandung kemiripan.
Bentuk-bentuk aliran yang terpresentasi pun beragam. Realisme sosialis, naturalis, sureal, abstrak, hingga bentuk bentuk media seni baru berjajar dengan apik membentuk rangkaian story historis.
Mengamati “Echoes: Passing, Lingering, Longing, Sensing”, sejarah kelam bangsa di balik instalasi futuristik
Setelah menyelesaikan perjalanan “miniatur” sejarah seni rupa Indonesia itu, ada satu karya yang membekas bagi saya: “Echoes: Passing, Lingering, Longing, Sensing” Milik Vincent Ruijters. Karya ini berbentuk instalasi bergerak, termasuk ke dalam penggolongan jenis seni media baru.
Sebab tertarik dengan instalasi yang mewujud di bagian awal lorong pameran Nandur Srawung itu, saya pun mencari kembali Mbak Ira. Saya ingin ngobrol lebih lanjut soal latar belakang karya.
“Walaupun tergolong jenis seni media baru, kami taruh karya ini ke dalam kluster Rayuan Pulau Kelapa karena apa yang diangkat sebenarnya berada di era itu,” terang Ira. Penggolongan karya-karya ke dalam kluster tidak dilakukan berdasarkan bentuk dan mediumnya, tapi substansi ide dan semangat yang dibawa.
Meskipun tampak sangat futuristik dan kontemporer, sebenarnya karya milik Vincent ini menceritakan tentang kisah personal ia dan keluarganya yang bertalian erat dengan sejarah Indonesia.
Ira menjelaskan, Vincent Ruiters adalah seniman berkebangsaan Belanda. Ibunya, berdarah Indonesia-Tionghoa, atau juga biasa disebut peranakan Tionghoa.
Keluarga ibu Vincent, terdampak oleh adanya gelombang eksodus di Indonesia yang bermula sejak 1950-an. Mereka pun berpindah dan menetap di Belanda. Ini mengakibatkan, Vincent tumbuh dan besar di Belanda.
Perjalanan mencari sejarah keluarga
Ketika dewasa, ia mulai mencari sejarah keluarga dan jejak keturunannya. Sebab, hal-hal serupa ini “tabu” mereka bicarakan di Belanda.
“Kemudian Vincent menyusuri jejak-jejak itu, termasuk mengadakan riset soal bagaimana keluarga peranakan Tionghoa di Indonesia kala itu dan sekarang,” terang Ira. Instalasi ini adalah bentuk ekspresi Vincent ketika melakukan perjalanannya menyusur jejak.
“Besi-besi itu sebenarnya seperti urat nadi, menggambarkan keturunan atau DNA. Kemudian yang tampak merah itu, adalah corak batik Lasem. Karena, kan, di Lasem banyak peranakan,” jelas Ira.
Vincent memainkan bentuk kinetik dalam karyanya melalui cahaya yang diproduksi oleh lampu-lampu yang telah sedemikian ia susun. Lampu-lampu itu, kemudian memunculkan bayangan yang bergerak.
Cahaya-cahaya ini bergerak menggambarkan bagaimana perjalanan Vincent dalam menyusur masa lalunya itu: kadang ada, kadang berhenti lama. Perjalanan yang kerap menjumpai kebuntuan.
“Kadang-kadang ada cahaya yang buat ia bertemu dan ngobrol dengan seseorang, kadang-kadang ia diam dan buntu tak tahu mesti kemana,” tutup Ira.
Penulis: Alya Putri Agustina
Editor: Hammam Izzuddin
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News