Study tour memberikan trauma bagi Faiq (25), pemuda asal pelosok desa di Bojonegoro, Jawa Timur. Bukan karena tragedi laka. Tapi karena merasa pernah dipermalukan.
***
Imbas laka laut tiga siswa SMPN 7 Mojokerto di Pantai Drini, Gunungkidul, Januari 2025 lalu, wacana pelarangan study tour kembali mencuat.
Khususnya di Jawa Barat, Dedi Mulyadi selaku Gubernur Jabar secara tegas mengumumkan larangan study tour untuk sekolah-sekolah di Jabar setelah resmi dilantik pada Kamis (20/2/2025). Alasannya, selama ini kegiatan rombongan ke luar kota itu cenderung membebani siswa dan orangtua siswa dari segi biaya.
Tidak hanya melarang, Dedi menegaskan akan memberi sanksi pada sekolah yang nekat melakukan study tour ke luar Provinsi Jabar. Berupa penonaktifan kepala sekolah di sekolah pelanggar. Satu contoh sekolah yang terkena sanksi adalah SMAN 6 Depok.
Study tour pertama kali
“Bagi orang miskin seperti saya, kegiatan itu hanya membebani. Baik ekonomi maupun batin,” ujar Faiq memulai ceritanya, Selasa (11/3/2025) malam WIB.
Dua tahun terakhir, kala berita pelarangan study tour mencuat, ingatan Faiq terpental ke masa lalu. Ada trauma yang tertinggal di sana.
Sebenarnya sudah dua kali Faiq mengikuti kegiatan tersebut. Waktu SD dan semasa SMP.
Untuk SD, yang masih dia ingat pasti adalah: sekolahnya mengajak ke Wisata Bahari Lamongan (WBL). Di tahun-tahun saat dia SD (2008-an), WBL memang menjadi lokasi wisata primadona bagi daerah-daerah kecil di Jawa Timur.
Biayanya waktu Rp150 ribuan. Lalu dia diberi uang saku ibunya Rp100 ribu.
Faiq tidak bisa mengingat banyak. Seingatnya, waktu itu dia merengek agar ibunya mau membayarinya untuk berangkat. Beberapa hari kemudian, ibunya datang ke sekolah untuk melakukan pembayaran ke sekolah.
Ibu ngutang agar anak bisa study tour di Malang
“Masa SD itu hanya seneng-seneng saja. Namanya juga anak-anak, terus disuguhkan banyak wahana permainan,” kata Faiq. Namun, study tour masa SMP membuat cara pandang Faiq pada kegiatan ini berubah.
Ketika SMP, Faiq sebenarnya mulai sadar kalau kondisi ekonomi keluarganya tidak begitu baik. Orangtuanya hanya petani.
Maka, saat ada pengumuman study tour di sekolahnya, Faiq sebenarnya berniat tidak ikut. Sialnya, pihak sekolah memberi penegasan bahwa semua siswa harus ikut. Kalau toh tidak ikut, tetap harus bayar separuhnya.
“Daripada bayar tapi nggak ikut, ya sudah saya bilang ke orangtua buat ikut saja,” ucap Faiq.
Faiq tahu belaka. Demi mendapat uang sebesar Rp300 ribu, ditambah uang saku Faiq Rp200 ribu, ibu Faiq harus berutang ke adiknya, bu lik Faiq.
Di titik itu, Faiq merasa nyesek sekali. Bahkan kini, setiap mengingatnya, dia merasa geram sendiri. Dari mana pihak sekolah bikin aturan: ikut tidak ikut tetap harus bayar? Aturan yang membuat ibunya harus berutang. Padahal, seandainya utang pun, harusnya digunakan untuk tambah-tambah beli kebutuhan sehari-hari, bukan untuk kegiatan yang belum karuan manfaatnya itu.
Dipermalukan, diejek kampungan
Berbeda dengan semasa SD, yang teman-temannya adalah teman sekampung sendiri, saat SMP teman-teman Faiq tentu makin beragam. Dari beragam kalangan pula. Secara ekonomi, jelas banyak yang di atas Faiq.
“Baru mau berangkat. Waktu itu pagi, aku sudah jadi bahan tertawaan,” kenang Faiq.
Penyebabnya adalah karena Faiq berangkat dengan menggunakan sepatu yang biasa dia gunakan untuk sekolah. Sementara teman-temannya pakai sepatu atau minimal sandal yang lebih bagus.
“Ini mau wisata oi, bukan sekolah.” Kalimat itu masih terngiang-ngiang di telingan Faiq hingga sekarang.
Belum lagi soal pakaian. Sebagai anak desa dari ekonomi pas-pasan, baju-baju yang dikenakan Faiq tentu saja seadanya. Bukan baju baru. Jaketnya pun jaket lusuh milik sang bapak.
Selama di Malang, Faiq pun merasa terkucilkan. Jarang ada yang mau berjalan beriringan dengannya. Mungkin karena malu punya teman berpenampilan kampungan. Setidaknya begitu yang Faiq simpulkan.
Membawa trauma
Sejak saat itu, Faiq tumbuh menjadi orang yang gampang minder. Itulah kenapa di masa SMA, dia jarang ikut kongkow-kongkow dengan temannya di hari libur. Saat study tour SMA ke Bali pun dia memilih tidak ikut.
“Di SMA itu saya akhirnya tahu, ternyata nggak ada aturan ikut nggak ikut harus bayar. Kalau nggak ikut ya nggak ikut aja,” ungkap Faiq. Maka, Faiq memilih tidak ikut ke Pulau Dewata.
Urusan biaya tentu saja menghambat Faiq untuk ikut ke Bali. Selain itu, kalau toh bisa ikut, dia kelewat takut bakal diejek sebagaimana yang terjadi saat study tour SMP. Karena hingga SMA, penampilan Faiq masih sekadarnya.
Melindungi adik
Faiq relatif baru mengenal fashion sejak lulus kuliah 2022 lalu. Ketika akhirnya bisa kerja dan menghasilkan uang sendiri.
Lulus dari SMA, Faiq mencari-cari beasiswa untuk kuliah di Surabaya. Tembus.
Semasa kuliah, kondisi Faiq tak banyak berubah: masih minderan, terutama soal fashion. Lebih-lebih harus kuliah di kota sebesar Surabaya.
“Tapi mulai belajar menerima kenyataan. Karena mampunya berpakaian seadanya, ya mau apa,” ungkap Faiq.
Baru setelah kerja, sedikit demi sedikit dia mulai “balas dendam”. Dia menyisihkan uang untuk membeli kebutuhan fashion. Memang bukan brand mahal. Tapi setidaknya cukup untuk membuatnya tidak terlihat kampungan.
“Saya juga mencoba melindungi adik saya, agar nggak ngalami seperti saya. Gen Z ini kan aksesnya ke perkembangan zaman sangat cepat. Jadi saya mencoba membuat adik saya biar nggak terkesan tertinggal,” kata Faiq.
Misalnya, sesimpel fashion. Faiq beberapa kali membelanjakan adiknya pakaian dari toko oranye. Apalagi saat sekolahnya mau menggelar acara, entah study tour atau yang lain. Faiq tidak mau, adiknya merasa malu hingga membawa trauma seperti dirinya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Guru Pendamping Study Tour Paling Menderita, Stres dan Tanggung Jawab Besar tapi Dianggap Paling Bahagia atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan