Tak pernah sakit hati
Meski begitu, jika dibanding-bandingkan dan diremehkan oleh seseorang, Amin mengaku tak sakit hati atau bahkan sampai overthinking kalau meminjam istilah anak sekarang. Sebab, sedari muda ia memang sudah melihat bahwa sang adik memiliki potensi untuk menjadi sukses dan orang besar.
Itulah kenapa sebagai kakak, ia pun turut mendukung setiap cita-cita sang adik di samping dukungan dari bapak dan ibu. Sehingga ia akhirnya menjadi penulis besar di Bandung.
“Saya ikut bangga saja, Mas. Apalagi kalau lihat foto adik saya lagi jadi pembicara, ikut senyum-senyum sendiri,” ucap Amin.
Dalam hati Amin, justru ada perasaan lega ketika melihat sang adik berhasil memiliki kehidupan yang layak. Lebih-lebih lewat apa yang ia sukai dan tekuni sejak remaja: menulis.
“Yang penting jangan lupa sama saudara, itu saja,” sambung Amin.
Kata Amin, sejak tinggal di Bandung, sang adik memang sudah jarang pulang ke Jogja. Meski Hari Raya Idul Fitri pun belum pasti sangat adik akan mudik ke kampung halamannya di Jogja. Terlebih di Jogja sudah tidak ada orang tua yang bisa dijujuk (karena telah menghadap Tuhan YME).
Amin tak masalah. Toh meskipun sudah jarang pulang ke Jogja, dari Bandung sang adik tak pernah luput untuk video call dengan kakaknya tersebut. Tak melulu harus mengobrolkan hal penting. Tapi sekadar menanyakan kabar atau obrolan-obrolan ringan pun sudah cukup.
Sementara untuk Amin sendiri yang dianggap tak sukses ketimbang sang adik, Amin mengaku santai saja dan tak tersinggung sama sekali. Sebab, baginya, nasib dan rezeki seseorang sudah Tuhan atur sebaik-baiknya.
Toh bagi Amin, omzet dari buka angkringan di Jogja juga sudah lumayan alias lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News.