Dusun Melikan Banjarnegara yang berada di antara hutan terus bertahan meski ada anjuran relokasi. Mereka menolak pindah, meski kampungnya memiliki risiko mirip kampung sebelahnya telah tenggelam akibat longsor besar 2006 silam.
***
Dusun itu bernama Melikan yang terletak di Desa Kendaga, Banjarmangu, Banjarnegara. Meski masuk ke dalam kawasan administratif Desa Kendaga, tidak ada akses jalan kendaraan bermotor lewat desa tersebut. Area Dusun Melikan dengan dusun lain di Desa Kendaga dibatasi oleh hutan.
Sehingga, saat hendak berkunjung ke Dusun Melikan harus melewati rute lebih jauh. Pintu masuknya berada di Desa Sijeruk yang berjarak sekitar lima kilometer dari Desa Kendaga.
Sebelum berkunjung ke desa tersebut, Rohim (33), warga Desa Kendaga bercerita soal Dusun Melikan yang penghuninya dikenal ramah. Salah satu alasannya, karena dusun itu letaknya paling terpencil di desa.
“Mungkin karena aksesnya sulit, jarang ada yang berkunjung, jadi kalau ada yang datang mereka semedulur (bersahabat),” ungkapnya.
Kisah dari Rohim membuat saya memutuskan berkunjung ke Dusun Melikan Banjarnegara pada Sabtu (13/4/2024) siang. Saat hendak masuk gang menuju dusun tersebut, saya melewati pintu kawasan Gunungraja yang dulu diluluhlantakkan oleh tanah longsor besar pada 2006.
Setelah melewati jalan aspal yang rusak, memasuki area kebun salak yang padat, jalanan kemudian berganti dengan cor-coran semen. Semakin jauh ke dalam, area kebun salak perlahan dikelilingi dengan vegetasi hutan dengan pepohonan tinggi.
Dusun Melikan Banjarnegara, saksi gemuruh longsor yang dahsyat
Kebun salak di area dusun, sebagian besar dikelilingi pagar pembatas dari bambu hingga seng. Terutama yang berbatasan langsung dengan hutan. Salah satu alasannya, untuk menghalau babi yang biasa memakan buah salak.
Dusun Melikan Banjarnegara memang berada persis di bawah Bukit Pawinihan. Hal yang membuatnya rawan longsor seperti dusun sebelahnya.
Meski sempat khawatir tersesat, akhirnya permukiman tampak di antara kebun salak dan vegetasi hutan. Siang itu, suasananya sepi. Setelah berkeliling, saya akhirnya bertemu dengan seorang lelaki yang sedang menata panenan salak di halaman rumahnya.
Lelaki bernama Maryono (62) itu kemudian menerima kami di antara tumpukan keranjang salak. Ia, sejak lahir memang sudah tinggal di dusun ini.
Maryono bercerita, sebelum kelahirannya sudah ada generasi yang tinggal terlebih dahulu di kawasan terpencil ini. Bahkan, dulu ada cerita turun temurun kalau Dusun Melikan jadi tempat bersembunyi di masa penjajahan.
“Tapi itu cuma cerita, saya belum lahir jadi nggak tahu pastinya,” kelakarnya.
Seingatnya, media tahun 1970 hingga 1980-an, dusun ini terasa ramai meski terpencil. Akses jalan saat itu jelas belum memadahi dan listrik pun belum mengaliri. Namun, mereka hidup berkecukupan dari bertani.
Selepas itu, tahun demi tahun memang ada keluarga yang pindah dari sana. Namun, gelombang perpindahan yang agak besar terjadi pada 2006 saat tanah longsor menenggelamkan kampung sebelahnya.
Longsor di Dusun Gunungraja, Desa Sijeruk itu memakan 90 korban yang terdiri dari 76 tewas dan 14 sisanya hilang terkubur tanah. Peristiwa nahas itu terjadi di waktu subuh.
“Dulu itu ya habis salat subuh. Dari sini suara gemuruhnya terdengar jelas sekali. Kami panik dan kaget,” kenangnya.
Kejadian itu membuat Dusun Melikan Banjarnegara juga jadi sorotan. Pasalnya, lokasinya sama-sama berada di lereng Bukit Pawinihan yang memiliki tingkat kerawanan longsor tinggi.
Bertahan menolak relokasi meski diberi rumah baru
Pascabencana tanah longsor, korban selamat dari Gunungraja kemudian mendapat bantuan rumah baru di area Desa Kendaga yang lebih aman. Warga Dusun Melikan yang juga lokasinya rawan pun mendapat bantuan rumah di tempat yang sama. Namun, sebagian besar di antara mereka, termasuk Maryono memilih terus menetap.
“Pas 2006 itu di sini ada sekitar 18 rumah, 4 di antaranya memilih kemudian pindah jadi sekarang tersisa 13 rumah,” jelasnya.
Sebenarnya, mereka yang memilih menetap pun tetap mendapat bantuan rumah. Namun, mereka memilih menghuni kediaman di dusun kelahirannya. Maryono misalnya, rumah bantuan itu kini dihuni oleh anaknya.
Padahal sebelum 2010, akses jalan ke Dusun Melikan Banjarnegara masih tanah dan bebatuan. Listrik pun baru benar-benar mengaliri dusun ini sejak lima tahun silam. Dulunya, mereka menyambung listrik mandiri dari dusun sebelah.
“Jalan cor-coran itu belum lama, belum ada sepuluh tahun,” katanya.
Bagi Maryono, memilih menetap di sini lantaran sudah nyaman. Lebih dekat ke kebun yang jadi sumber mata pencaharian dan kehidupan mereka.
“Ya rumah kami di sini juga sudah nyaman. Rumah bantuan kan seadanya, jadi kami memutuskan menetap,” tuturnya.
Saat kami berbincang, tiba-tiba mobil pick up datang untuk mengangkut salak-salak panenan kebun Maryono. Bundelan uang pecahan Rp50 ribu diberikan oleh pedagang kepadanya. Lewat salak yang belakangan harganya turun drastis ini mereka memenuhi berbagai kebutuhan hidup.
Lantas, saya coba bercerita tentang orang dari dusun lain mengenai warga Melikan yang ramah. Maryono tertawa. Menurutnya, kesan itu memang benar adanya. Bahkan, terkadang ketika bertemu warga dari tempat lain yang sedang mencari rumput di hutan, tak segan untuk mengajaknya ke Dusun Melikan Banjarnegara. Untuk sekadar meminum kopi atau diajak makan siang.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Dieng, Dataran Tinggi Indah yang Sering Memicu Perselisihan Orang Wonosobo dengan Banjarnegara
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News