Pakaian branded atau kaos band vintage harga miring terasa seperti harta karun ketika kita menemukannya di lapak thrifting. Namun di balik “jackpot” itu, tersimpan paradoks besar perdagangan pakaian bekas dunia: tentang ketimpangan, konsumerisme negara maju, hingga waste colonialism.
***
“Pak, kaos yang ini harganya berapa?”
“Itu 100 ribu aja, Mas. Sablonnya masih bagus soalnya.”
“Apa nggak bisa kurang, Pak?”
“Yaudah. Buat penglaris, 80 ribu saja.”
Deal.
Kira-kira begitulah “perjuangan” saya mendapatkan t-shirt Slayer dengan artikel South of Heaven. Kaos dengan tag Gildan ini merupakan official licensed yang diimpor langsung dari Jerman.
Di beberapa e-commerce yang saya kunjungi, harganya mencapai Rp400 ribu. Bahkan, di salah satu toko merchandise band asal Surabaya, Puskesmerch, harganya berada di angka Rp549 ribu.
Entah bagaimana ia bisa sampai di lapak thrifting XT Square, Jogja–jujur saya tak peduli. Yang jelas, sore itu, sekitar setahun yang lalu, kaos (yang aslinya) mahal itu saya dapatkan dengan harga Rp80 ribu. Kondisinya masih kinclong, sablon masih menempel rapi, hanya ada sedikit bercak bekas sundutan rokok yang tak terlalu menganggu.
Hoki saya sore itu mungkin sulit terulang. Namun, di lapak jual beli pakaian bekas atau thrifting, apapun bisa terjadi. Mojok, misalnya, pernah meliput cerita Faqih, mahasiswa Jogja yang pernah mendapatkan celana jins merek Versace seharga Rp10 ribu di awul-awulan Pasar Senthir. Padahal, harga aslinya yang baru bisa mencapai Rp2 juta rupiah.
Begitulah thrifting. Jackpot didapatkan di tempat dan momen tak terduga. Cuma butuh sedikit ketelatenan, kesabaran, dan sedikit keberuntungan.
Namun yang jelas, fenomena ini sudah menjadi tren di kalangan anak muda. Dari yang doyan dilakukan oleh masyarakat kelas bawah, kini kelas menengah pun ikut gandrung.
Dari pemukiman kumuh untuk “fesyen perlawanan”
Saya coba mengorek sedikit soal sejarah awal dari tren thrifting ini. Kalau kita melompat jauh, ternyata budaya ini sudah mengakar sejak awal pertengahan abad ke-19 di sebuah permukiman kumuh Amerika.
Jennifer Le Zotte dalam “From Goodwill to Grunge” (2018) menjelaskan pada masa itu perdagangan pakaian bekas diwarnai stigma buruk. Ia dijalankan melalui junk shop, gerobak pedagang keliling, hingga pawnshop.
Pelanggannya? Jelas, para kaum miskin kota, termasuk para imigran dan komunitas Yahudi. Pembelian pakaian bekas oleh kelas menengah atau atas, kata Le Zotte, dipandang merusak reputasi dan mengancam kesehatan.
Perubahan besar dimulai ketika organisasi filantropis, terutama Goodwill Industries dan The Salvation Army, memasuki arena ini. Mereka me-rebranding dan “mensanitasi” perdagangan barang secondhand dengan cara dicuci sebelum dijual. Toko pun disusun dengan tampilan rapi seperti department store, dan proses penjualan distandarisasi.
“Pendekatan ini meredam stigma lama, dan membantu menarik konsumen dari spektrum sosial yang lebih luas,” kata Le Zotte dalam tulisannya.
Seiring waktu, pasar barang bekas berkembang bukan hanya sebagai bisnis moral atau amal, tetapi sebagai bagian dari kapitalisme. Le Zotte menunjukkan bahwa secondhand commerce membentuk “ekonomi alternatif” yang paralel dengan ekonomi produk baru (firsthand). Sebab, ia tidak hanya melayani kebutuhan mendesak, tetapi juga memungkinkan konsumen bereksperimen dengan gaya, identitas, dan nilai yang berbeda.
Transformasi sosial-kultural semakin nyata ketika barang bekas menjadi medium ekspresi subkultural. Ketika gerakan anti-konsumerisme, protes politik, atau budaya muda subversif seperti punk dan grunge muncul, pakaian bekas menjadi simbol pemberontakan.
Artis, penampil, dan generasi muda menggunakan thrift sebagai cara menolak arus utama industri fesyen dan kapitalisme konvensional. Misalnya, estetika “grunge” di awal 1990-an identik dengan kemeja flanel, jins lusuh, dan tampilan seadanya. Pakaian ini identik dengan barang bekas dari toko thrift.
Menurut Le Zotte, perubahan ini mencerminkan sesuatu yang lebih mendasar: bukan sekadar soal murah vs mahal, tetapi bagaimana pakaian berfungsi sebagai teks budaya. Thrifting memungkinkan terciptanya estetika alternatif sekaligus mendobrak batas kelas sosial dan menawarkan konsumen pilihan untuk mendefinisikan ulang budaya yang berkembang.
Industri thrifting mengguncang pasar global
Seiring berjalannya waktu, thrifting kemudian tumbuh menjadi fenomena ekonomi global yang besar tapi paradoksal. Andrew Brooks dalam penelitiannya berjudul “Stretching global production networks: The international second-hand clothing trade” (2013) menjelaskan bagaimana perdagangan pakaian bekas kini menjadi industri bernilai miliaran dolar, dengan melibatkan ekspor surplus tekstil dari negara-negara kaya ke negara-negara berkembang.
Menurut Brooks, ledakan fast fashion telah menciptakan “gunung pakaian” yang tak terserap pasar domestik, dan sebagian besar dialihkan ke pasar negara lain, termasuk Afrika dan Asia Tenggara.
Per 2024 lalu, pasar global mencatat nilai untuk industri pakaian bekas mencapai USD 45,3 miliar. Bahkan, pasar thrifting diperkirakan bisa meningkat ke angka USD 230,6 miliar di 2025 dan USD 438,1 miliar pada 2032. Artinya, dalam waktu kurang dari satu dekade, industri pakaian bekas diprediksi akan nyaris dua kali lebih besar.
Di Indonesia sendiri, laporan Mobility Insights (2025) menunjukkan bahwa pasar thrifting tumbuh dengan sangat cepat. Di negara ini, nilai pasar thrifting lokal diperkirakan akan meningkat dari USD 5,2 miliar pada 2025 menjadi USD 17,9 miliar pada 2031.
Data perdagangan juga menunjukkan lonjakan drastis dalam impor pakaian bekas pada 2024, yakni sebanyak 3.865 ton barang kategori tekstil bekas–sekitar 300 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Sebelumnya, pada 2023, volume impor dilaporkan mencapai 12,85 ton.
Lonjakan ini mengindikasikan bahwa permintaan akan pakaian bekas di Indonesia memang sedang gila-gilaan. Dibuktikan dengan hasil survei GoodStats yang menemukan bahwa sekitar 49,4 persen masyarakat Indonesia mengaku pernah membeli fesyen bekas melalui thrifting.
Salah satu narasumber Mojok, Diana (25) bahkan mengaku dalam sebulan ia lebih banyak menghabiskan uang untuk membeli barang thrifting daripada pakaian baru. Hal serupa juga dilakukan Pradana (26), yang bilang kalau dalam dua tahun terakhir ia berhenti membeli pakaian–khususnya kemeja dan jaket–baru.
“Lebih enak memang thrifting-an. Brand apa aja ada, dan pasti harganya lebih miring. Daripada beli KW,” ungkapnya, Sabtu (29/11/2025).
Waste Colonialism, sisa konsumerisme negara maju
Dalam narasi pasar bebas, skema perdagangan tersebut dipuji sebagai bagian dari ekonomi sirkular yang memperpanjang umur pakai tekstil dan membantu menekan limbah. Namun, dalam kenyataannya, banyak negara penerima justru menjadi lokasi “pembuangan tak resmi” bagi surplus fashion dunia.
Dalam arus perdagangan internasional, surplus fashion bukan hanya soal komoditas, tetapi juga limbah yang dipindahkan. Ada beban beban sosial dan lingkungan yang dialihkan dari negara maju ke negara berkembang.
Aktivis dan pengamat lingkungan menyebut praktik ini sebagai waste colonialism, sebuah istilah yang menegaskan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah kerap menjadi penerima sisa konsumsi negara kaya, tanpa kendali terhadap jumlah, kualitas, maupun dampaknya.
Fenomena ini membuka paradoks struktural yang menantang narasi sederhana soal akses pakaian murah. Di satu sisi, negara berkembang mendapatkan barang dengan harga rendah, yang bisa dimanfaatkan masyarakat kelas menengah bawah atau dijual kembali oleh pedagang lokal. Di sisi lain, aliran ini memperlihatkan ketergantungan pada barang impor, merusak industri tekstil lokal, dan menempatkan kota-kota penerima sebagai gudang bagi surplus dunia.
Di Indonesia, misalnya, pakaian bekas impor mendominasi pasar thrift di perkotaan, sehingga sebagian konsumen hanya mengenal pakaian second-hand sebagai pilihan utama, bukan sekadar alternatif.
Paradoksnya, kemudahan akses ini lahir dari ketidaksetaraan global, di mana negara kaya menyingkirkan limbahnya ke negara berkembang bukan karena kebutuhan lokal, tetapi karena sisa produksi dan konsumsi mereka sendiri.
Kerangka waste colonialism juga memberi lensa kritis terhadap bagaimana nilai barang dibentuk. Pakaian yang dianggap tak lagi bernilai di satu negara, ketika tiba di negara lain, masih memiliki fungsi ekonomi dan sosial.
Namun, nilai itu tidak netral: ia lahir dari ketidaksetaraan produksi dan distribusi global. Barang bekas ini tidak datang ke ruang lokal secara sukarela, melainkan merupakan hasil struktur global di mana surplus dan limbah dialihkan dari “utara” ke “selatan”.
Dengan demikian, setiap kaos vintage, jaket usang, atau celana denim bekas yang bertebaran di pasar-pasar Indonesia bukan hanya barang konsumsi, tetapi juga jejak dari hierarki global yang menempatkan negara berkembang sebagai penerima limbah konsumerisme negara maju.
Menariknya, meskipun ada konteks struktural ini, masyarakat lokal—terutama generasi muda perkotaan, tidak pasif. Sebagaimana anak muda Amerika medio 1970 hingga 1980-an, mereka juga mengadopsi barang-barang itu sekaligus mengubah maknanya dan menafsirkan ulang dalam konteks estetika dan identitas.
Di sinilah waste colonialism berfungsi sebagai titik kritis: meski barang tersebut lahir dari ketidaksetaraan global, praktik thrifting memungkinkan agen individu untuk menciptakan makna baru.
Kaos bekas, misalnya, bisa menjadi simbol orisinalitas. Bagi saya sendiri, ada kenikmatan tersendiri ketika bisa memiliki kaos band ori meski bekas, daripada baru tapi KW. Atau, buat sebagian orang lain, pakaian vintage bisa menjadi statement anti-mainstream sekaligus mengekspresikan solidaritas subkultur.
Proses ini menunjukkan ketegangan yang produktif antara struktur global dan kreasi lokal.
Pada akhirnya, thrifting bukan sekadar urusan menemukan kaos band langka dengan harga miring atau berburu “harta karun” di lapak-lapak awul-awul. Setiap potong pakaian bekas yang kita beli, menyimpan kisah panjang tentang ketimpangan antara negara maju dan berkembang.
Namun di waktu yang sama, ia juga menjadi ruang kreatif bagi anak muda yang menolak cara pandang tunggal kapitalisme arus utama. Yakni menjadikan sisa konsumsi “negara kaya” sebagai medium ekspresi diri.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Digital Fatigue: Kembalinya Budaya Retro di Kalangan Gen Z, karena Jenuh dengan Teknologi Modern atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan











