Haru bisa ke WBL Lamongan
Cerita terakhir dari saya sendiri. Seperti yang Yusron katakan sebelumnya, beberapa SD di Sluke, Rembang di masa itu memang menjadikan WBL Lamongan sebagai jujukan berwisata. Termasuk SD saya di Manggar, Sluke.
Saat edisi wisata tahun 2009, saya menjadi salah satu dari beberapa anak lain yang tidak ikut. Teman-teman saya orang tuanya terus terang tak punya uang untuk membayar. Kalau toh ada uang, bagi mereka akan lebih penting jika uangnya mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Sementara ibu saya tak bilang demikian. Ia hanya bilang menunggu bapak pulang dari Malaysia. “Kalau bapak pulang, nanti bawa uang banyak. Kita ke WBL sendiri,” begitu kira-kira yang ibu katakan.
Saya manut saja. Meski dalam hati kecil ada perasaan iri dan setengah jengkel. Lebih-lebih ketika sepulang dari WBL Lamongan teman-teman saling bercerita perihal keseruan mereka selama rekreasi di sana.
Setahun setelahnya, persis setelah kelulusan SD, ibu dan bapak menepati janji mereka. Kami berangkat ke WBL Lamongan. Ada perasaan senang. Tapi ada juga perasaan haru kala akhirnya bisa merasakan keseruan yang sudah teman-teman sekelas SD saya rasakan lebih dulu.
Sampai saat ini pun, WBL Lamongan masih menjadi tempat hiburan pelarian bagi keluarga kami. Hiburan dari setiap ketidakikutsertaan rekreasi di tempat-tempat jauh dengan ongkos mahal. Misalnya, adik saya harus absen dari rekreasi SD-nya ke Jatim Park, Malang.
Ibu dan bapak pun menggantinya di lain kesempatan dengan mengajak adik rekreasi ke WBL Lamongan tidak lama setelah ia dikhitan. Kami berangkat ke WBL dari uang buwuh acara khitanan tersebut.
*) Nama narasumber disamarkan atas permintaan yang bersangkutan
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel lainnya di Google News